Category Archives: Ibunda Orang-orang Beriman

Maria al-Qibtiyya (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ)

Egypt_2Maria al-Qibtiyya (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) dikatakan telah menikah dengan Nabi (ﷺ) dan semua orang memberinya gelar yang sama yang diberikan untuk menghormati istri-istri Nabi, sebagai ‘Umm al-Muminin,’ ‘Ibunda Orang-orang Beriman’. Maria dilahirkan di dataran tinggi Mesir dari pasangan ayah Koptik dan ibu Yunani. Dia pindah ke istana Muqawqis saat dia masih sangat muda. Dia sendiri tiba di Madinah untuk bergabung dengan rumahtangga Nabi saat Nabi baru kembali melakukan perundingan dengan orang-orang Quraisy dimana perundingan itu dilakukan di al-Hudaibiyya. Maria memberi Nabi seorang putera yang sehat pada tahun 9 H, tahun yang sama ketika saudarinya Zainab wafat. Nabi memberi nama anak itu Ibrahim, nenek moyang orang-orang Yahudi dan Kristen, seorang nabi yang darinya nabi-nabi berikutnya berasal. Sayangnya, saat Ibrahim berusia delapan belas bulan, dia sakit keras dan akhirnya meninggal. Meski benar Nabi tahu bahwa puteranya yang masih kecil itu akan pergi ke surga, Nabi Muhammad (ﷺ) tak dapat menahan airmatanya jatuh. Saat beberapa sahabatnya bertanya mengapa beliau menangis, Nabi menjawab, “Ini sisi kemanusiaanku.”

Saat mayat Ibrahim dikebumikan, matahari sedang dalam keadaan gerhana sehingga langit menjadi gelap dan suram. Beberapa orang berpikir bahwasannya hal tersebut berhubungan dengan kematian Ibrahim, namun Nabi (ﷺ) segera membersihkannya. “Matahari dan bulan adalah dua tanda-tanda Allah,” katanya, “mereka tidak gerhana karena kelahiran atau kematian seseorang. Saat kalian menyaksikan tanda-tanda (gerhana) ini, segeralah mengingat Allah dengan melakukan shalat.”[i]

Sungguhpun orang-orang kafir biasa mengejek Nabi Muhammad karena dia tidak punya anak laki-laki dan mengatakan bahwa beliau telah ‘terputus’, Allah telah memperjelasnya dalam surah berikut (Quran S. Al-Kautsar 108:1-3), bahwa keadaan Nabi Muhammad berada di atas laki-laki lain:

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.

إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأبْتَرُ

Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus[ii].

Dan ayat berikut,

 مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Quran S. Al-Ahzab 33:40)

Maria dimuliakan dan dihormati Nabi dan keluarganya juga sahabat-sahabatnya. Dia sendiri menghabiskan tiga tahun hidupnya bersama Nabi sampai wafatnya Nabi. Maria meninggal lima tahun berikutnya setelah wafatnya Nabi pada tahun 16 H, semoga Allah meridlainya. Pada lima tahun akhir hidupnya, dia bagai seorang pertapa dan hampir tidak pernah keluar rumah kecuali untuk jiarah ke kuburan Nabi dan juga puteranya. Pada saat ia meninggal, ‘Umar ibn al-Khatab-lah yang menjadi imam shalat janazahnya dan dia dikuburkan di pekuburan al-Baqi.

[i] Abu Bakrah berkata, “Kami berada di sisi Rasulullah lalu terjadi gerhana matahari. Maka, Nabi berdiri dengan mengenakan selendang beliau (dalam satu riwayat: pakaian beliau sambil tergesa-gesa 7/34) hingga beliau masuk ke dalam masjid, (dan orang-orang pun bersegera ke sana 2/31), lalu kami masuk. Kemudian beliau shalat dua rakaat bersama kami hingga matahari menjadi jelas. Beliau menghadap kami, lalu bersabda, ‘Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua dari tanda-tanda kekuasaan Allah, dan sesungguhnya keduanya (2/31) bukan gerhana karena meninggalnya seseorang. Akan tetapi, Allah ta’ala menakut-nakuti hamba-hamba-Nya dengannya. Oleh karena itu, apabila kamu melihatnya, maka shalatlah dan berdoalah sehingga terbuka apa (gerhana) yang terjadi padamu.'” (Hal itu karena putra Nabi (ﷺ) yang bernama Ibrahim meninggal dunia, kemudian terjadi gerhana. Lalu, orang-orang berkomentar bahwa gerhana itu terjadi karena kematian Ibrahim itu. Hal ini lantas disanggah Rasulullah dengan sabda beliau itu.) (Ringkasan Shahih Bukhari – M. Nashiruddin Al-Albani – Gema Insani Press)

Hadits riwayat Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ), ia berkata:
Pada masa Rasulullah (ﷺ) pernah terjadi gerhana matahari. Saat itu Rasulullah (ﷺ) melakukan salat gerhana, beliau berdiri sangat lama dan rukuk juga sangat lama, lalu mengangkat kepala dan berdiri lama, tapi tidak seperti lamanya berdiri pertama. Kemudian beliau rukuk lama, tapi tidak seperti lamanya rukuk pertama. Selanjutnya beliau sujud. Kemudian berdiri lama, namun tidak seperti lamanya berdiri pertama, rukuk cukup lama, namun tidak selama rukuk pertama, mengangkat kepala, lalu berdiri lama, tapi tidak seperti lamanya berdiri pertama, rukuk cukup lama, tapi tidak seperti lamanya rukuk pertama, lalu sujud dan selesai. Ketika salat usai matahari sudah nampak sempurna kembali. Beliau berkhutbah di hadapan kaum muslimin, memuji Allah dan menyanjung-Nya, dan bersabda: Sesungguhnya matahari dan rembulan itu termasuk tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya terjadi gerhana bukan karena kematian atau kelahiran seseorang. Oleh sebab itu, jika kalian melihat keduanya gerhana, maka bertakbirlah, berdoalah kepada Allah, kerjakanlah salat dan bersedekahlah! Hai umat Muhammad, tidak seorang pun lebih cemburu daripada Allah, bila hambanya, lelaki maupun perempuan, berbuat zina. Hai umat Muhammad, demi Allah, seandainya kalian tahu apa yang kuketahui, tentu kalian banyak menangis dan sedikit tertawa. Ingatlah! Bukankah aku telah menyampaikan. (Shahih Muslim No.1499)

[ii] Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika Ka’bubnul Asyraf (tokoh Yahudi) datang ke Makkah, kaum Quraisy berkata kepadanya: “Tuan adalah pemimpin orang Madinah, bagaimana pendapat tuan tentang si pura-pura shabar yang diasingkan oleh kaumnya, yang mengangggap dirinya lebih mulia daripada kita padahal kita menyambut oramg-orang yang melaksanakan haji, pemberi minumnya serta penjaga Ka’bah?” Ka’ab berkata: “Kalian lebih mulia daripadanya.” Maka turunlah ayat ini (S. 108:3) yang membantah ucapan mereka.
(Diriwayatkan oleh al-Bazazar dan yang lainnya dengan sanad shahih yang bersumber dari Ibnu Abbas.)
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ketika Nabi (ﷺ) diberi wahyu, kaum Quraisy berkata: “Terputus hubungan Muhammad dengan kita.” Maka turunlah ayat ini (S.108:3) sebagai bantahan atas ucapan mereka.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab al-Mushannif dan Ibnul Mundzir yang bersumber dari ‘Ikrimah)
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa kaum Quraisy menganggap kematian anak laki-laki berarti putus turunan. Ketika putra Rasulullah (ﷺ) meninggal, al-‘Ashi bin Wa’il berkata bahwa Muhammaad terputus turunannya. Maka ayat ini (S.108:3) sebagai bantahan terhadap ucapannya itu.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari as-Suddi.)
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam kitab ad-Dalail yang bersumber dari Muhammad bin ‘Ali, dan disebutkan bahwa yang meninggal itu ialah al-Qasim.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ayat ini (S.108:3) turun berkenaan dengan al-‘Ashi bin Wa’il yang berkata: “Aku membenci Muhammad.” Ayat ini (S.108:3) turun sebagai penegasan bahwa orang yang membenci Rasulullah akan terputus segala kebaikannya.
(Diriwayatkan oleh al-Baihaqi yang bersumber dari Mujahid.)
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ketika wafat Ibrahim putra Rasulullah (ﷺ) orang-orang musyrik berkata satu sama lain: “Orang murtad itu (Muhammad) telah terputus keturunannya tadi malam.” Allah menurunkan ayat ini (S.108:1-3) yang membantah ucapan mereka.
(Diriwayatkan oleh at-Thabarani dengan sanad yang dha’if yang bersumber dari Abi Ayyub.)
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ayat ini (S.108:2) turun ketika Jibril datang kepada Rasulullah pada peristiwa Hudhaibiyyah memerintahkan qurban dan shalat. Rasulullah segera berdiri khutbah fithri mungkin juga Adl-ha (Rawi meragukan, apakah peristiwa di dalam Hadits itu terjadi pada bulan Ramadhan ataukah Dzulqaidah) kemudian shalat dua raka’at dan menuju ke tempat qurban lalu memotong qurban.
(Diriwayatkan oleh Ibnu jarir yang bersumber dari Sa’ad bin Jubair.)
Keterangan:
Menurut as-Suyuthi riwayat ini sangat gharib. Matan hadits ini meragukan karena shalat Ied didahului khutbah.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ‘Uqbah bin Abi Mu’aith berkata: “Tidak seorang anak laki-laki pun yang hidup bagi Nabi (ﷺ) sehingga keturunannya terputus.” Ayat ini (S.108:3) turun sebagai bantahan terhadap ucapan itu.
(Diriwayatkan oleh Ibnu jarir yang bersumber dari Syamar bin ‘Athiyah.)
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ketika Ibrahim putra Rasulullah (ﷺ) wafat, kaum Quraisy berkata: “Sekarang Muhammad menjadi Abtar (putus turunannya).” Hal ini meyebabkan Nabi (ﷺ) bersedih hati, maka turunlah ayat ini (S.108:1-3) sebagai penghibur baginya.
(Diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir yang bersumber dari Ibnu Juraij.) (http://www.alquran-digital.com)

MAYMUNA binti al-Harith

radhiAllahuanhaMaymunah binti al-Harith (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) menikah dengan Nabi Muhammad (ﷺ) pada tahun 7 H, saat Nabi berumur enampuluh tahun dan dia sendiri berusia tigapuluhenam tahun. Saudara perempuan Maymunah yang bernama Ummu al-Fadl Lubaba adalah ibu dari Abdullah ibn Abbas, putera dari salah satu paman Nabi dan salah satu sahabatnya yang paling bijaksana. Ummu al-Fadl adalah salah satu sahabat pertama dari Nabi. Suatu kali Abu Lahab[i], musuh Allah dan Rasulullah, masuk ke dalam rumah saudaranya, al-Abbas, dan berniat menyerang langganan Abbas yang bernama Abu Rafi karena telah masuk Islam. Abu Lahab menjatuhkannya ke tanah lalu berlutut di atasnya dan terus memukulinya. Ummu al-Fadl lalu meraih tonggak yang ada disana dan menghantamkannya pada kepala Abu Lahab sampai tonggak itu patah sambil berkata, “Akankah kau menjadikannya bulan-bulanan hanya karena tuannya tak ada?” Dia lalu diobati sambil memikul rasa malu dan mati satu minggu berikutnya.

Zainab binti Khuzaimah, Ummul Mu’minin, juga adalah saudara tirinya. Saudari-saudarinya yang lain termasuk Asma binti Umays, istri Ja’far ibn Abu Thalib, yang nanti akan menikah dengan Abu Bakar, dan Salma binti Umays, istri dari Hamzah – “Singa Allah”. Saudari kandungnya adalah Lubaba, Asma dan Izza. Maymuna adalah anggota ‘Ahlul-Bayt’, bukan hanya karena atas dasar dia adalah istri Nabi (ﷺ), tapi juga karena ia adalah kerabatnya. Zaid ibn Arqam meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) berkata, “Aku memohonkan untukmu kepada Allah! Ya Ahlul Bayt!” tiga kali. Zaid ditanya siapakah Ahlul Bayt itu dan dia berkata, “Keluarga Ali ibn Abu Thalib, keluarga Ja’far ibn Abu Thalib, keluarga Aqil ibn Abu Thalib, dan keluarga Al-Abbas ibn Abdul Muttalib.”[ii]

Maimunah atau Barra sebagaimana kemudian dia dipanggil, merasa ingin sekali menikah dengan Nabi (ﷺ). Dia pergi menemui saudarinya, Ummu al-Fadl untuk berbicara pada suaminya, dan Ummu al-Fadl lalu berbicara pada suaminya, al-Abbas. Al-Abbas segera setelah berbicara dengan Ummu al-Fadl langsung pergi menemui Rasulullah (ﷺ) dengan membawa tawaran pernikahan Maimunah, dan tawaran itu kemudian diterima Nabi.

Ketika kabar gembira itu sampai kepada Maimunah, dia sedang di atas seekor unta, dan dia ketika itu langsung turun dari unta itu dan berkata, “Unta ini dan apa-apa yang ada di atasnya adalah untuk Rasulullah (ﷺ).”

Mereka menikah pada bulan syawal tahun 7 H setelah ummat muslim Madinah diizinkan memasuki kota Mekkah di bawah naungan perjanjian Hudaibiyah untuk menunaikan umrah. Allah SWT menurunkan ayat berikut berkenaan dengan ini:

 يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ اللاتِي آتَيْتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَالاتِكَ اللاتِي هَاجَرْنَ مَعَكَ وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ لِكَيْلا يَكُونَ عَلَيْكَ حَرَجٌ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Quran S. Al-Ahzab; 33:50)

Nabi memberinya nama Maimunah yang berarti “berkah”, dan Maimunah hidup bersama Nabi sekitar tiga tahun sampai meninggalnya Nabi. Dia jelas sekali memiliki sifat yang baik dan baik kepada siapa saja, dan tidak banyak cekcok atau tidak sependapat dengan istri-istri Nabi yang berhubungan dengannya. Aisyah berkata mengenainya, “Di antara kami, dialah yang paling takut kepada Allah dan yang paling memelihara hubungan kekeluargaan.” Di dalam kamarnyalah Nabi pertama kali mulai merasakan efek-efek yang menjadi sakitnya yang terakhir dan meminta izin kepada istri-istrinya untuk tinggal di kamar Aisyah sampai penyakitnya ini berakhir.

Setelah wafatnya Nabi (ﷺ), Maimunah melanjutkan hidup di kota Madinah untuk waktu empatpuluh tahun, meninggal pada usia delapanpuluh tahun pada tahun 51 H (semoga Allah meridlainya), menjadi istri Nabi yang meninggal terakhir kecuali satu. Dia meminta agar dikuburkan di tempat mana dia menikah dengan Nabi, yaitu di Saraf dan permintaannya ini dikabulkan.

Diriwayatkan pada saat penguburannya, Ibn Abbas berkata, “Ini adalah istri Nabi (ﷺ), maka jika kalian mengangkat kerandanya, jangan menggoyang atau membuat kegaduhan, tapi lemah-lembut.” Juga diriwayatkan oleh Ibn Abbas bahwa suatu kali dia bermalam sebagai tamu Maimunah, yang juga adalah bibinya, dan Nabi (ﷺ). Mereka (Nabi dan Maimunah) tidur di dalam selimut dengan memanjang dan dia (Ibn Abbas) tidur di ujung secara menyilang. Setelah mereka tidur beberapa saat, Nabi bangkit di tengah malam untuk shalat tahajjud, dan Ibn Abbas bergabung dengannya.

Mereka berwudu, dan dia shalat sebelas rakaat bersama Nabi ((ﷺ)). Kemudian mereka berdua kembali tidur sampai shubuh. Billal adzan, dan Nabi melaksanakan shalat dua rakaat sebelum pergi ke masjid untuk menjadi imam shalat shubuh.

Ibn Abbas berkata bahwa doa yang dipanjatkan Nabi pada malam itu adalah: “Ya Allah, tempatkan cahaya dalam hati hamba, cahaya dalam lidah hamba, cahaya dalam pendengaran hamba, cahaya dalam penglihatan hamba, cahaya di belakang hamba, cahaya di depan hamba, cahaya di kanan hamba, cahaya di kiri hamba, cahaya di atas hamba, cahaya di bawah hamba, tempatkan cahaya dalam otot hamba, dalam daging hamba, dalam darah hamba, di rambut hamba dan di kulit hamba, tempatkan cahaya dalam jiwa hamba dan buatkan cahaya berlebihan untuk hamba; jadikan hamba cahaya dan berikan hamba cahaya.”

Telah disepakati bahwa setelah Nabi menikahi Maimunah, yang berarti beliau sekarang telah beristri Sembilan (Aisyah, Saudah, Hafshah, Ummu Salamah, Zainab binti Jahsy, Juwairiyya, Ummu Habibah, Shafiyya dan Maimunah), ayat berikut turun:

Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan- perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu. (Quran S. Al-Ahzab; 33:52)

Setelah turun ayat ini, Nabi ((ﷺ)) tidak menikah lagi. Saat bagaimanapun, pemimpin ummat Kristen atau Muqawqis yang berasal dari Mesir mengirimi Nabi dua orang kakak beradik budak beragama Kristen sebagai hadiah (sebagai jawaban atas surat Nabi yang mengajaknya masuk Islam), bersama dengan sebuah jubah yang bagus dan beberapa obat-obatan. Nabi menerima salah satu budak perempuan itu yang bernama Maria ke dalam rumahtangganya; Nabi memberikan saudari Maria yang bernama Serena kepada seorang laki-laki yang memintanya dengan hormat, yaitu Hassan ibn Tsabit; Nabi juga menerima jubahnya; dan Nabi mengembalikan obat-obatan dengan memberikan catatan, “Sunnahku adalah obatku!” Ini terjadi pada tahun 7 H, saat Nabi berusia enampuluh tahun dan Maria berusia duapuluh tahun.

[i] Al-Bukhari mencatat dari Ibn ‘Abbas bahwa Nabi keluar menuju lembah Al-Batha lalu mendaki gunung. Nabi lalu berseru,

«يَا صَبَاحَاه»

(Hai orang-orang, kemarilah!) Maka orang-orang Quraisy berkumpul mengitarinya. Lalu Nabi berkata,

«أَرَأَيْتُمْ إِنْ حَدَّثْتُكُمْ أَنَّ الْعَدُوَّ مُصَبِّحُكُمْ، أَوْ مُمَسِّيكُمْ أَكُنْتُمْ تُصَدِّقُونِّي»

(Jika aku katakan pada kalian bahwa musuh akan menyerang kalian di pagi hari, atau di malam hari, akan kalian mempercayaiku?) Mereka menjawab “Ya.” Kemudian Nabi berkata,

«فَإِنِّي نَذِيرٌ لَكُمْ بَيْنَ يَدَيْ عَذَابٍ شَدِيد»

(Sesungguhnya, aku pembawa peringatan (yang dikirimkan) kepada kalian sebelum datangnya siksaan yang keras.) Kemudia Abu Lahab berkata, “Celaka engkau! Hanya untuk inikah engkau mengumpulkan kami?” Maka Allah menurunkan ayat ini,

(تَبَّتْ يَدَآ أَبِى لَهَبٍ وَتَبَّ )

(Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa!) sampai akhir surah. Dalam narasi lain disebutkan bahwa dia berdiri menaburi tangannya dengan pasir dan berkata, “Celaka kau demi akhir hari ini! Hanya untuk inikah kau mengumpulkan kami” Kemudian Allah menurunkan ayat ini,

(تَبَّتْ يَدَآ أَبِى لَهَبٍ وَتَبَّ )

(Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa!) Bagian pertama adalah permohonan yang melawan dia sedang bagian kedua adalah informasi mengenai dia. Abu Lahab adalah salah satu paman Rasulullah. Namanya adalah ‘Abdul-‘Uzza ibn Abdul-Muttalib. Nama keluarganya adalah Abu ‘Utaybah dan dia dipanggil Abu Lahab karena wajahnya yang bercahaya. Dia seringkali menyebabkan kecelakaan kepada Rasulullah. Dia membenci Nabi dan mencaci Nabi juga mencaci agama Nabi. Imam Ahmad mencatat dari Abu Az-Zinad bahwa seorang laki-laki bernama Rabi’ah ibn ‘Abad dari suku Bani Ad-Dil, yang merupakan lelaki jahiliyyah pra Islam yang kemudian masuk Islam berkata padanya, “Aku melihat Nabi pada masa jahiliyyah di pasar Dhul-Majaz dan dia berkata,

«يَا أَيُّهَا النَّاسُ، قُولُوا: لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ تُفْلِحُوا»

(Wahai manusia Katakanlah bahwasannya tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah maka kalian akan berhasil.) Orang-orang berkumpul mengitarinya dan di belakangnya seorang lelaki yang wajahnya bercahaya, juling (atau bersilangan) matanya dengan dua kepangan di rambutnya. Dia berkata, “Sungguh, dia adalah seorang yang telah ingkar (Dari agama kami) dan dia sorang pembohong!” Orang ini mengikuti Nabi kemanapun Nabi pergi. Maka aku bertanya siapakah dia maka mereka (orang-orang) berkata, “Dia adalah pamannya, Abu Lahab.” Ahmad juga mencatat narasi ini dari Surayj, yang melaporkannya dari Ibn Abu Az-Zinad, yang melapurkannya dari ayahnya (Abu Zinad) yang menyebutkan narasi yang sama ini. Dalam laporan ini, Abu Zinad berkata, “Aku berkata pada Rabi’ah, ‘Apakah kau masih kecil ketika itu?’ Dia menjawab, ‘Tidak. Demi Allah, ketika itu aku adalah yang paling cerdas, dan aku adalah seorang peniup seruling yang paling kuat,’” Ahmad sendirian meriwayatkan hadits ini. (Tafsir Ibn Katsir)

Imam Ahmad Rahimallah mencatat bahwa Ibn ‘Abbas (رضي الله عنه) berkata: Ketika Allah menurunkan ayat ini,

(وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الاٌّقْرَبِينَ )

(Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat (QS Asy-Syuaraa’; 26:214)), Rasulullah (ﷺ) keluar dan naik ke bukit Shafa, lalu berteriak:

«يَا صَبَاحَاه»

(Wahai orang-orang!) Orang-orang berkumpul mengitarinya, beberapa datang dengan keinginan sendiri dan lainnya mengirim orang atas namanya untuk mengetahui apa yang terjadi. Rasulullah berkata:

«يَا بَنِي عَبْدِالْمُطَّلِبِ، يَا بَنِي فِهْرٍ، يَااَبنِي لُؤَيَ، أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَخْبَرْتُكُمْ أَنَّ خَيْلًا بِسَفْحِ هَذَا الْجَبَلِ تُريدُ أَنْ تُغِيرَ عَلَيْكُمْ صَدَّقْتُمُونِي؟»

(Ya Bani `Abd Al-Muttalib, Ya Bani Fihr, Ya Bani Lu’ayy! Apa pendapat kalian seandainya aku beritahu kalian bahwa pasukan berkuda akan keluar di kaki gunung ini. Apakah kalian mempercayaiku?) Mereka berkata, “Ya,” Nabi berkata:

«فَإِنِّي نَذِيرٌ لَكُمْ بَيْنَ يَدَي عَذَابٍ شَدِيد»

(Aku peringatkan kalian akan siksa yang sangat pedih) Abu Lahab berkata, “Celaka engkau! Hanya untuk inikah engkau mengumpulkan kami? Kemudian Allah menurunkan ayat:

(تَبَّتْ يَدَآ أَبِى لَهَبٍ وَتَبَّ )

(Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya ia akan binasa!) (Qur’an S. Al-Lahab; 111:1) ﴿ (Tafsir Ibnu Katsir)

[ii]

(إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُـمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيــراً)

(Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.(Qur’an S. Al-Ahzab; 33:33)) Ini adalah sebuah pernyataan yang jelas bahwa istri-istri Nabi adalah termasuk di antara anggota ahlul bayt, karena merekalah alasan ayat ini diturunkan, dan para ulama sepakat dengan suara bulat bahwa mereka adalah alasan kenapa ayat ini diturunkan dalam kasus ini, apakah ini alasan satu-satunya ataukah ada alasan lainnya. Ibn Jarir mencatat bahwa ‘Ikrimah biasa menyebut di pasar:

(إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُـمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيــراً)

(Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.(Qur’an S. Al-Ahzab; 33:33)) “Ayat ini diturunkan semata-mata mengenai istri-istri Nabi.” Ibn Abi Hatim mencatat bahwa Ibn ‘Abas berkata mengenai ayat:

(إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُـمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ)

(Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait,) ” Ayat ini diturunkan semata-mata mengenai istri-istri Nabi.” ‘Ikrimah berkata: “Siapa saja yang tidak setuju denganku bahwa ayat ini diturunkan semata-mata mengenai istri-istri Nabi, aku siap menemuinya dan berdoa dan memohon semoga laknat Allah bagi siapa saja yang berbohong.” Jadi mereka (istri-istri Nabi) sendirilah yang menjadi alasan turunnya ayat ini, namun yang lain bisa jadi dimasukkan dengan cara generalisasi. Ibn Jarir menceritakan bahwa Shafiyah bint Shaybah berkata: “Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) berkata Nabi keluar pada suatu pagi ,mengenakan jubah bergaris yang terbuat dari rambut unta. Al-Hasan(رضي الله عنه) datang dan Nabi menyelimutinya dengan jubah bersama dengannya. Lalu Al-Husen (رضي الله عنه) datang dan Nabi menyelimutinya dengan jubah bersama dengannya. Lalu Fatimah RA datang maka Nabi juga menyelimutinya dengan jubah bersama dengannya. Lalu Ali RA datang dan Nabi juga menyelimutinya dengan jubah bersama dengannya. Lalu Nabi berkata:

(إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُـمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيــراً)

(Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.(Qur’an S. Al-Ahzab; 33:33)) Ini dicatat oleh Muslim. Dalam shahihnya, Muslim mencatat bahwa Yazid ibn Hayyan berkata: ‘Husen ibn Sabrah, ‘Umar ibn Muslim dan aku pergi mendatangi Zaid ibn Arqam RA, dan ketika kami telah duduk bersama-sama dengannya, Husen berkata: ‘Engkau sungguh beruntung, wahau Zaid! Engkau melihat Rasulullah dan mendengarnya berbicara, dan engkau pergi berperang bersamanya, dan engkau shalat di belakangnya. Engkau sungguh beruntung, wahay Zaid! Katakan kepada kami apa yang telah engkau dengar dari Rasulullah.’ Dia berkata, ‘Wahai putera saudaraku, demi Allah, aku sudah tua dan ini telah lama sekali, dan aku sudah lupa sebagian apa yang pernah aku ketahui dari Rasulullah. Apa saja yang aku katakan padamu, terimalah, dan apa saja yang aku tidak katakana padamu, jangan engkau hiraukan.’ Lalu dia berkata, ‘Suatu hari Rasulullah berdiri untuk mengingatkan kami di tempat yang bernama Khum, antara Mekkah dan Madinah, dan dia memuji dan bersyukur kepada Allah, dan dia berpidato dan memperingatkan kami. Lalu dia berkata;

«أَمَّا بَعْدُ، أَلَا أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِيَنِي رَسُولُ رَبِّي فَأُجِيبَ، وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ: أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللهِ تَعَالَى، فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِه»

(Ammaa ba’du! Wahai manusia, sesusngguhnya aku manusia dan segera utusan Tuhanku akan dating dan aku akan menjawabnya. Aku tinggalkan bagi kalian dua hal, pertama adalah kitab Allah yang merupakan petunjuk dan cahaya, maka jadikanlah ia petunjuk dan berpegangteguhlah pada kitab Allah.) Nabi meminta mereka agar berpegangteguh pada kitab Allah, lalu beliau berkata:

«وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي»

(Dan Ahl-Bayt ku: Ingatlah Allah kepada Ahl-Bayt-ku, Ingatlah Allah kepada Ahl-Bayt-ku.) mengucapkannya tiga kali’. Husen berkata padanya, ‘Siapakah Ahl-Bayt – nya, wahai Zaid, bukankah istri-istrinya Ahl-Bayt-nya?’ Dia berkata, ‘Istri-istrinya adalah Ahl-Bayt-nya, tapi juga Ahl-Bayt-nya adalah mereka yang tidak diizinkan menerima sedekah setelah wafatnya beliau.’ Dia berkata, ‘Siapakah mereka?’ Dia berkata, ‘Mereka adalah keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abas, Radliallahuanhuma.’ Dia berkata, ‘Apakah keluarga-keluarga ini tidak diperbolehkan menerima sedekah setelah kewafatan Nabi?’ Dia berkata, ‘Ya.’” Komentar ini datang dari Zaid bin Arqam dan tidak Marfu’. (Tafsir ibn Katsir)

SHAFIYAH binti Huyay

Shafiyah binti Huyay (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) menikah dengan Nabi Muhammad (ﷺ) pada tahun 7 H saat Nabi berusia enampuluh tahun dan dia sendiri berusia tujuhbelas tahun. Seperti yang terjadi pada kasus Juwayriyya binti al-Harits, pernikahan ini terjadi setelah salah satu peperangan Muslim yang menentukan, dalam hal ini, perang Khaybar.

Setelah perang Khaybar dimana kaum Muslim dapat mengalahkan orang-orang Yahudi, dua orang wanita dibawa ke hadapan Nabi Muhammad (ﷺ) oleh Bilal, Muadzdzin kulit hitam Madinah yang suara indahnya menembus langsung memanggil ummat muslim untuk melaksanakan shalat sampai wafatnya Nabi – setelah wafatnya Nabi, Billal tak bisa melantunkan adzdzan sampai Yerusalem menyatakan menyerah kepada khalifah ‘Umar pada tahun 17 H.

Dua orang perempuan itu adalah mereka yang telah ditinggal mati dalam peperangan. Salah satu perempuan itu memekik-mekik dan menjerit-jerit, dan menggosokkan rambutnya dengan pasir, sementara yang satunya lagi diam saja karena terkejut.

Wanita yang diam itu adalah Shafiyah, puteri Huyay ibn Akhtab, kepala dari Banu Nadir yang telah dikeluarkan dari Madinah pada tahun 4 H setelah merencanakan pembunuhan terhadap Rasulullah dengan cara menjatuhkan batu ke atas kepala Nabi ketika beliau sedang berbicara dengan ketua mereka. Sementara wanita yang ribut adalah sepupu Shafiyah. Shafiyah sendiri dapat ditelusuri leluhurnya langsung sampai ke Harun, saudara laki-laki Nabi Musa AS.

Nabi Muhammad (ﷺ) meminta seseorang untuk menjaga wanita yang menjerit-jerit itu lalu membuka jubahnya dan melingkarkannya pada bahu Shafiyah, yang suaminya terbunuh dalam peperangan itu. Itu adalah satu isyarat kasih sayang, dan sejak saat itu Shafiyah jadi dihormati dan diberi kehormatan dalam masyarakat Muslim. Lalu Nabi (ﷺ) berbalik kepada Bilal dan berkata,

“Billal, sudahkah Allah mencabut kasih sayang dari hatimu sehingga engkau biarkan dua wanita yang ditinggal mati suami mereka ini?”

Ini dirasakan sebagai sebuah teguran keras, dimana Nabi (ﷺ) jarang sekali mengkritik kebiasaan mereka yang melayaninya. Anas ibn Malik, contohnya pernah berkata, “Aku melayani Rasulullah (ﷺ) selama delapan tahun. Dia tak pernah sekalipun mengomeliku untuk sesuatu yang aku lakukan ataupun sesuatu yang tidak aku lakukkan.”

Seperti Ummu Habibah, Shafiyah adalah puteri dari seorang ketua yang hebat. Satu-satunya orang yang dapat menyelamatkannya dari dijadikan seorang budak padahal sebelumnya dia terbiasa menikmati bermacam kenikmatan, adalah Nabi.

Meskipun ayahnya pernah berencana membunuh Muhammad (ﷺ) pada saat setelah perang Uhud, dan bersekongkol dengan Banu Qurayza untuk membasmi semua kaum Muslim selama peperangan al-Khandaq, sudah merupakan karakteristik Nabi Muhammad (ﷺ) bahwa dia tidak pernah menyimpan dendam. Kepada mereka yang telah melakukan kesalahan, dia selalu berlaku kasih sayang alih-alih marah, dan bagi mereka yang tidak melakukan kesalahan, dia akan lebih memberikan kasih sayangnya.

Nabi Muhammad (ﷺ) mengundang Shafiyah untuk masuk Islam, yang mana dilakukan Shafiyah, dan setelah membebaskannya, kemudian Nabi menikahinya.

jewBeberapa orang mungkin bertanya bagaimana bisa Shafiyah menerima Islam dan menikahi Nabi sementara ayahnya sendiri adalah musuh yang sengit, dan peperangan-peperangan yang berdarah-darah telah terjadi antara orang-orang Yahudi dan orang-orang Muslim. Jawabannya bisa ditemukan pada apa yang telah diceritakannya tentang kehidupannya yang sebelumnya sebagai puteri kepala Banu Nadir.

Dia (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) berkata: “Aku adalah kesayangan ayahku dan juga kesayangan pamanku yang bernama Yasir. Mereka tak dapat melihatku bersama salah satu anak-anak mereka tanpa memangkuku. Ketika Rasulullah (ﷺ) datang ke Madinah, ayahku dan pamanku datang menemuinya. Saat itu pada awal pagi kira-kira antara shubuh dan matahari terbit. Mereka tidak kembali sampai matahari tergelincir. Mereka kembali dalam keadaan letih dan tertekan, berjalan dengan lambat, langkah-langkah mereka terasa berat. Aku tersenyum kepada mereka seperti biasanya aku lakukan tapi mereka tidak memperhatikanku karena mereka dalam keadaan sedih. Aku mendengar Abu Yasir bertanya pada ayahku, ‘Inikah dia?’ ‘Ya,memang.’ ‘Bisakah kau mengenalinya? Bisakah kau meyakinkannya?’ ‘Ya, aku dapat mengenalinya dengan sangat baik.’ ‘Bagaimana perasaanmu padanya?’ ‘Permusuhan, permusuhan selama aku hidup.’[i]

Signifikansi percakapan ini adalah bukti ketika kita melihat kembali ke dalam Taurat umat Yahudi, disana tertulis bahwa seorang Nabi akan datang yang akan memimpin para pengikutnya pada sebuah kemenangan. Bahkan sebelum Nabi Muhammad (ﷺ) datang ke kota Madinah, orang-orang Yahudi biasa memperlakukan para pemuja berhala di Yatsrib, sebagaimana kemudian disebut, bahwa saat datang Nabi berikutnya mereka akan dimusnahkan, seperti orang-orang Yahudi memusnahkan suku-suku lain yang menolak menyembah Tuhan di masa lalu. Sebagaimana dalam kasus, Nabi Isa AS yang secara tegas digambarkan dalam Taurat – namun ditolak oleh banyak orang-orang Yahudi saat dia benar-benar datang – Nabi berikutnya sekaligus yang terakhir secara akurat digambarkan di dalam Taurat, yang juga mengandungi tanda-tanda yang dapat dilihat dengan mudah oleh orang-orang Yahudi, Maka itu Ka’b al-Ahbar, salah seorang Yahudi pada saat itu yang telah masuk Islam, mengatakan bahwa Nabi ini digambarkan di dalam Taurat sepert ini:

‘Budakku, Ahmad, yang Terpilih, lahir di Mekkah, yang akan hijrah ke Madinah (atau dia sebut Tayyiba – nama lain yang diberikan adalah Yatsrib); ummatnya adalah mereka yang akan memuji Allah di dalam setiap kebesaran.’

‘Amr ibn al-‘As mengatakan bahwa dalam Taurat juga disebutkan:

‘Ya Nabi, Aku mengirimmu sebagai seorang saksi, pembawa kabar gembira dan seorang pemberi peringatan dan seorang pelindung orang yang buta huruf. Kamu adalah budak-Ku dan utusan-Ku. Aku telah memanggilmu satu-satunya dari orang yang percaya, seseorang yang tidak berkata kasar dan tidak pula berkata cabul, dan juga bukan orang yang berteriak di pasar-pasar atau yang membalas kejahatan dengan kejahatan, namun dia yang mengampuni dan memaafkan. Allah tak akan mengambilnya kembali pada diri-Nya sampai masyarakat yang bengkok telah dikuatkan olehnya dan mereka berkata, “Tidak ada Tuhan kecuali Allah.” Dengannya, mata-mata yang buta, telinga-telinga yang tuli, dan hati-hati yang tertutup akan terbuka.’

Untunglah ada deskripsi ini di dalam Taurat, sehingga rabbi Yahudi yang paling terpelajar yang bernama ‘Abdullah ibn Salam masuk Islam ketika melihat Muhammad (ﷺ) dan karena deskripsi ini pulalah Huyay ibn Akhtab juga dapat mengenali Nabi. Namum Huyay, seperti orang Yahudi kebanyakan, merasa sungguh kecewa bahwa Nabi terakhir (ﷺ) adalah anak keturunan dari Ismail dan bukan dari anak keturunan Ishaq (dua putera Nabi Ibrahim AS), Orang-orang Yahudi sampai saat itu mengklaim diri secara eksklusif sebagai anak keturunan Ishaq melalui jalur keturunan dua belas putera Ya’qub (yang juga dikenal sebagai Israel) yang darinya dua belas suku Israel berasal.

Huyay bukan saja marah karena Nabi terakhir muncul dari kalangan orang Arab, tapi dia juga tidak mau kehilangan posisinya atas kekuatan dan kepemimpiannya dalam kaumnya.

Oleh karena alasan inilah Huyay secara rahasia memutuskan untuk berseberangan dan melawan Nabi Muhammad (ﷺ) sementara di hadapan orang banyak dia dan pemimpin-pemimpin Yahudi lainnya bersikap damai dengan orang-orang Muslim dan Yahudi akan menghancurkannya sesegera mungkin ketika ada kesempatan untuk melakukannya.

Namun demikian, meskipun Shafiyah adalah puteri Huyay, tapi dia memiliki hati yang tulus dan benar-benar ingin menyembah Tuhan dan Penciptanya, Tuhan yang telah mengirimkan Musa, yang kepadanya dia punya hubungan, dan Isa, dan akhirnya Muhammad, semoga Allah ridla kepada mereka semua. Maka ketika kesempatan itu muncul, bukan hanya mengikutinya, tapi bahkan dia menikahi Nabi terakhir itu.

Meski Shafiyah mendapati dalam diri Muhammad (ﷺ) sebagai orang yang paling baik dan penuh perhatian, namun Shafiyah tidak selalu dapat diterima dengan cara yang menyenangkan oleh beberapa istri nabi yang lainnya, terutama ketika Shafiyah pertama kali bergabung ke dalam rumahtangga Nabi. Diriwayatkan oleh Anas bahwa dalam satu kesempatan, Nabi (ﷺ) mendapati Shafiyah sedang menangis. Saat Nabi bertanya padanya apa yang terjadi, Shafiyah menjawab bahwa dia mendengar Hafshah dengan cara meremehkan menggambarkannya sebagai ‘puteri seorang Yahudi’.

Nabi (ﷺ) menjawab dengan mengatakan, “Engkau sudah dapat dipastikan adalah puteri dari seorang Nabi (Harun), dan sudah dapat dipastikan pamanmu juga seorang Nabi (Musa), dan engkau sudah dapat dipastikan adalah seorang istri dari seorang Nabi (Muhammad), jadi dari semua itu apa yang dapat merendahkanmu?” Lalu Nabi berkata kepada Hafshah, “Ya Hafshah, takutlah kepada Allah!”

Suatu kali Nabi ditemani dalam perjalanannya oleh Shafiyah dan Zainab binti Jahsy. Pada saat itu unta Shafiyah berjalan dengan pincang sementara Zainab memiliki unta tambahan dan Nabi memintanya untuk memberikan unta tambahan itu kepada Shafiyah. Zainab menjawab dengan pedas, “Mestikah aku memberi pada seorang Yahudi!” Mendengar itu Nabi lalu menjauh dari Zainab dengan perasaan marah dan tidak berbuat apapun dengannya selama dua atau tiga bulan untuk memperlihatkan celaannya atas apa yang dikatakan Zainab.

Sekitar tiga bulan berikutnya, saat Nabi Muhammad (ﷺ) dalam sakitnya yang terakhir, Shafiyah merasa iba begitu dalam dan tulus hati, “Ya Rasulullah,” katanya, “Aku harap akulah yang menderita daripada engkau.” Beberapa istri Nabi lainnya saling mengedipkan mata dimana Nabi berada di antara mereka dan melihatnya, maka Nabi berseru, “Demi Allah, dia berbicara benar!”

Shafiyah masih menjalani masa sulit setelah meninggalnya Nabi (ﷺ). Suatu kali seorang budak wanita miliknya datang kepada Amir al Muminin dan berkata, “Amir al Muminin! Shafiyah menyukai Sabbath dan berhubungan dengan orang Yahudi!” ’Umar lalu menanyai Shafiyah perihal itu maka Shafiyah menjawab, “Aku tidak mencintai Sabbath dari semenjak Allah menggantikannya dengan hari Jum’at untukku dan aku berhubungan dengan Yahudi yang memiliki hubungan keluarga denganku.” Lalu Shafiyah bertanya pada budak wanitanya apa yang membuatnya berbohong kepada ‘Umar dan gadis itu menjawab, “Shaytan!” Shafiyah berkata, “Pergilah, kamu bebas.”

Shafiyah bersama Nabi (ﷺ) sekitar empat tahun, dia hanya berusia duapuluhsatu tahun ketika Nabi (ﷺ) meninggal dan hidup sebagai janda untuk tigapuluhsembilan tahun berikutnya. Dia sendiri meninggal pada tahun 50 H dalam usia enampuluh tahun, semoga Allah meridlainya.

[i] Lihat, (Muhammad Fathi Mus’ad, The Wives of Prophet Muhammad Their Strives and Their Lives. Islamic INC. Publishing and Distribution 8 As-Sayeda Zainab Sq.Cairo. Egypt Translated to English, Edited, and Prepared by: Al-Falah Foundation 24 Tairan st. Nasr city, Cairo, Egypt Tel & Fax: 2622838. PDF. Tanpa tahun. Hal. 162)

Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ)

HABASYAH

HABASYAH

Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ)[ii] sebenarnya telah menikah dengan Nabi (ﷺ) pada tahun 1 H. Namun demikian dia tidak ikut hidup bersama Nabi di Madinah sampai tahun 7 H, ketika Nabi berumur enampuluh tahun dan dia sendiri berusia tigapuluhlima tahun. Ummu Habibah puteri dari Abu Sufyan, seorang pria yang pada sebagian besar hidupnya dihabiskan sebagai musuh yang nyata Nabi (ﷺ) – yang menghabiskan banyak hartanya dalam memerangi ummat Muslim dan memimpin pasukan kafirun untuk melawan kaum Muslim dalam peperangan-peperangan besar di awal tumbuhnya kaum Muslim, termasuk perang Badar, Uhud dan al-Khandaq. Tentu saja tidak sampai peristiwa penaklukan Mekkah, saat Nabi secara bermurah hati memaafkannya, Abu Sufyan masuk Islam dan mulai berperang bersama kaum Muslim alih-alih melawan mereka.

Ummu Habibah dan suaminya yang pertama yang bernama Ubaydullah ibn Jahsy, saudara lelaki Zainab binti Jahsy adalah diantara orang-orang pertama yang masuk Islam di Mekkah, dan mereka adalah diantara kaum Muslim awal yang melakukan hijrah ke Habasyah untuk mencari perlindungan.

Di Habasyah, namun demikian, Ubaydullah meninggalkan Islam dan menjadi seorang Kristen. Ubaydullah juga mencoba membuat Ummu Habibah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) menjadi seorang Kristen namun istrinya itu tetap bertahan[iii].

Ini membuat Ummu Habibah berada pada posisi yang sulit karena seorang wanita muslim hanya bisa menikah dengan seorang pria muslim. Dia tidak bisa lagi hidup bersama suaminya tapi juga tidak mungkin kembali kepada ayahnya yang masih sibuk memerangi ummat Muslim. Maka dia tetap berada di Habasyah bersama saudara perempuannya, hidup dengan penuh kesederhanaan dalam isolasi, menunggu apa yang ditakdirkan Allah untuknya.

Suatu hari, ketika Ummu Habibah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) duduk di dalam kamarnya yang sunyi, seorang asing di tanah asing yang jauh dari kampung halamannya, seorang inang mengetuk pintunya dan berkata bahwa dia diutus Najasyi untuk menyampaikan sebuah pesan. Pesan itu adalah bahwa Nabi Muhammad (ﷺ) meminangnya, dan seandainya dia menerima lamaran ini agar menunjuk seseorang untuk menjadi wakilnya. Maka ditunjuknyalah salah seorang muslim yang berada di Habasyah sebagai wakilnya[iv], dan upacara pernikahan itu dapat dilaksanakan di Habasyah meski dia tidak berada di tempat yang sama dengan Nabi.

Secara alamiah Ummu Habibah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) merasa senang dan menerima langsung lamaran itu. “Allah telah memberimu berita gembira! Allah telah memberimu berita gembira!” dia berteriak, menarik perhiasan kecil miliknya dan memberikannya pada seorang gadis yang sedang tersenyum. Dia minta pada gadis itu untuk mengulang kembali pesan itu sampai dia benar-benar dapat mempercayai apa yang didengarnya.

Segera setelahnya, seluruh muslim yang saat itu sedang mencari perlindungan di Habasyah berkumpul di istana Najasyi untuk menyaksikan upacara pernikahan sederhana antara Nabi dan Ummu Habibah, dan Khalid ibn Said bertindak sebagai walinya. Saat pernikahan itu selesai, Najasyi[v] berbicara kepada yang sedang berkumpul itu:

“Alhamdulillah, subhanallah, dan aku bersaksi bahwasannya tiada Tuhan kecuali Allah dan bahwasannya Muhammad adalah pelayan dan utusan-Nya dan Allah telah memberi kabar gembira kepada Isa putera Maria.”

“Rasulullah (ﷺ) memintaku menandatangani perjanjian pernikahan antara dia dengan Ummu Habibah puteri Abu Sufyan. Aku menyetujui permintaannya dan dengan atas namanya aku memberikan Ummu Habibah mas kawin sebesar empat ratus emas dinar.” Najasyi menyerahkan empat ratus emas dinar itu kepada Khalid ibn Said yang berdiri dan berkata:

‘Segala puji hanya milik Allah. Aku memuji-Nya dan memohon pertolongan dan ampunan-Nya dan kepada-Nya aku bertobat. Aku bersaksi bahwasannya Muhammad adalah pelayan dan utusan-Nya yang telah diutus-Nya dengan membawa agama yang menjadi petunjuk dan kebenaran yang mengungguli semua agama yang ada, meskipun semua yang menolaknya tidak menyukai ini. Aku setuju untuk melakukan apa yang diminta Nabi (ﷺ) dan bertindak sebagai wali atas nama Ummu Habibah puteri Abu Sufyan. Semoga Allah memberkati Rasulullah dan istrinya ini. Selamat kepada Ummu Habibah atas kebaikan yang telah ditakdirkan Allah untuknya ini.”

Khalid mengambil mas kawin itu dan menyerahkannya kepada Ummu Habibah. Jadi meskipun Ummu Habibah tidak bisa pergi ke Arab secara langsung, dia telah diatur oleh Nabi (ﷺ) dari momen itu dan mereka bisa tetap menikah.

Kaum muslim yang menjadi saksi perjanjian pernikahan itu baru saja hendak pergi, ketika Najasyi berkata kepada mereka, “Duduklah, ini adalah kebiasaan para nabi untuk menyajikan makanan pada saat pernikahan.” Dengan senang hati semuanya duduk lagi untuk makan-makan dan merayakan kesempatan yang menggembirakan itu.

Ummu Habibah khususnya, sulit untuk dapat mempercayai nasib baiknya, di kemudian hari dia menggambarkan betapa ingin dia untuk membagi kebahagiaanya itu, dia berkata: “Ketika aku menerima uang itu sebagai mas kawin, aku kirimkan limapuluh mithqal emas kepada inang yang pertama kali mengabarkan padaku berita gembira itu, dan aku berkata padanya, ‘aku memberimu apa yang ingin aku berikan saat kau memberiku berita gembira itu tapi pada saat itu aku tidak punya sepeserpun uang.’

“Tidak lama setelah itu, dia datang kepadaku dan mengembalikan emas itu. Dia juga bahkan membuatkan sebuah kotak yang berisikan kalung yang telah kuberikan kepadanya lalu memberikannya kepadaku, dan berkata, ‘Najasyi telah memerintahkan padaku agar tidak mengambil apapun darimu, dan dia telah memerintahkanku wanita-wanita di lingkungan rumahtangganya untuk menghadiahimu wewangian.”

“Pada hari berikutnya, dia membawakan untukku ambergris, kunyit dan minyak kayu gaharu dan berkata, ‘aku punya pertanyaan yang ingin aku ajukan padamu.’

“’Apakah itu?’ tanyaku.

“’Aku telah menerima Islam,’ jawabnya, ‘dan sekarang aku mengikuti agama Muhammad (ﷺ). Tolong sampaikan salamku padanya, dan berilah dia tahu bahwa aku percaya kepada Allah dan nabi-Nya. Aku mohon jangan engkau lupa.”’

Enam tahun berikutnya, pada tahun 7 H, saat kaum Muslim yang hijrah ke Habasyah itu akhirnya dapat kembali ke Arab, Ummu Habibah datang ke kota Madinah dimana terdapat Nabi Muhammad (ﷺ) yang baru saja kembali dari perang Khaybar dengan membawa kemenangan lalu menyambutnya dengan hangat.

Ummu Habibah meriwayatkan: “Saat aku bertemu Nabi (ﷺ), aku katakan padanya tentang pengaturan yang dibuat untuk pernikahan itu, dan tentang hubunganku dengan gadis inang itu. Aku katakan padanya bahwa gadis itu telah menjadi seorang muslimah dan menyampaikan ucapan salam padanya. Nabi merasa gembira atas berita itu dan berkata, ‘Wa alayha as salam wa rahmatullaahi wa barakaatuh’[vi] – ‘Dan semoga baginya keselamatan, rahmat dan berkah Allah.’”

Kekuatan karakter Ummu Habibah dapat ditakar dengan apa yang terjadi pada saat dekat-dekat dengan penaklukan Mekkah, saat ayahnya, Abu Sufyan, datang ke kota Madinah setelah kaum Quraisy melanggar perjanjian Hudaibiyyah, dengan maksud untuk mencoba melakukan renegosiasi (suatu penyelesaian baru) dengan Nabi dan kaum Muslim. Sebelum melakukan itu pertama-tama Abu Sufyan mendatangi kamar Ummu Habibah dan ketika dia baru saja mau duduk di atas selimut yang biasa digunakan Nabi (ﷺ) untuk tidur, Ummu Habibah yang baru bertemu ayahnya setelah lebih dari enam tahun, meminta ayahnya itu untuk tidak duduk di atas selimut itu dan dengan cepat melipat selimut itu lalu menyimpannya.

“Apakah aku terlalu bagus untuk temat tidurnya atau tempat tidurnya yang terlalu bagus untukku?” Tanya Abu Sufyan.

“Bagaimana bisa seorang musuh Islam dibiarkan duduk di atas tempat tidur Nabi Suci?” jawab Ummu Habibah.

Setelah Abu Sufyan masuk Islam, setelah peristiwa penaklukan Mekkah, dan menjadi musuh dari musuh Islam, saat itulah Ummu Habibah menerima dan mencintainya lagi sebagai seorang ayah. Saat dia menerima berita bahwa ayahnya dan saudara laki-lakinya yang bernama Muawiyah, yang nanti menjadi khalifah ummat Muslim, telah menjadi Muslim setelah penaklukan, dia bersujud kepada Allah penuh dengan rasa syukur.

Ummu Habibah menghabiskan empat tahun hidupnya bersama Nabi Muhammad (ﷺ) dan hidup tigapuluhtiga tahun setelah wafatnya Nabi, meninggal dalam usia tujuhpuluhdua tahun pada tahun 44 H, semoga Allah meridlainya.

radhiAllahuanhaSeperti semua istri-istri Nabi (ﷺ) lainnya, Ummu Habibah juga menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengingat Allah dan beribadah kepada-Nya. Dia telah meriwayatkan bahwa suatu kali Nabi (ﷺ) berkata padanya, “Sebuah rumah akan dibangun di surga bagi siapa saja yang dalam waktu siang dan malamnya shalat sunnat duabelas rakaat,” dan dia menambahkan, “Aku tak pernah berhenti melakukannya sejak aku menerimanya dari Rasulullah (ﷺ).”

[i] http://islamstory.com/en/node/38440

[ii] Habibah adalah anak Ramlah binti Abu Sufyan (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) dari suami pertamanya, ‘Ubayd Allah ibn Jahsy yang dilahirkan di Habasyah.

[iii] Suatu malam Ummu Habibah bermimpi dan melihat dalam mimpinya itu suaminya ‘Ubayd Allah ibn Jahsy dalam sebuah kondisi yang mengerikan dan tersesat di dalam laut gelap yang dalam. Maka dia terbangun ketakutan dan tidak bisa menenangkan pikirannya.

Diriwayatkan Ummu Habibah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ), dia bercerita, “Aku melihat dalam tidurku suamiku sUbayd Allah ibn Jahsy dalam gambaran terburuk dan terjelek. Aku ketakutan. Aku berkata, ‘Demi Allah, dia telah berubah’. Pagi harinya aku mendapati dia berkata padaku bahwa telah berpikir dan memutuskan bahwa agama terbaik untuk dimasuki adalah kristen. Aku berkata padanya, tidak ada yang lebih baik bagimu kecuali Islam, dan aku katakan padanya mengenai apa yang aku lihat dalam mimpiku tapi dia tidak mengindahkannya. Dia lalu menjadi benar-benar ketagihan minum-minum. Suaminya itu lalu memberi Ummu Habibah kebebasan pilihan apakah diceraikan ataukah masuk menjadi penganut Kristen. (Muhammad Fathi Mus’ad, The Wives of Prophet Muhammad Their Strives and Their Lives. Islamic INC. Publishing and Distribution 8 As-Sayeda Zainab Sq.Cairo. Egypt Translated to English, Edited, and Prepared by: Al-Falah Foundation 24 Tairan st. Nasr city, Cairo, Egypt Tel & Fax: 2622838. PDF. Tanpa tahun).

[iv] Dalam buku Detik-Detik Penulisan Wahyu disebutkan bahwa yang menjadi wakil Nabi di Habasyah untuk menikahi Ummu Habibah adalah Khalid ibn Said al-Ash.

[v] Hadits ke-25 Dari Abu Hurairah (رضي الله ﻋﻧﮫ) bahwa Nabi (ﷺ) menyiarkan kematian Najasyi pada hari kematiannya, beliau keluar bersama mereka ke tempat sholat, bershaf bersama mereka, dan sholat empat takbir untuknya. Muttafaq Alaihi. (Kitab Hadits Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, Oleh : Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Ashqolani. (http://www.mutiara-hadits.co.nr/)

Hadits riwayat Abu Hurairah (رضي الله ﻋﻧﮫ):
Bahwa Rasulullah (ﷺ) mengumumkan kemangkatan Raja Najasy kepada kaum muslimin pada hari kematiannya, maka beliau dan kaum muslimin keluar menuju ke tempat salat dan bertakbir empat kali (melaksanakan salat gaib). (Shahih Muslim No.1580)

Hadits riwayat Jabir bin Abdullah (رضي الله ﻋﻧﮫ):
Bahwa Rasulullah (ﷺ) menyalatkan Ash-hamah An-Najasyi, beliau bertakbir empat kali. ((Shahih Muslim No.1582) Sumber: http://hadith.al-islam.com/bayan/Tree.asp?Lang=IND))

[vi] Disebutkan dalam buku Muhammad Fathi Mus’ad, The Wives of Prophet Muhammad Their Strives and Their Lives. Islamic bahwa nama inang itu adalah Abrahah.

JUWAYRIYYA binti al-Harits

radhiAllahuanhaJuwayriyya binti Harits (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) menikah dengan Nabi (ﷺ) pada tahun 5 H, saat Nabi berusia limapuluhenam tahun dan dia sendiri berusia duapuluh tahun, tidak lama setelah Nabi menikah dengan Zainab binti Jahsy, dan sebagai hasil dari keberhasilan iring-iringan tentara kaum Muslim yang melawan Banu Mushthaliq[ii] yang dengan cepat ditaklukkan setelah serangan tiba-tiba dari Nabi. Di antara tawanan yang dibawa iring-iringan ini adalah Juwayriyya yang cantik, puteri dari al-Harits yang merupakan ketua dari Banu Mushthaliq.

Juwayriyya khawatir jika saja kaum Muslim mengetahui siapakah dia sebenarnya, mereka akan meminta uang tebusan yang berlebihan untuk kebebasannya. Setelah kaum Muslim kembali ke Madinah dengan barang rampasan dan para tawanan, Juwayriyya meminta bertemu dengan Nabi Muhammad (ﷺ) dan berharap Nabi akan mencegah apa yang dikhawatirkannya.

Melihat betapa cantiknya Juwayriyya, Aisyah merasa tidak nyaman atas pertemuan Juwayriyya dengan sang Nabi. Namun Juwayriyya memaksa dan pada akhirnya diizinkan juga menemui Nabi (ﷺ) dan dibawa menemui Nabi ketika Nabi sedang bersama Aisyah. Setelah Juwayriyya selesai berbicara, Nabi berpikir sejenak lalu berkata, “Bolehkah aku mengusulkan sesuatu yang akan lebih baik daripada ini?”

Nabi kemudian meminta Juwayriyya menikah dengannya, dan Juwayriyya sesegera itu langsung menerimanya.

Mesti diingat, meskipun Juwayriyya itu seorang wanita cantik dan dari keturunan terhormat, yang dipikirkan Nabi adalah bagaimana meneyelamatkannya dan anggota sukunya dari nasib buruk yang akan menimpanya. Dengan menikahi Juwayriyya, Banu Mushthaliq akan mau masuk Islam secara terhormat, dan dengan menyingkirkan rasa terhina karena sebelumnya telah ditaklukkan. Maka tak akan perlu lagi bagi mereka memulai lagi sebuah perang balas dendam yang akan terus berlanjut sampai salah satu dari kedua belah pihak dibinasakan.

Sesegera setelah pernikahan itu diumumkan, seluruh harta rampasan yang diambil dari Banu Mushthaliq dikembalikan lagi, dan semua tawanan dibebaskan karena mereka sekarang berada dalam perlindungan Nabi Muhammad (ﷺ). Karenanya Aisyah suatu kali pernah berkata mengenai Juwayriyya, “Aku tidak kenal seorang wanita yang lebih memberkati terhadap kaumnya lebih daripada Juwayriyya binti al-Harits.”

Setelah Nabi dan Juwayriyya menikah, Nabi (ﷺ) lalu mengubah namanya dari Barra menjadi Juwayriyya.

Diriwayatkan oleh Juwayriyya bahwa pada suatu pagi buta Rasulullah (ﷺ) keluar dari kamarnya ketika Juwayriyya sedang shalat shubuh. Ketika Nabi kembali lagi pada pagi hari Juwayriyya masih duduk di tempat yang sama. “Apakah kau duduk terus duduk di sana sejak tadi aku meninggalkanmu?” Tanya Nabi. “Ya,” jawab Juwayriyya. Maka Nabi berkata, “Aku telah membaca kalimat, mengiringi ucapanmu, jika ia ditimbang (pahalanya) dengan apa yang engkau baca hari ini sejak tadi shubuh akan sama beratnya, yaitu (artinya = Maha suci Allah dan aku memuji-Nya, sebanyak ciptaan-Nya, sejauh ridlo-Nya, seberat timbangan arsy-Nya, dan sebanyak tinta untuk menulis kalimat-Nya).”[iii] Ini mengingatkan kita pada ayat al-Qur’an berikut ini (Qur’an S. Al-Kahfi 18:109):

Katakanlah: “Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula). قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا

Juwayriyya menikah dengan Nabi (ﷺ) selama enam tahun dan hidup tigapuluhsembilan tahun berikutnya setelah Nabi wafat. Dia meninggal pada tahun 50 H pada usia enampuluhlima tahun, semoga Allah meridlainya.

Catatan:

[ii] Banu Mushthaliq tinggal di sebelah utara kota Mekkah. Mereka bagian dari keturunan Bani Khaza’ah yang pernah menguasai Mekkah. Asal-usul mereka dari Yaman. Pasukan Banu Mushthaliq dan pasukan muslim berperang di dekat sumur yang bernama al-Maraisi yang terletak di antara Mekkah dan Madinah, 250 KM dari Mekkah dan 320 KM dari Madinah. (Fathi Fawzi ‘Abd al-Mu’thi, Detik-Detik Penulisan Wahyu, Penerbit Zaman, Jakarta, Cet. 1, hal. 82-83)

[iii] Bulughul Maram, Kitab Adab dan Kesopanan, Hadits ke-107
Juwairiyyah Binti al-Harits (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) berkata: Rasulullah (ﷺ) bersabda kepadaku: “Aku telah membaca kalimat, mengiringi ucapanmu, jika ia ditimbang (pahalanya) dengan apa yang engkau baca hari ini akan sama beratnya, yaitu (artinya = Maha suci Allah dan aku memuji-Nya, sebanyak ciptaan-Nya, sejauh ridlo-Nya, seberat timbangan arsy-Nya, dan sebanyak tinta untuk menulis kalimat-Nya).” Riwayat Muslim.

ZAINAB binti Jahsy

I LOVE MOM[i]

Zainab binti Jahsy (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) menikah dengan Nabi Muhammad (ﷺ) pada tahun 5 H saat dia berumur tigapuluhlima tahun dan Nabi berusia limapuluh delapan tahun setelah dia menikah terlebih dahulu dalam sebuah pernikahan yang sebenarnya diatur oleh Nabi sendiri dan berakhir dengan perceraian.

Sebagaimana dengan semua pernikahan-pernikahan Nabi, dalam pernikahan ini juga terdapat banyak pelajaran bagi setiap Muslim.

Zainab binti Jahsy adalah sepupu dari Nabi (ﷺ), ibunya Umayma adalah puteri dari Abdul Muttalib, kakenda Muhammad yang ketika hidupnya memastikan keselamatan cucunya itu. Bersyukurlah atas kedudukannya itu sebagai salah satu pemimpin yang paling dihormati di antara suku Quraisy. Dengan demikian Zainab binti Jahsy berasal dari keluarga terhormat suku Quraisy dan semua orang berharap dia pada akhirnya akan menikah dengan seorang laki-laki yang sama kedudukan sosialnya.

Nabi (ﷺ) sendiri lebih mempedulikan kedudukan penting seseorang di mata Allah daripada kedudukan manusia di mata manusia. Beliau menginginkan Zainab menikah dengan seorang pemuda bernama Zaid ibn Harits yang latarbelakangnya sangat berbeda dengan Zainab binti Jahsy.

Zaid pernah menjadi tawanan ketika dia masih kecil selama terjadi peperangan antar suku yang biasa terjadi sebelum datangnya Islam. Dia dijual sebagai seorang budak kepada keponakan Khadijah yang kemudian menghadiahkannya kepada Khadijah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ). Kemudian, Khadijah memberikannya lagi kepada Nabi Muhammad (ﷺ) pada saat sebelum turunnya wahyu al-Qur’an dimulai. Nabi (ﷺ) sendiri telah membebaskan Zaid bin Harits dan mengadopsinya sebagai anak sendiri ketika Zaid berusia delapan tahun.

Nabi Muhammad (ﷺ) telah menyaksikan bagaimana Zaid dan Zainab tumbuh besar dan berpikir bahwa mereka akan menjadi pasangan yang baik dan pernikahan mereka akan memperlihatkan bahwa bukan masalah siapakah nenek moyang mereka melainkan bagaimana kedudukan mereka dalam pandangan Allah.

Saat Nabi (ﷺ) meminang Zainab untuk mendampingi Zaid, keluarga Zainab terkejut dengan gagasan bahwa Zainab akan menikah dengan seorang pemuda yang menurut mereka hanyalah seorang budak yang dibebaskan. Lebih lagi, Zainab sendiri sebenarnya hanya ingin menikah dengan Nabi (ﷺ) dan kenyataan bahwa keluarganya sendiri pernah menanyakan apakah Nabi (ﷺ) bersedia atau tidak menikah dengan Zainab.

Pada mulanya Zainab dan saudara lelakinya menolak, namun kemudian turunlah ayat (Quran S. Al-Ahzab; 33:36):

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا

Saat Zaid, yang juga telah merasa khawatir mengenai pasangannya yang telah dipinang itu, dan Zainab menyadari bahwa tak ada bedanya antara apa yang diinginkan Nabi dan apa yang diinginkan Allah, mereka akhirnya sepakat dengan pernikahan itu, Nabi menyediakan sebuah mas kawin yang baik di samping Zaid.

Perkawinan itu sendiri, bagaimanapun, tidaklah mulus. Zainab dan Zaid adalah manusia-manusia terbaik yang mencintai Allah dan Rasus-Nya. Namun mereka adalah dua manusia yang sangat berbeda dan pada akhirnya mereka tidak dapat menanggulangi ketidaknyamanan mereka itu.

Zaid, lebih dari satu kali, memohon izin kepada Nabi untuk menceraikan Zainab, dan meskipun dia dinasehati untuk bertahan dengan istrinya itu atas dasar rasa takut kepada Allah, akhirnya perceraian itu pun tak dapat dihindarkan dan terjadilah.

Nabi (ﷺ) kemudian diperintahkan oleh Allah untuk menikahi Zainab binti Jahsy pada tahun 5 H, ketika beliau berusia limapuludelapan tahun dan Zainab berusia tigapuluhlima tahun. Dengan demikian, Nabi memperlihatkan bahwa dalam Islam seorang anak asuh (adopsi) tidak dipandang dalam cara yang sama sebagaimana anak kandung, dan bahwa meskipun seorang ayah samasekali tidak boleh menikahi seorang wanita yang telah dinikahi anak kandungnya (walaupun telah dicerai), seorang ayah adopsi diizinkan menikahi seorang wanita yang pernah (tapi tidak sedang) dinikahi anak asuh (adopsi) nya itu. Lebih jauh, dengan menikahi Zainab, Nabi (ﷺ) memberitahukan bahwa diizinkan pula saudara sepersepupuan untuk menikah, dan pada saat yang sama Zainab menyerahkan hasrat hatinya untuk menikah dengan Makhluk Terbaik.

Rasulullah (ﷺ) menerima perintah untuk menikahi Zainab ketika beliau sedang bersama Aisyah. Setelah beliau menerima wahyu, beliau tersenyum dan berkata. “Siapakah yang akan pergi mengabarkan kepada Zainab berita gembira ini?” dan beliau membacakan kembali ayat yang telah diterimanya itu. Beberapa orang mengatakan bahwa Zaid sendirilah yang mengabarkan kepada Zainab kabar gembira itu. Ketika Zainab mendengar kabar itu, dia menghentikan apa yang sedang dia kerjakan kemudian berdoa untuk mengucap syukur kepada Allah. Kemudian, dia menunjukkan bahwa pernikahannya itu telah diatur oleh Allah. Pada titik ini Nabi mengubah namanya dari Barra menjadi Zainab[ii].

Perhelatan pernikahan Zainab juga memberi kesempatan turunnya ayat al-Qur’an yang lain. Nabi (ﷺ) menyembelih seekor kambing kemudian memerintahkan pembantunya, Anas, untuk mengundang orang-orang agar mengambil bagian dari kambing itu. Setelah mereka selesai makan, dua orang lelaki masih berada disana dan mengobrol. Rasulullah lalu keluar dan mengucapkan selamat malam kepada istri-istrinya yang lain lalu kembali lagi dan dua orang laki-laki itu masih saja ngobrol[iii].

Ini cukup sulit bagi Nabi (ﷺ) yang tidak suka mengkritik orang secara langsung, maka dengan sabar ditungguinya dua lelaki itu sampai mereka pergi. Maka Allah menurunkan ayat berikut yang dikenal sebagi “Ayat Hijab” (Quran S. Al-Ahzab; 33:53-56).

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu ke luar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ وَاللَّهُ لا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا 53
Jika kamu melahirkan sesuatu atau menyembunyikannya, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu. إِنْ تُبْدُوا شَيْئًا أَوْ تُخْفُوهُ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا 54
Tidak ada dosa atas istri-istri Nabi (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara mereka yang perempuan, perempuan-perempuan yang beriman dan hamba sahaya yang mereka miliki, dan bertakwalah kamu (hai istri-istri Nabi) kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. لا جُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِي آبَائِهِنَّ وَلا أَبْنَائِهِنَّ وَلا إِخْوَانِهِنَّ وَلا أَبْنَاءِ إِخْوَانِهِنَّ وَلا أَبْنَاءِ أَخَوَاتِهِنَّ وَلا نِسَائِهِنَّ وَلا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ وَاتَّقِينَ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدًا 55
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Zainab binti Jahsy (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) bersama Nabi (ﷺ) selama enam tahun dan hidup selama sembilan tahun berikutnya setelah wafatnya Nabi. Zainab binti Jahsy meninggal di usia limapuluh pada tahun 20 H, sesuai ramalan Nabi bahwa dia akan menjadi istri Nabi yang pertama meninggal setelah wafatnya Nabi. Zainab binti Jahsy, seperti juga Zainab binti Khuzaimah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) adalah seorang wanita yang sangat dermawan kepada orang miskin dan bahkan Nabi mengatakan tentangnya kepada istri-istrinya yang lain bahwa “Dia paling dermawan di antara kalian.”

Diriwayatkan oleh Aisyah bahwa Nabi (ﷺ) suatu kali berkata kepada istri-istrinya, “orang yang paling panjang tangannya di antara kalian akan jadi yang pertama menemuiku.” Aisyah menambahkan, “Mereka kemudian mengukur tangan mereka masing-masing untuk melihat siapakah yang paling panjang, dan ternyata yang paling panjang adalah tangannya Zainab, karena dia biasa bekerja dengan tangannya dan memberi sedekah.”[iv] Rasulullah berkata kepada ‘Umar, “Zainab binti Jahsy adalah orang yang penuh dengan doa.” Seorang laki-laki bertanya, “Rasulullah, apakah itu?” Nabi berkata, “Orang yang rendah hati dan bersungguh-sungguh dalam berdoa.” Aisyah juga mengatakan, “Aku belum pernah melihat seorang wanita yang begitu murni seperti Zainab, begitu takut kepada Tuhan, begitu jujur, begitu penuh perhatian kepada keluarga, begitu dermawan, begitu penuh pengorbanan dalam kehidupan sehari-hari, begitu murah hati, dan dengan demikian begitu dekat kepada Allah, Tuhan yang Maha Agung.”

Beberapa tahun setelah wafatnya Nabi (ﷺ) saat ‘Umar menjadi khalifah, kekayaan besar datang kepada masyarakat Muslim sebagai hasil dari kemenangan mereka melawan bangsa Persia. Harta karun yang besar sekali dari Kisra, Kaisar Persia, jatuh ke tangan mereka, dan saat ‘Umar (رضي الله ﻋﻧﮫ) mengirimi Zainab setumpuk emas sebagai bagiannya dari harta itu, Zainab memanggil inangnya dan mengatakan pada inangnya itu untuk memperlakukan emas itu begini begitu, menyebutkan salah satu nama orang miskin di Madinah. Setelah begitu banyak, dia ternyata menyebut semua nama orang miskin yang dia ketahui sampai semua dari mereka itu menerima harta itu. Lalu dia mengatakan kepada inangnya untuk memperlihatkan apa yang tersisa dari harta itu. Apa yang tersisa dari harta rampasan yang terdiri dari gundukan emas yang besar itu hanyalah delapan dinar, dan barulah diterimanya sebagai bagiannya, lalu beryukur kepada Allah; Namun karena dia yakin banyak uang adalah sebagai ujian, dia memohon kepada Allah agar dia tidak harus menyaksikan lagi distribusi kekayaan besar-besaran seperti yang terjadi saat itu.

Satu tahun berlalu saat ‘Umar kembali lagi datang mendistribusikan uang kepada istri-istri Nabi yang masih hidup. Doa Zainab ternyata telah dikabul Allah dan dengan demikian dia telah wafat pada saat itu, semoga Allah meridlainya.

[i] http://islamstory.com/en/node/38438

[ii] Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Semula nama Zainab adalah Barrah. Orang mengatakan, ia membersihkan dirinya. Lalu Rasulullah saw. memberinya nama Zainab. (Shahih Muslim No.3990)

[iii] Hadits riwayat Anas bin Malik (رضي الله ﻋﻧﮫ), ia berkata:
Aku menghadiri pesta perkawinan Zainab, di mana Rasulullah (ﷺ) membuat orang-orang merasa kenyang memakan roti dan daging dan beliau juga mengutusku untuk mengundang orang-orang. Setelah acara walimah selesai, beliau berdiri dan beranjak dari tempatnya, dan aku mengikutinya. Pada saat itu masih ada dua orang tamu laki-laki yang belum keluar karena mereka masih asyik berbicara. Nabi (ﷺ) lalu melewati beberapa istrinya yang lain. Beliau mengucapkan salam kepada mereka masing-masing lalu bertanya: Bagaimana keadaan kalian semua, wahai anggota keluarga? Mereka menjawab: Baik, wahai Rasulullah. Mereka balik bertanya: Bagaimana dengan keadaan keluargamu? Beliau menjawab: Baik. Setelah selesai beliau kembali dan aku pun ikut kembali. Sesampai di pintu, dua orang tamu laki-laki yang masih asyik berbicara tadi masih ada, namun begitu melihat Nabi (ﷺ) kembali mereka cepat-cepat berdiri dan terus keluar. Demi Allah, aku tidak tahu apakah aku yang telah memberitahukan beliau bahwa mereka telah keluar atau wahyu telah turun kepadanya. Sementara aku terus saja mengikuti beliau. Namun begitu kakinya menginjak ambang pintu, segera saja beliau menurunkan kain tirai sehingga aku terhalang dari beliau. Lalu Allah menurunkan ayat berikut ini: Janganlah kamu memasuki rumah Nabi kecuali kamu sudah mendapatkan izinnya (QS. Al-Ahzab 33:53). (Shahih Muslim No.2565)

[iv] Hadits riwayat Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ), Ummul Mukminin, ia berkata: Rasulullah (ﷺ) bersabda: Orang yang paling cepat di antara kamu sekalian menyusul aku adalah orang yang paling panjang tangannya di antara kamu. Aisyah melanjutkan: Lalu mereka berlomba menjadi orang yang paling panjang tangan di antara mereka semua. Ternyata yang paling panjang tangannya di antara kami ialah Zainab sebab ia suka bekerja dengan tangannya sendiri dan suka memberikan sedekah. (Shahih Muslim No.4490)

UMMU SALAMAH HIND binti Abi Umayya

Ummu Salamah, Hind binti Abi Umayya (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ)[i] menikah dengan Nabi (ﷺ) pada tahun 4 H di usianya yang keduapuluhsembilan tahun, setelah suaminya yang bernama Abdullah bin Abdul Asad meninggal karena terluka saat berjuang dalam perang Uhud. Ummu Salamah dan Abdul Asad adalah dua orang yang pertama masuk Islam pada masyarakat Muslim awal di kota Mekkah.

HABASYAH

HABASYAH

Mereka tersiksa di bawah kekuasaan kaum Quraisy yang mencoba memaksa mereka meninggalkan kepercayaan baru mereka. Mereka juga merupakan dua orang di antara kelompok pertama yang mencari tempat perlindungan kepada Raja Najasyi di negeri Habasyah.

Ketika mereka kembali ke Mekkah dengan keyakinan bahwa keadaan kaum Muslim telah berubah. Namun kenyataannya justru bertambah buruk. Alih-alih kembali ke Habasyah, Abdal Asad dan Ummu Salamah justru menerima ijin untuk hijrah. Namun kenyataan ini pun tidak semudah yang mereka bayangkan.

Ummu salamah meriwayatkan: “Saat Abu Salama (suamiku) memutuskan untuk pergi ke Madinah, dia mempersiapkan seekor unta untukku, menaikkanku pada unta itu lalu menyimpan puteraku di atas pangkuanku. Suamiku kemudian mengambil pimpinan dan ke depan tanpa berhenti untuk menunggu apa pun. Sebelum kami sempat keluar dari kota Mekkah, beberapa orang laki-laki anggota sukuku, Banu Makhzum, menghentikan kami dan berkata pada suamiku:

“Kamu boleh saja bebas melakukan apa saja terhadap dirimu sendiri, tapi kamu tak memiliki kekuasaan atas diri istrimu. Dia adalah saudari kami. Apa kau pikir kami akan membiarkanmu mengambilnya dari kami?”

Mereka lalu menyerobot dan menahan suamiku dan merampas aku dan anakku menjauh dari suamiku. Beberapa orang lelaki dari suku suamiku, Banu abdul Asad, melihat bagaimana mereka merampas aku dan anakku dari suamiku sehingga membuat mereka sangat gusar:

“Tidak, demi Allah!” Mereka berteriak. “Kami tidak akan menyerahkan anaknya. Dia adalah putera kami dan kami punya hak penuh terhadap anak laki-laki ini.”

Lalu mereka (orang-orang dari suku Banu Abdul Asad) menuntun puteraku dan membawanya menjauh dariku. Tiba-tiba saja aku mendapati diriku dalam kesendirian.

Suamiku menuju Madina sendirian; sukunya telah merampas puteraku dariku; dan sukuku sendiri telah menguasaiku dan memaksaku untuk tinggal bersama mereka. Sejak hari dimana suami dan puteraku dipisahkan dariku, aku selalu keluar di siang hari setiap hari dan duduk-duduk di tempat tragedy ini terjadi. Jika demikian aku akan mengingat setiap momen yang mengerikan itu dan bercucuran arimata sampai turun malam.

“Aku terus berlaku demikian kira-kira selama satu tahun atau sampai suatu hari seorang lelaki dari Banu Umayya lewat dan melihat bagaimana keadaanku. Laki-laki itu kemudian mendatangi sukuku dan berkata, ‘kenapa kalian tidak membebaskan saja perempuan ini? Kalian telah menyebabkan suami dan anak lelakinya jauh darinya.’

Maksud laki-laki itu adalah untuk melembutkan hati-hati mereka dan menarik emosi mereka, sampai akhirnya mereka berkata padaku, ‘Pergilah dan temui suamimu kalau kamu mau.’

Tapi bagaimana aku dapat menemui suamiku di Madina sambil meninggalkan anak lelakiku, bagian dari darah dan dagingku di Mekkah di antara Banu Abdul Asad? Bagaimana bisa ingatanku bebas dari derita dan mataku terbebas dari airmata? Kalau pun aku mencapai tempat hijrah sambil tidak mengetahui apapun mengenai anakku yang tertinggal di Mekkah?

“Beberapa orang menyadari apa yang akan aku hadapi dan hati mereka bersamaku. Mereka mendekati Banu Abdul Asal mengatasnamakan aku dan membujuk mereka agar mengembalikan anak lelakiku. Aku tak memiliki hasrat untuk tetap berada di kota Mekkah sampai aku dapat menemukan seseorang yang dapat menyertai perjalananku, itu karena aku takut sesuatu mungkin saja terjadi yang akan memperlambat atau bahkan menghentikan aku mencapai suamiku. Jadi aku segera mempersiapkan untaku, menyimpan anak lelakiku di atas pangkuanku dan langsung menuju Madinah. Aku baru saja sampai di Tan’im (berjarak 3 mil dari kota Mekkah) ketika aku bertemu dengan ‘Usman ibn Talha (dia bertugas memelihara Ka’bah, namun baru memeluk Islam saat peristiwa Futuh Mekkah). ‘”Kemana kamu akan pergi wahai puteri Zad ar-Rakib?’ tanyanya. ‘Aku akan menemui suamiku di Madinah.’ ‘Dan tidak adakah seseorang yang menemani perjalananmu?’ ‘Tidak, demi Allah, kecuali Allah dan anak lelakiku yang masih kecil ini.’ ‘Demi Allah,’ dia bersumpah, ‘Aku tak akan meninggalkanmu sampai kau mencapai Madinah.’

Dia lalu mengambil tali kekang untaku dan menuntun perjalanan kami. Demi Allah, aku belum pernah bertemu seorang Arab yang lebih dermawan dan mulia daripadanya. Kapan saja kami menemukan sebuah tempat beristirahat, dia akan menjongkokkan untaku, menunggu sampai aku turun lalu membawa untaku itu ke sebuah pohon dan menambatkannya. Kemudian dia akan pergi dan beristirahat di bawah naungan pohon yang berbeda denganku. Saat kami selesai beristirahat, dia akan mempersiapkan kembali unta lalu menuntun perjalanan kami. Keadaan seperti itu terus berlanjut setiap hari sampai kami mencapai Madinah. Saat kami sampai di sebuah kampung di dekat Quba (sekitar dua mil dari kota Madinah), yang didiami oleh Banu Amr ibn Awf, dia berkata, ‘Suamimu berada di dalam kampung ini. Masuklah dengan rahmat Allah.’ Kemudian dia berputar arah dan langsung kembali ke kota Mekkah.”

Jadi setelah berbulan-bulan perpisahan, Ummu Salamah dan puteranya disatukan kembali dengan Abu Salamah, dan dalam beberapa tahun berikutnya mereka selalu dekat dengan hati masyarakat Muslim yang sedang berkembang di Madinah al-Munawarrah.

MadinahMereka hadir ketika Nabi (ﷺ) dan Abu Bakr (رضي الله ﻋﻧﮫ) tiba dengan selamat dari kota Mekkah, dan dalam perang Badar Abu Salama bertarung dengan gagah berani. Dalam perang Uhud, Abu Salama terluka parah.

Awalnya lukanya tersebut membaik setelah mendapatkan perawatan, namun lukanya itu kemudian terbuka kembali setelah sebuah ekspedisi melawan Banu Abdul Asad, dan setelah itu luka itu susah untuk disembuhkan dan Abu Salamah terbaring di pembaringan.

Suatu kali ketika Ummu Salama merawat suaminya itu, Abu Salama berkata padanya, “suatu kali aku mendengar Rasulullah (ﷺ) berkata kapan saja malapetaka menimpa seseorang dia seharusnya mengatakan apa yang Allah perintahkan padanya: ‘’Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un!’ sesungguhnya kita berasal dari Allah dan kepada Allah kita kembali! Dan kita seharusnya berkata ‘Ya Rabb, berkatilah dari apa yang menjadi penderitaanku dan berilah hamba sesuatu yang lebih baik kelak di akhirat. Hanya Engkau-lah Tuhan yang Maha Agung dan Maha Hebat yang dapat memberikannya.’”

Abu Salama diketahui sakit dan terbaring di atas ranjang beberapa hari. Suatu pagi Nabi (ﷺ) datang menjenguknya. Kunjungan ini jauh lebih lama daripada biasanya, dan sementara Nabi masih berada di sisi tempat tidur Abu Salama, saat itulah Abu Salama meninggal. Dengan tangannya yang terberkati, Nabi menutup kedua mata sahabatnya yang wafat itu kemudian memanjatkan doa. “Ya Allah berilah ampunan kepada Abu Salamah, tinggikanlah derajatnya ke tingkat orang-orang yang mendapat petunjuk, lapangkanlah baginya dalam kuburnya, terangilah dia didalamnya, dan berilah penggantinya dalam turunannya.”[ii]

Sekali lagi Ummu Salamah berada dalam posisi sendirian, hanya saja kali ini tidak hanya memiliki seorang anak, namun beberapa. Tak ada seorang pun yang dapat menjagai mereka. Dia kembali mengingat apa yang pernah dikatakan suaminya ketika dia sedang merawat suaminya itu, dia mengulang kembali doa ‘’Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un!’ sesungguhnya kita berasal dari Allah dan kepada Allah kita kembali’ dia mengulang ‘Ya Rabb, berkatilah dari apa yang menjadi penderitaanku dan berilah hamba sesuatu yang lebih baik kelak di akhirat. Hanya Engkau-lah Tuhan yang Maha Agung dan Maha Hebat yang dapat memberikannya.’” Lalu dia berpikir dalam hatinya “Muslim manakah yang lebih baik dari Abu Salamah yang keluarganya adalah yang pertama bergabung dengan Rasulullah?”

Seluruh muslim di Madinah memperhatikan keadaan Ummu Salamah, dan ketika masa iddahnya di bulan keempat berakhir, Abu Bakar mengajukan pinangan menikah padanya, namun dia ditolaknya. Lalu Ummar juga mengajukan pinangan menikah padanya, dan juga ditolak. Lalu Nabi (ﷺ) sendiri memintanya untuk menikahinya.

“Ya Rasulullah,” Ummu Salamah menjawab, “Saya mempunyai tiga tabiat utama: Saya adalah wanita yang benar-benar pencemburu dan saya khawatir engkau akan menyaksikan sesuatu yang membuatmu murka dan menyebabkan Allah akan menghukumku; Saya adalah perempuan yang telah berumur; dan saya adalah perempuan dengan banyak anak.”

“Untuk sifat pencemburumu,” jawab Nabi, Aku berdoa kepada Allah Yang Maha Kuasa untuk mencabutnya darimu. Untuk usiamu, aku lebih tua darimu. Untuk anak-anakmu yang banyak, mereka milik Allah dan Rasul-Nya.”

Jawaban Nabi itu ternyata menyenangkan Ummu Salamah dan mereka menikah pada bulan Syawal tahun ke-4 Hijriah. Dengan demikian Allah mengabulkan doa Ummu Salamah dan memberinya seseorang yang jauh lebih baik daripada Abu Salamah. Sejak hari itu, Ummu Salamah tidak hanya sekedar ibu daripada Salamah, namun juga menjadi ‘Ibunda Orang-orang Beriman’ ‘Umm al Mu’minin’.

Ummu Salamah bukanlah satu-satunya perempuan yang menjadi janda dikarenakan perang Uhud, dan berkat pernikahannya dengan Nabi ini banyak Sahabat yang mengikuti apa yang dicontohkan Nabi ini – yaitu dengan cara menikahi janda-janda. Dengan demikian, mereka memasukkan janda-janda itu dan anak-anaknya ke dalam lingkaran keluarga mereka alih-alih meninggalkan janda-janda dan anak-anak yatim itu berjuang sendirian.

Aisyah berkata, “Ketika Rasulullah (ﷺ) menikahi Ummu Salamah aku begitu gundah saat beliau menyebutkan kecantikannya kepada kami. Aku menunggu sampai aku melihatnya sendiri dan dia bahkan lebih cantik dari apa yang digambarkan tentangnya.”

Ummu Salamah juga seorang perempuan dari keluarga yang sangat terhormat dan terkenal dengan ketajaman intelegensinya. Lebih dari satu kali Nabi (ﷺ) meminta nasihatnya untuk situasi-situasi yang rumit.

Sebagaimana Aisyah dan Hafshah, Ummu Salamah juga menghapal seluruh Al-Qur’an dan kedudukannya yang tinggi di sisi Allah dapat ditemukan dalam fakta bahwa dia diizinkan melihat malaikat Jibril dalam wujud manusia: Diceritakan oleh Salman bahwa Jibril datang menemui Rasulullah (ﷺ) sementara beliau sedang bersama Ummu Salamah, Nabi (ﷺ) berkata pada Ummu Salamah, “Apakah kau tahu siapakah dia?” dan Ummu Salah menjawab bahwa itu adalah seorang lelaki bernama Dihya al Khabi. “Demi Allah,” kata Ummu Salamah, “Aku tidak berpikir lelaki itu selain dari dia (Jibril) sampai Rasulullah (ﷺ) mengatakan siapakah lelaki itu sesungguhnya.”[iii]

Ummu Salamah juga memiliki sebuah rumah untuk keempat anaknya: Salamah, ‘Umar, Zainab, dan Durra yang merupakan anak-anak angkat Nabi.

Suatu kali Ummu Salamah sedang bersama Nabi (ﷺ) dan puterinya Zainab ketika Fatimah datang bersama dengan Hasan dan Husen. Nabi memeluk dua cucu kesayangannya itu dan berkata, “semoga kasih sayang dan berkah Allah bersama kalian, ya Ahlul bait. Dialah Tuhan yang Maha Mengabulkan, yang Maha Agung.”

Ummu Salamah lalu menangis dan Rasulullah (ﷺ) melihat dan berkata padanya dengan lembut, “kenapa engkau menangis?” Ummu Salamah menjawab, “Ya Rasulullah kau sendirian saja bersama mereka sementara meninggalkan aku dan puteriku!” Lalu Nabi berkata, “Kamu dan juga puterimu adalah bagian dari Ahlul Bait.”

Puterinya, Zainab tumbuh di bawah pemeliharaan Rasulullah (ﷺ) dan menjadi salah seorang perempuan paling pintar di masanya, Suatu kali Zainab masuk ketika Nabi sedang mandi dan Nabi memercikkan air ke mukanya. Dan wajahnya itu menjadi awet muda bahkan sampai usia tuanya.

Putera sulungnya, Salamah di kemudian hari menikahi Umamah puteri Hamzah, paman Nabi yang syahid. Ummu Salamah menikah dengan Nabi (ﷺ) selama tujuh tahun sampai Nabi meninggal di tahun 10 H dan menemani Nabi dalam beberapa ekspedisinya: Hudaybiyya, Khaibar, Penaklukan kota Mekkah, pengepungan kota Tha’if, ekspedisi melawan Hawazin dan Thaqif, dan Haji Wada. Dia juga hidup lama setelah wafatnya Rasulullah, menyertai istri-istri Nabi yang lainnya (رضي الله ﻋﻧﻬما), semoga Allah meridhai mereka seluruhnya, sampai meninggalnya di tahun 61 H dalam usia delapan puluh empat tahun dan Abu Hurairah-lah yang menshalatinya.

[i] Ummu Salamah seringkali juga dipanggil sebagai “Ibu Dua Hijrah” karena dia melakukan hijrah dua kali: ke Habasyah dan ke Madinah. Namanya adalah Hindun binti Umayyah ibn al-Mughirah ibn Abdullah ibn Makhzum ibn Yaqadhah ibn Murrah. Dia berasal dari suku Khuzaimah yang merupakan bangsa Quraisy. Dia lebih dikenal dengan sebutan “Ummu Salamah”.

Ayahnya adalah Suhayl ibn al-Mughirah yang dikenal sebagai Abu Umayyah dan merupakan orang termapan dan terkaya di antara kaumnya, Banu Makhzum. Ayahnya ini terkenal karena kedermawanannya dan banyak lainnya. Dia juga dikenal sebagai Perbekalan Penumpang sebab dia biasa membekali siapa saja yang menyertainya. (Muhammad Fathi Mus’ad, The Wives of Prophet Muhammad Their Strives and Their Lives. Islamic INC. Publishing and Distribution 8 As-Sayeda Zainab Sq.Cairo. Egypt Translated to English, Edited, and Prepared by: Al-Falah Foundation 24 Tairan st. Nasr city, Cairo, Egypt Tel & Fax: 2622838. PDF. Tanpa tahun).

[ii] Ummu Salamah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) berkata: Rasulullah (ﷺ) masuk ke rumah Abu Salamah sewaktu matanya masih terbuka, lalu beliau memejamkan matanya. Kemudian berkata: “Sesungguhnya ruh itu bila dicabut maka pandangannya mengikutinya.” Maka menjeritlah orang-orang dari keluarganya, lalu beliau bersabda: “Janganlah kamu berdoa untuk dirimu sendiri kecuali demi kebaikan, karena sesungguhnya malaikat itu mengamini apa yang kamu ucapkan.” Kemudian beliau berdoa: “Ya Allah berilah ampunan kepada Abu Salamah, tinggikanlah derajatnya ke tingkat orang-orang yang mendapat petunjuk, lapangkanlah baginya dalam kuburnya, terangilah dia didalamnya, dan berilah penggantinya dalam turunannya.” Riwayat Muslim (Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, Kitab Janazah, Hadits ke-6)

[iii] Hadits riwayat Usamah bin Zaid (رضي الله ﻋﻧﮫ), ia berkata:
Aku pernah diberitahukan bahwa malaikat Jibril as. suatu kali mendatangi Nabi (ﷺ) ketika Ummu Salamah sedang berada di sisi beliau. Ia berkata: Lalu mulailah ia bercakap-cakap kemudian beranjak pergi. Lalu bertanyalah Rasulullah (ﷺ) kepada Ummu Salamah: Siapakah orang ini? Ummu Salamah menjawab: Ini adalah Dihyah. Ia melanjutkan: Lalu Ummu Salamah berkata: Demi Allah, aku sama sekali tidak menyangka dia kecuali sebagai dia (Jibril) sampai aku mendengar khutbah Nabi (ﷺ) yang mengabarkan berita kami. (Shahih Muslim No.4489)

ZAYNAB binti Khuzayma

Zainab binti Khuzaimah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) menikah dengan Nabi (ﷺ) pada bulan Ramadhan tahun keempat hijriah setelah Nabi menikah dengan Hafshah dan berusia limapuluhenam tahun dan Zainab berusia tigapuluh tahun. Pernikahan ini terjadi setelah Zainab menjanda karena suaminya syahid dalam perang Badar[ii]. Zainab (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) sendiri yang mengajukanANGGREK diri untuk dinikahi Nabi (ﷺ) yang kemudian diterima. Zainab binti Kuzaimah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) adalah seorang wanita yang sangat dermawan kepada anak yatim dan orang-orang miskin. Oleh karenanya dia terkenal sebagai ‘Ibunda Kaum Miskin.’

Zainab binti Khuzaimah meninggal delapan bulan setelah pernikahannya dengan Nabi (ﷺ). Semoga Allah meridlainya dan meski tak banyak orang mengenalnya hari ini, akan banyak yang merasakan kedermawanannya kelak di akhir zaman.

 

[ii] Para periwayat memiliki beragam pendapat mengenai siapa yang pernah menikahi Zainab binti Khuzaimah sebelum Nabi (ﷺ) Ada yang mengatakan bahwa sebelumnya dia pernah menikah dengan Abdullah ibn Jahsy, sepupu Nabi yang syahid dalam perang Uhud. Ada juga yang mengatakan bahwa dia pernah menikah dengan at-Tufayl ibn al-Harits ibn Abd al-Muttalib dan setelah diceraikan kemudian menikah dengan saudara at-Tufayl ibn al-Harits ibn Abd al-Muttalib, yaitu Ubaidah ibn al-Harits. Maka setelah kesyahidan suaminya itu di perang Badar, kemudian Nabi menikahi Zainab binti Khuzaimah.

Binti ash-Shati memberi preferensi terhadap pendapat ini yang mengatakan bahwa Zainab binti Khuzaimah pertama-tama menikah dengan at-Tufayl dan setelah diceraikan, kemudian menikah dengan saudaranya at-Tufayl yang bernama Ubaidah ibn al-Harits. Pendapat ini didukung oleh fakta bahwa Nabi (ﷺ) menikah dengan Hafshah setelah selesai perang Badar dimana Ubaidah (رضي الله عنه) menjadi syahid. Nabi menikahi Zainab tidak lama dari itu, diperkirakan oleh para ulama sekitar duapuluh hari setelah pernikahannya dengan Hafshah. (Muhammad Fathi Mus’ad, The Wives of Prophet Muhammad Their Strives and Their Lives. Islamic INC. Publishing and Distribution 8 As-Sayeda Zainab Sq.Cairo. Egypt Translated to English, Edited, and Prepared by: Al-Falah Foundation 24 Tairan st. Nasr city, Cairo, Egypt Tel & Fax: 2622838. PDF. Tanpa tahun).

HAFSHAH bint ‘Umar

I LOVE MOMHafshah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) adalah puteri ‘Umar ibn al-Khatab (رضي الله عنه). Sebelum menikah dengan Nabi (ﷺ), dia pernah menikah dengan seorang pria lain dan menjadi janda saat usianya muda belia, delapanbelas tahun[ii]. ‘Umar sendiri pernah meminta Abu Bakr dan ‘Usman ibn Affān agar salah satu di antara mereka mau menikahi puterinya itu. Namun dua orang sahabatnya itu menolak karena mereka tahu bahwa Nabi (ﷺ) menunjukkan ketertarikan untuk menikahi puteri ‘Umar itu. Saat ‘Umar (رضي الله عنه) datang kepada Nabi (ﷺ) untuk mengeluhkan kelakukan dua sahabatnya itu, Nabi tersenyum dan berkata, “Hafshah akan menikahi seorang laki-laki yang lebih baik daripada ‘Usman dan ‘Usman akan menikahi seorang perempuan yang lebih baik daripada Hafshah.”

‘Umar kaget dan baru sadar kalau Nabi sedang mengajukan lamaran untuk puterinya itu. Kontan saja ‘Umar menyambut dengan gembira lamaran itu.

Nabi dan Hafshah sendiri menikah setelah perang Badar saat Hafshah berumur kira-kira duapuluh tahun dan Nabi berusia limapuluhenam tahun. Dengan pernikahan ini Nabi (ﷺ) menguatkan ikatan antara dua sahabat terdekatnya, dua orang sahabatnya yang akan menjadi al-Khulafa’ ar-Rasyidin[iii] sepeninggalnya. Sekarang Nabi menikahi puteri Abu Bakr – Aisyah sekaligus juga puteri ‘Umar – Hafshah.

Dua sahabat terdekat Nabi lainnya yang akan menjadi al-Khulafa’ ar-Rasyidin ketiga dan keempat juga terhubung kepada Nabi melalui perkawinan. ‘Usman ibn Affān menikahi Ruqayya puteri Nabi di Mekkah, dan setelah Ruqayya meninggal di Madinah selepas perang Badr ‘Usman kemudian menikahi Ummu Kulthum yang juga puteri Nabi. Oleh karena menikahi dua orang puteri Nabi (ﷺ) ini membuat ‘Usman dijuluki sebagai Dhun Nurayn yang berarti ‘pemilik dua cahaya’. Dan Ali ibn Abi Thalib (رضي الله عنه) menikahi Fatimah puteri bungsu Nabi tidak lama sebelum Nabi menikahi Aisyah.

Hafshah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ), sebagaimana Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) yang nanti akan menjadi teman dekatnya[iv], tak pernah kehilangan kata-kata, dan tidak takut berargumen dengan Nabi (ﷺ) yang memang mengijinkannya mengemukakan apa yang dipikirkannya.

Suatu hari, ‘Umar berbincang dengan ibunda Hafshah dan berkata, “kupikir aku mesti begini begini.” Kemudian istrinya menjawab, “Namun akan lebih baik jika engkau begitu begitu,” “Apa kau membantahku, perempuan?” kata ‘Umar yang memang seorang laki-laki berangasan dan tidak berharap istrinya menjawab kata-katanya. “Puterimu mendebat Rasulullah sampai dia membuat jengkel Nabi seharian.” ‘Umar (رضي الله عنه) melepaskan jubahnya dan langsung menuju rumah puterinya.

“Benarkah kau berargumen dengan Rasulullah?” tanyanya.

“Ya memang benar.” Jawab puterinya.

‘Umar hampir saja menghukum Hafshah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) menyadari kelakuan putrinya yang menurutnya buruk namun saat itu Nabi memasuki kamar dan tidak mengijinkannya bahkan untuk menyentuh Hafshah. Maka ‘Umar pergi menemui Ummu Salamah agar dapat memengaruhi Hafshah melalui Ummu Salamah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ).

“Aku heran padamu Ibnul Khāttab.” Kata Ummu Salamah setelah mendengar keterangan ‘Umar. “Kau telah mencampuri semuanya. Akankah sekarang kau juga mencampuri hubungan Rasulullah dan istrinya?”

Sayyidina ‘Umar saat meriwayatkan kejadian ini, melanjutkan, “Dan dia terus mengikutiku sampai dia membuatku menyerah dengan apa yang pantas menurutku.”

Beberapa sumber mengatakan Nabi menceraikan Hafshah dengan talak satu dan ini membuat hati ‘Umar hancur lalu mulai menjatuhkan pasir ke atas kepalanya sendiri.

Nabi merujuki kembali Hafshah setelah malaikat Jibril turun dan mengatakan pada Nabi (ﷺ). “Ambillah kembali Hafshah. Dia telah shaum dan shalat dan dia akan menjadi istrimu di surga.”

Sebagaimana Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ), Hafshah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) juga menghapal Qur’an dengan baik di dalam hatinya. Salinan tertulis Al-Qur’an sendiri yang dicatat Zayd ibn Tsabit atas perintah Abu Bakr, yang kemudian diberikan kepada ‘Umar agar dijaga baik-baik, pada akhirnya diserahkan ‘Umar kepada Hafshah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) agar dijaga.

Saat ‘Umar akhirnya menjadi khalifah, beliau memerintahkan untuk membuat salinan yang sama yang kemudian dikirimkan kepada pusat-pusat utama kekaisaran Muslim yang berkembang dengan cepat. Dan salinan yang dijagai Hafshah-lah yang digunakan sebagai induk setelah salinan itu diperiksa dengan sangat teliti keakuratannya dengan cara membandingkan dan mengacu pada seluruh catatan-catatan Al-Qur’an tertulis dan kepada seluruh Muslim penghafal Al-Qur’an.

Hafshah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) sendiri hidup bersama Nabi (ﷺ) selama delapan tahun dan terus hidup selama tigapuluh empat tahun setelah kematian Nabi (ﷺ). Dia menyaksikan dengan rasa senang kemenangan dan ekspansi Islam di bawah komando ayahnya, dan menyaksikan juga dukacita yang menimpa masyarakat Muslim setelah kematian ‘Usman. Dia sendiri meninggal di tahun 47 H di usianya yang keenampuluhtiga. Semoga Allah meridlainya.

Catatan kaki:

[ii] Saat Hafsah menjelang dewasa, Khunays ubn Hudhafah ibn Qaysas –Suhamy, saudara dari Abdullah ibn Hudhafah, melamarnya. Dia adalah salah satu orang yang memeluk Islam pada awal permulaan. Namun pernikahan ini terjadi tidak lama sebelum kesyahidannya dalam perang Badar ketika Hafsah berusia delapan belas tahun. (Muhammad Fathi Mus’ad, The Wives of Prophet Muhammad Their Strives and Their Lives. Islamic INC. Publishing and Distribution 8 As-Sayeda Zainab Sq.Cairo. Egypt Translated to English, Edited, and Prepared by: Al-Falah Foundation 24 Tairan st. Nasr city, Cairo, Egypt Tel & Fax: 2622838. PDF. Tanpa tahun).

[iii] Zaman al-Khulafa’ ar-Rasyidin di Madinah (11H/632M – 40H/661M) bisa dilihat dalam table berikut:

No. Nama Mulai Berakhir Lamanya Umur
1. Abū Bakr 11 H/632 M 13 H/634 M 2 th 3 bln 63 th
2. ‘Umar ibn Khāttab 13 H/634 M 23 H/644 M 10 th 06 bln 63 th
3. ‘Usman ibn Affān 23 H/644 M 35 H/656 M 12 th 82 th
4. ‘Ali ibn Abī Talib 35 H/656 M 40 H/661 M 4 th 9 bln 63 th
4 Orang

Sumber: Almanak Alam Islami

[iv] Hadits riwayat Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ), ia berkata:
Rasulullah (ﷺ) apabila hendak melakukan perjalanan, beliau selalu mengadakan undian di antara istri-istrinya, lalu keluarlah undian tersebut untuk Aisyah dan Hafshah sehingga mereka berdua berangkat bersama Rasulullah (ﷺ) Dan pada malam hari, Rasulullah (ﷺ) berjalan bersama Aisyah untuk bercakap-cakap dengannya. Suatu kali berkatalah Hafshah kepada Aisyah: Maukah kamu malam ini menunggangi untaku dan aku menunggangi untamu sehingga kamu dapat melihat begitu juga aku. Aisyah menjawab: Baiklah. Maka Aisyah lalu menunggangi unta milik Hafshah dan Hafshah menunggangi unta Aisyah. Lalu datanglah Rasulullah (ﷺ) menghampiri unta milik Aisyah yang ditunggangi oleh Hafshah kemudian mengucapkan salam dan berjalan bersamanya sampai mereka turun berhenti. Tiba-tiba Aisyah merasa kehilangan Rasulullah dan merasa cemburu. Ketika mereka turun berhenti, mulailah Aisyah menendangkan kakinya ke tumbuh-tumbuhan izkhir yang harum baunya sambil berkata: Ya Tuhanku! Semoga ada kalajengking atau ular yang menggigitku sedang aku tidak dapat mengatakan sesuatu apapun kepada rasul-Mu. (Shahih Muslim No.4477)

‘AISYAH binti Abū Bakr

[i]

Madinah

Secara gradual ummat islam yang masih berada di Mekkah mulai meninggalkan kota dan bergerak menuju Madinah untuk bergabung dengan Nabi yang mereka cintai. Di antara mereka terdapat seorang gadis yang bernama Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ), puteri Abū Bakr. Segera setelah tiba di Madinah, Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) yang ketika itu berusia Sembilan tahun, menikah dengan Nabi Muhammad (ﷺ), yang saat itu berusia limapuluhempat tahun. Pada titik ini Aisyah meninggalkan rumahtangga keluarganya dan bergabung dengan Nabi Muhammad (ﷺ). Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad (ﷺ) pernah mengatakan padanya bahwa Jibril datang pada Nabi dan memperlihatkan pada Nabi gambarnya (Aisyah) pada selembar sutera berwarna hijau dan berkata, “Dia adalah istrimu di dunia ini dan di dunia yang akan datang[ii].”

Mengenai pernikahannya, dia mengisahkan bahwa sesaat sebelum meninggalkan rumah orangtuanya, dia menyelinap ke lapangan untuk bermain bersama teman-temannya. “Aku bermain di atas papan ayunan dan rambutku yang panjang sampai-sampai menjadi tak beraturan,” katanya. “Mereka datang ke tempatku bermain lalu mempersiapkanku.”

Mereka memakaikan padanya pakaian pernikahan yang terbuat dari kain berwarna merah dari Bahrain kemudian ibundanya membawanya pada sebuah rumah yang baru dibangun dimana beberepa orang perempuan kaum Anshar telah menunggunya di luar pintu. Mereka menyambutnya dengan kata-kata, “Demi kebaikan dan kebahagiaan, semoga semuanya berjalan baik.”[iii] Kemudian, di hadapan Nabi (ﷺ) yang tersenyum bahagia semangkuk susu dibawakan. Nabi meminum susu dari mangkuk itu dan menawarkannya pada Aisyah. Dengan malu-malu Aisyah menolaknya, namun ketika Nabi (ﷺ) memintanya dengan sungguh-sungguh barulah Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) meminmunya dan menawarkan semangkuk susu itu pada saudara perempuannya – Asma – yang duduk di sebelahnya. Hadirin yang lain juga minum dari mangkuk itu, dan kenyataan bahwa semua itu pada saat itu adalah sebuah upacara perkawinan yang sederhana dan khidmat.

Pernikahan Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) dengan Nabi (ﷺ) tidak mengubah kebiasaan Aisyah bermain, dan teman-teman bermainnya pun tetap datang mengunjunginya di dalam kamarnya.

“Aku baru akan bermain boneka,” suatu kali dia berkata, “dengan anak-anak perempuan yang merupakan teman-temanku, dan Nabi (ﷺ) baru saja akan masuk ke dalam dan mereka (teman-teman Aisyah) sesegera itu bermaksud menyelinap keluar rumah tapi Nabi memanggil dan membawa mereka balik lagi dari luar, itu karena Nabi berkenan aku bersama mereka disana.” Suatu ketika Nabi pernah berkata “Diamlah, tetap disana,” sebelum mereka punya kesempatan untuk pergi, dan bahkan bergabung dalam permainan mereka.

“Satu hari,” Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) berkata, “Nabi (ﷺ) masuk saat aku sedang bermain dengan bonekaku dan berkata, ‘Aisyah, gerangan permainan apakah ini?’ ‘Ini adalah kuda-kuda Sulaiman,’ jawabku, dan beliau tertawa.”

Pada kesempatan yang lain, saat itu Iedul Adha, dua orang anak perempuan sedang bersama Aisyah di dalam kamarnya menyanyikan sebuah lagu mengenai perang Bu’ath sambil memukul tamborin.

“Rasulullah (ﷺ) masuk,” kata Aisyah, “dan berbaring dengan wajahnya dipalingkan. Lalu Abū Bakr masuk, dan mengomeliku, beliau berkata ‘Pantaskah instrument music setan dimainkan di rumah Rasulullah?’ Lalu Rasulullah (ﷺ) menghadapkan wajahnya kepada Abū Bakr dan berkata, ‘Biarkan saja mereka, wahai Abū Bakr! Karena tiap-tiap kaum mempunyai hari raya, dan hari ini adalah hari raya kita.'”

Setelah beberapa lama, lalu Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) meminta teman-temannya itu keluar. Dan Nabi bertanya, apakah ia mau menonton orang-orang Habasyah yang sedang bermain perisai dan tombak di masjid? Maka Aisyah mengiyakannya.

“Demi Allah,” katanya, “Saya ingat Rasulullah (ﷺ) berdiri di pintu kamarku, melindungiku dengan jubah panjangnya, sehingga aku bisa melihat bagaimana permainan olahraga orang-orang Habasyah yang memainkan lembing mereka di dalam masjid Rasulullah (ﷺ).[iv] Beliau terus berdiri sampai pada saat aku merasa cukup dan masuk lagi, maka kalian dapat dengan mudah membayangkan bagaimana seorang gadis kecil yang menikmati permainan itu.”

Beberapa orang barangkali memandang bahwa pernikahan Muhammad dan Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) adalah sebagai sebuah pengecualian. Pasangan ini sendiri terdiri dari dua orang eksepsional. Nabi Muhammad (ﷺ) adalah nabi terakhir dan makhluk terbaik; sementara Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) adalah gadis yang pintar dan setia dengan ingatan yang sangat baik. Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) menghabiskan sembilan tahun hidupnya bersama Nabi (ﷺ), dan dia hidup dalam lingkungan perempuan dewasa. Dia mengingat semua yang dilihatnya dan yang didengarnya dengan sangat jelas, sebagai istri Nabi bahkan juga lebih daripada itu.

Begitu banyak hal yang terjadi di sekitar Nabi (ﷺ) – Qur’an terus juga turun, ayat demi ayat, dan hati orang-orang secara konstan berubah dan bertansformasi, termasuk juga Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) dan dia adalah saksi dari begitu banyak tempat dimana ayat-ayat itu diturunkan. Oleh karenanya tidaklah mengherankan kalau begitu banyak pengetahuan kita hari ini mengenai kehidupan dan kebiasaan Nabi (ﷺ) adalah yang diingat pertama-tama oleh Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) yang lalu diajarkannya. Bersyukur atas perkawinan yang eksepsional ini, antara seorang pria yang berada di ujung akhir hidupnya dengan seorang perempuan yang baru saja memulai hidupnya, yang kita ketahui begitu banyak tentang keduanya. Dan ini membuat begitu mudah bagi siapa saja yang ingin mengikuti jejak langkah mereka dan mengikuti apa yang mereka contohkan.

Sementara Khadijah adalah seorang perempuan yang bijaksana dan dewasa ketika beliau menikah dengan Nabi Muhammad (ﷺ), Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) adalah seorang gadis yang penuh semangat yang masih memiliki kemampuan yang baik untuk belajar ketika dia menikah dengan Nabi (ﷺ). Dia sangat cepat belajar, itu karena dia memiliki hati yang bersih, pikiran yang cepat dan ingatan yang akurat. Dia tidak takut untuk membantah demi sebuah kebenaran agar diketahui, dan kapan saja dia bisa menghantam orang lain dalam hal berpendapat. Jika begitu, biasanya Nabi akan tersenyum dan berkata, “Dialah puteri Abū Bakr!” Musa ibn Talha sekali pernah berkata “Saya tak pernah melihat seseorang yang lebih pandai dan fasih berbicara daripada Aisyah.”

Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) tumbuh menjadi seorang perempuan yang bijaksana. Teman-teman sebayanya biasa mengatakan jika saja pengetahuan Aisyah disimpan di satu sisi timbangan sementara pengetahuan semua perempuan disimpan di sisi yang lain dari timbangan itu, sisi timbangan Aisyah mestilah lebih berat dari sebaliknya. Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) biasa duduk di antara perempuan lain dan membagi-bagikan pengetahuan yang telah diterimanya dari Nabi (ﷺ). Dan jauh setelah Nabi meninggal, sepanjang hidupnya, dia adalah sumber pengetahuan dan kebijaksanaan kaum wanita pun laki-laki. Abu Musa sekali berbicara “Manakala sebuah riwayat datang kepada kami dan meragukan kami, para sahabat nabi, dan kami bertanya kepada Aisyah tentang itu, kami selalu belajar sesuatu darinya tentang itu.”

Dalam sebuah kesempatan, Nabi Muhammad (ﷺ) berkata pada Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ),

“Ya Aisyah, Jibril mengucapkan salam untukmu.”

“Wa alaihi salam wa rahmatullahi.” Jawab Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ).

Saat dia menceritakan hal ini kepada Abu Salama, Aisyah menambahkan, “Dia (maksudnya Nabi (ﷺ)) dapat melihat apa yang tidak bisa aku lihat.”

Bukan hanya seorang yang benar-benar pandai, Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) juga seorang perempuan muda yang lemah gemulai. Saat dia pertama kali masuk ke dalam rumah tangga Nabi dia adalah seorang gadis yang kuat dan tumbuhlah pertemanan yang kekal antara dia dan Saudah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ). Saudah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) sendiri merawat dan memperlakukan Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) sama dengan dia memperlakukan seluruh anggota keluarga yang lain. Saat Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) tumbuh, Saudah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ), yang kemudian menjadi seorang perempuan tua, meyerahkan waktu Nabi (yang merupakan ‘giliran’ (pent)) untuknya kepada Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) kemudian lebih memilih mengurusi keperluan rumahtangga Nabi dan menjadi Umm al Mu’minin – ‘Ibunda Orang-orang Beriman’ – gelar penghormatan yang diberikan bagi seluruh istri Nabi (semoga Allah meridlai mereka) sebagaimana Al-Qur’an telah menyatakan dengan jelas bahwa tak seorang laki-laki pun boleh menikahi mereka setelah mereka dinikahi Nabi:

Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mu’min dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah). (Qur’an S. Al-Ahzab, 33:6)

Hai isteri-isteri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan di lipat gandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah.

Dan barang siapa diantara kamu sekalian (isteri-isteri nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscaya Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezki yang mulia.

Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik,

dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.

Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.

(Quran 33:30-34)

Kadangkala sulit menggambarkan kehidupan seperti apa yang dijalani istri-istri dan para sahabat Nabi (ﷺ) dikarenakan cahaya yang dipancarkan dari Nabi melalui mereka begitu unik. Rasulullah (ﷺ) sendiri tak memiliki bayangan karena dia sendiri adalah cahaya dan cahaya ini menerangi hati dan pikiran dan pemahaman para pengikutnya, memberi mereka pengetahuan tanpa membuat mereka buta. Nabi Muhammad (ﷺ) adalah benar-benar rahmat untuk seluruh dunia, dan tak seorang pun yang memiliki hati bersih dapat melupakannya, paling tidak tentang diri Nabi.

Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.

(Quran S. Al-Ahzab 33:45-46)

Orang-orang merasa kagum terhadap Nabi Muhamad (ﷺ) saat mereka berada di hadapannya, dan mereka duduk serta mendengarkan kata-katanya dengan menurunkan pandangan, seakan-akan burung-burung-burung bertengger di atas kepala mereka, dan mereka akan melakukan apa saja demi Nabi, demikian besarnya cinta mereka kepadanya. Semua ini karena kesempurnaan dimana semua orang diperintahkan untuk memanjatkan shalawat dan salam untuknya:

Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.

(Quran S. Al-Ahzab 33:56)

Hal ini karena posisi unik Nabi Muhammad di hadapan Allah, dimana Allah sendiri meminta istri-istri dan sahabat-sahabat Nabi (ﷺ) bersikap hormat dan sopan kepada Nabi Muhammad (ﷺ); dan istri-istri Nabi (ﷺ) tidak boleh menikah lagi dengan orang lain setelah mereka menikah dengan Nabi (ﷺ):

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah. (Quran S. Al-Ahzab 33:53)

Selama sembilan tahun Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) menikah dengan Nabi Muhammad (ﷺ). Dia menyaksikan begitu banyak kejadian hebat yang membentuk keadaan masyarakat Muslim pertama di Madinah al-Munawarrah: Selama pernikahan mereka, arah qiblat berubah dari Jerusalem ke Mekkah, untuk membedakan dengan jelas ummat Muslim dari Yahudi dan Nasrani; selama pernikahan mereka, Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) harus mendengar begitu banyak orang Yahudi dan Nasrani juga para penyembah berhala yang datang kepada Nabi bukan untuk mendengarkan melainkan untuk membantahnya, dengan harapan mereka dapat menemukan alasan yang logis untuk menjustifikasi penolakan mereka terhadap Nabi (ﷺ). Melalui pertukaran-pertukaran pendapat seperti inilah Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) belajar membedakan apa yang benar dan apa yang salah; Petunjuk kenabian terus berlanjut melalui wahyu yang diterima Nabi Muhammad (ﷺ); gaya hidup Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) – bersama dengan seluruh masyarakat Muslim – secara gradual dibentuk menjadi lebih berbudi luhur; selama pernikahan mereka pulalah budaya meminum alkohol akhirnya diharamkan, menjadi jelas makanan apa yang halal dan makanan apa yang haram; menjadi wajib bagi wanita untuk memakai hijab di depan publik dan ketika shalat; petunjuk melaksanakan shaum juga diwahyukan; bahwa membayar zakat menjadi wajib bagi setiap muslim; dan seluruh ritus haji dimurnikan dan dibersihkan.

Pada kenyataannya setiap aspek kehidupan, dari kelahiran sampai kematian dan apa-apa yang terjadi antaranya, diterangi dengan bagaimana Nabi bersikap – dan cara hidup ini – Sunnah – Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) membantu memelihara dan melindunginya, tidak hanya dengan cara mewujudkannya di dalam dirinya sendiri, tapi juga dengan cara mengajarkannya kepada orang lain.

Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) suatu kali pernah diminta untuk menggambarkan bagaimana sesungguhnya pribadi Nabi (ﷺ), dan dia menjawab bahwa beliau adalah ‘Qur’an yang berjalan’. Artinya, bahwa kebiasaan, sifat dan sikap Nabi adalah Al-Qur’an yang diterjemahkan dalam tindakan keseharian. Demikian juga, Aisyah melakukan semua sesuai kemampuannya. Jadi, Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) tidak sekedar mengetahui dan mempraktikkan Sunnah, tapi juga menghafal Al-Qur’an dengan hatinya dan memahaminya.

Selama pernikahannya, bersama istri-istri nabi yang lain, berkecamuk perang-perang: Badar, Uhud dan Khandaq (parit). Tiga perang ini merupakan tiga perang utama melawan suku Quraisy, yang mengambil-alihkan kekuatan dari tangan orang-orang kafir kepada tangan-tangan ummat muslim. Meskipun Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) ketika itu masih muda usia, beliau juga berpartisipasi pada ketiga perang itu, membantu membawakan air bagi para ksatria Muslim dan membantu merawat luka-luka mereka. Dia menyaksikan kehidupan dan kematian dari dua sisi – kehidupan dan kematian berdasar jalan yang dicintai Allah, juga kehidupan dan kematian yang berdasar jalan orang-orang kafir – dan dia memahami keduanya. Inilah salah satu makna dari namanya, ‘Aisyah,’ yang berarti ‘hidup’.

Selama pernikahan mereka pula orang-orang Yahudi merencanakan dan mencoba membunuh Nabi lebih dari satu kali kesempatan, tanpa keberhasilan. Oleh karena inilah orang-orang Yahudi itu dihukum. Yang pertama adalah Banu Qayunqa kemudian Banu Nadir dan menyebabkan mereka dikeluarkan dari Madinah; kemudian Banu Qurayza – yang telah menyelisihi perjanjian antara mereka dengan kaum Muslim selama perang al-Khandaq dan bersekongkol dengan kaum kafir untuk memusnahkan ummat Muslim – hukuman mereka diputuskan oleh seorang laki-laki yang telah ditunjuk oleh mereka sendiri, Said ibn Mu’adh. Menurut apa yang ditunjukkan oleh kitab yang mereka miliki, Taurat, semua orang harus dibunuh – dengan pengecualian bagi empat orang laki-laki yang telah menerima iman Islam, para wanita dan anak-anak yang diambil menjadi budak.

Setelah kejadian ini suku Yahudi yang lain, Banu al-Mushthaliq mulai mempersiapkan diri untuk memerangi kaum Muslim. Maka Nabi (ﷺ) memimpin pasukan untuk memerangi mereka.

Seringkali ketika Nabi (ﷺ) berperang, beliau membawa salah satu istrinya untuk menemaninya. Beliau tidak memilih mereka begitu saja, tapi dengan cara mengundi dan membawa siapa saja yang namanya keluar sebagai pemenang[v]. Ketika Nabi akan berperang dengan Banu al-Mushthaliq, undian jatuh kepada Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ), maka Aisyah-lah yang berkesempatan menemani Nabi ketika itu.

Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) yang ketika itu berumur tigabelas tahun adalah seorang perempuan yang kecil, langsing dan anggun. Ini membuat kesulitan bagi para pembawa tandunya untuk membedakan dia benar-benar ada di dalam atau tidak ketika tandu itu diangkat. Dalam perjalanan pulang ke Madinah, setelah Banu al-Mushthaliq ditundukkan, pasukan Muslim berhenti untuk istirahat, namun kemudian, Nabi dengan tanpa diduga memerintahkan pasukan untuk meneruskan perjalanan pulangnya. Tanpa diketahui oleh orang lain, Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) melangkah keluar dari tandunya beberapa untuk saat dan meninggalkan kemah untuk menyendiri. Dalam perjalanan pulangnya kembali ke kemah dia menyadari bahwa kalung onyxnya hilang dan dengan demikian dia menelusuri jejaknya mencoba mencarinya sendiri. Saat dia akhirnya menemukannya dan kembali ke kemah, dia mendapati semua orang sudah tidak ada. Orang-orang yang bertugas mengangkat tandunya berpikir bahwa Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) masih berada di dalam tandu, lalu mengangkat tandu itu dan melilitkannya kepada unta, kemudian membawa tandu itu ke dalam barisan tanpa ada Aisyah di dalamnya.

Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) yang percaya sepenuhnya kepada Allah, kemudian duduk, menunggu, berharap seseorang menyadari ketidakhadirannya dan kembali untuknya. Untungnya dia tak perlu menunggu terlalu lama, seorang muslim yang berusia masih muda bernama Safwan ibn al-Mu’attal, yang tertinggal dari pasukan setelah beristirahat, pada malam hari itu sampailah pada perkemahan itu dan menemukan Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) sedang tertidur dalam keadaan kelaparan. Safwan langsung mengenali Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ), karena dia pernah melihat Aisyah sebelum Allah memerintahkan muslimah untuk memakai hijab.

“Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un!” dia berseru karena terkejut, membangunkan Aisyah dengan suaranya yang bising. Dia tidak berkata apa-apa lagi, dan Aisyah mengambil kerudungnya yang jatuh dari kepalanya saat dia sedang tertidur, lalu mengenakannya lagi. Safwan lalu menderumkan untanya dan menginjak kaki unta itu sehingga Aisyah dapat menaikinya lalu menuntun unta itu dengan tangannya menyusuri jejak langkah pasukan Rasulullah (ﷺ) dengan harapan dapat menemukan mereka pagi harinya saat mereka beristirahat di tengah terik matahari.

Sayangnya, beberapa orang munafik yang melihat kedatangan Aisyah dan Safwan berdua saja, mulai berbisik-bisik dan menyebarkan berita bohong tentang mereka berdua. Akhirnya cerita bohong itu sampai kepada Nabi (ﷺ) dan orang-orang membicarakan apa yang mungkin saja terjadi sebelumnya, antara dua orang muda itu. Secara alamiah kaum mu’minun tak melihat sesuatu yang buruk terjadi antara kedua orang muda itu. Namun orang-orang munafik berpikir sebaliknya dan tanpa rasa takut menyindir-nyindir apa yang terjadi.

Sebagai hasil dari gossip murahan itu, Nabi (ﷺ) dan rumahtangganya mengalami ketegangan yang hebat. Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) sendiri jatuh sakit, bukan karena menghiraukan apa yang digunjingkan tentangnya, melainkan karena Nabi seakan-akan tidak memperhatikannya sebagaimana biasa sebelum memimpin pasukan memerangi Banu al Mushthaliq. Akhirnya, seseorang memeberitahukan kepada Aisyah apa yang digunjingkan orang-orang. Ini membuat Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) sakit lebih parah. Kemudian dengan memohon izin dari Nabi, Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) memutuskan untuk tinggal bersama orangtuanya. Sesampainya di rumah orangtuanya, Aisyah bertanya pada ibundanya, Ummu Ruman (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ),

“Wahai ibuku, apakah yang dikatakan oleh orang-orang mengenai diriku?”

“O putriku,” jawab ibunda Aisyah, “Jangan terlalu menghiraukannya. Demi Allah, jarang sekali ada wanita cantik yang sangat dicintai suaminya dan mempunyai beberapa madu, kecuali pasti banyak berita kotor dilontarkan kepadanya.”

Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) berkata, “Maha suci Allah, apakah setega itu orang-orang menggunjingkan aku?”

Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) kemudian menceritakan, “Aku menangis malam itu sampai pagi air mataku tidak berhenti mengalir dan aku tidak dapat tidur dengan nyenyak. Pada pagi harinya, aku masih saja menangis.”

Sementara itu, saat Safwan dikonfrontasikan dengan tuduhan tanpa bukti itu, dia menjawab,

“Maha suci Allah! Demi Allah, Aku tak pernah menyingkapkan kerudung wanita manapun!”

Sejak saat itu tak ada wahyu untuk mengklarifikasi masalah itu. Nabi (ﷺ) lalu menanyai Barirah yang merupakan pelayan Aisyah apakah ia pernah menyaksikan sikap Aisyah yang meragukan.

“Demi Zat yang telah mengutusmu membawa kebenaran!” jawab Barirah, “Tidak ada perkara buruk yang aku lihat dari dirinya kecuali bahwa Aisyah adalah seorang perempuan yang masih muda belia, yang biasa tidur di samping adonan roti keluarga lalu datanglah hewan-hewan ternak memakani adonan itu.”

Beberapa sahabat yang hadir saat itu menghardik Barirah dan memintanya untuk langsung menjawab pada inti pertanyaan.

“Maha suci Allah,” jawab Barirah, “aku mengenalnya sebagaimana ahli permata mengetahui sepotong emas murni!”

Nabi (ﷺ) juga menanyakan pendapat Zaynab binti Jahsy (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) – istrinya yang lain. Meski Zaynab dan Aisyah seringkali berselisih karena Aisyah merasa Zaynab binti Jahsy adalah satu-satunya madu yang dapat menyaingi kecantikannya, dan saudara perempuan Zaynab yang bernama Hamna, adalah salah seorang perempuan yang aktif menyebarkan desas-desus itu. Namun demikian Zaynab menjawab tanpa keraguan.

“Ya Rasulullah,” katanya, “aku selalu menjaga pendengaran dan penglihatanku (dari hal-hal yang tidak layak). Demi Allah, yang kuketahui hanyalah kebaikan.”

Nabi (ﷺ) kemudian mencoba membersihkan kehormatan Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) dengan cara memanggil semua orang ke mesjid dan secara publik mempertahankan nama baik Aisyah. Namun orang-orang munafik yang memulai masalah ini dari awal hanya memperburuk keadaan, maka terjadilah perdebatan di dalam masjid itu, dan orang-orang hampir saja keluar dari permasalahan yang sesungguhnya sehingga Nabi (ﷺ) menenangkan dan mendiamkan mereka.

Nabi (ﷺ) kemudian datang ke rumah Abū Bakr dimana Aisyah sedang menangis melepaskan isi hatinya, dan di hadapan orangtua Aisyah itu Nabi (ﷺ) mengucapkan syahadat lalu berkata,

“Jika engkau memang bersih, Allah pasti akan membersihkan dirimu dari tuduhan-tuduhan itu. Tetapi kalau engkau memang telah berbuat dosa, maka mohonlah ampun kepada Allah dan bertobatlah kepada-Nya. Sebab, bila seorang hamba mengakui dosanya kemudian bertobat, tentu Allah akan menerima tobatnya.”

Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) berkata “Ketika Rasulullah (ﷺ) selesai berbicara, air mataku pun habis sehingga aku tidak merasakan satu tetespun terjatuh. Lalu aku berkata kepada ayahku: Jawablah untukku kepada Rasulullah (ﷺ) mengenai apa yang beliau katakan. Ayahku menyahut: ‘Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus aku katakan kepada Rasulullah (ﷺ).’ Kemudian aku berkata kepada ibuku: ‘Jawablah untukku kepada Rasulullah (ﷺ)!’ Ibuku juga berkata: ‘Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada Rasulullah (ﷺ).’”

Lalu Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) berkata, “Aku adalah seorang perempuan yang masih muda belia. Aku tidak banyak membaca Alquran. Demi Allah, aku tahu bahwa kalian telah mendengar semua ini, hingga masuk ke hati kalian, bahkan kalian mempercayainya. Jika aku katakan kepada kalian, bahwa aku bersih dan Allah pun tahu bahwa aku bersih, mungkin kalian tidak juga mempercayaiku. Dan jika aku mengakui hal itu di hadapan kalian, sedangkan Allah mengetahui bahwa aku bersih, tentu kalian akan mempercayaiku. Demi Allah, aku tidak menemukan perumpamaan yang tepat bagiku dan bagi kalian, kecuali sebagaimana dikatakan ayah Nabi Yusuf: ‘Kesabaran yang baik itulah kesabaranku.’ Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kalian ceritakan (Quran 12:18)” Kemudian aku pindah dan berbaring di tempat tidurku. Demi Allah, pada saat itu aku yakin diriku bersih dan Allah akan menunjukkan kebersihanku. Tetapi, sungguh aku tidak berharap akan diturunkan wahyu tentang persoalanku. Aku kira persoalanku terlalu remeh untuk dibicarakan Allah Taala dengan wahyu yang diturunkan. Namun, aku berharap Rasulullah (ﷺ) akan bermimpi bahwa Allah membersihkan diriku dari fitnah itu.“

Aisyah dengan berat menyelesaikan perkataannya saat Rasulullah (ﷺ) menerima wahyu beberapa ayat Al-Qur’an, dan saat selesai, Rasulullah tersenyum dan berkata,

“Bergembiralah, wahai Aisyah, sesungguhnya Allah telah membersihkan dirimu dari tuduhan.“

Ibunda Aisyah yang telah berdiri di sampingnya sejak tadi kemudian berkata kepada Aisyah,

“Bangunlah! Sambutlah beliau!”

“Demi Allah,” Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) yang berjuluk ‘Siddiqa’ yang berarti ‘yang benar’ berseru, “aku tidak akan bangun menyambut beliau. Aku hanya akan memuji syukur kepada Allah. Dialah yang telah menurunkan ayat Alquran yang menyatakan kebersihanku!”

Kemudian Nabi (ﷺ) keluar menuju masjid dan mengumumkan wahyu yang baru saja diterimanya.

Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Olah karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang- orang yang dusta. Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu. (Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. Dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar.” Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.

(Quran S. An-Nuur; 24:11-19)

Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) sendiri memaafkan mereka yang terlibat dalam fitnah itu dan di tahun-tahun berikutnya tak terdengar lagi sesuatu yang buruk tentang mereka.

Kenyataan bahwa kehormatan dan reputasi Aisyah telah dilindungi oleh wahyu yang turun dari Allah tak bisa diabaikan oleh siapa pun, dan sejak saat itu semua orang mulai sadar tentang status Aisyah yang tinggi di sisi Allah.

Selama pernikahan Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) dan Nabi (ﷺ) pulalah ummat Muslim bersiap memperluas pengaruh dengan cepat. Mekkah pada akhirnya ditaklukkan oleh pasukan Muslim, dan persiapan-persiapan mulai dilakukan pertama kali untuk begitu banyaknya pertempuran. Keberhasilan berperang melawan Romawi dan Persia setelah surat-surat yang dilayangkan Nabi (ﷺ) yang mengundang Heraklius dan Kisra untuk menerima Islam dan beribadah hanya kepada Allah ditolak dengan cara yang merendahkan.

Ekspansi luarbiasa ini – sebuah gagasan yang terlihat seperti sebuah mimpi gila saat kematian Khadijah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) mulai digembargemborkan. Pada tahun 6 H, dengan perjanjian Hudaibiah, dengan kebijaksanaan dimana perdamaian antara kaum Quraisy dan ummat Muslim dideklarasikan untuk sepuluh tahun ke depan, dan hak ummat Muslim untuk memasuki kota Mekkah dan melakukan umrah tidak dilarang lagi dan disetujui oleh orang-orang Quraisy.[vi]

Meski ummat Muslim harus menunggu satu tahun sebelum mereka dapat melaksanakan umrah, tahun itu tidak lama terlewati. Dalam interval itu kaum Yahudi Khaybar, sebagaimana kaum Yahudi lain yang mengelilingi Madinah, berusaha menghancurkan masyarakat Muslim dengan cara merusak perjanjian damai mereka dengan masyarakat Muslim dan mensponsori para penyembah berhala. Mereka akhirnya diperangi dan berhasil ditaklukkan. Setelah Yahudi Khaybar ini berhasil ditaklukkan, seorang perempuan yahudi berusaha meracuni Nabi dengan cara menyajikan daging beracun untuk Nabi, dimana makanan ini sendiri memberitahukan kepada Nabi tentang keberacunannya sehingga Nabi hanya mencicipinya sedikit. Namun demikian, seorang sahabat telah memakan daging itu yang mengakibatkannya meninggal. Rasulullah sendiri mengampuni perempuan yahudi itu dan membebaskannya.

Yahudi Khaybar diizinkan tinggal di tanah yang disediakan untuk mereka dengan syarat wajib membayar jizyah kepada masyarakat Muslim satu tahun sekali. Sebagai hasilnya, beberapa orang Muslim mulai tumbuh lebih sejahtera daripada sebelumnya.

Memang pada suatu kesempatan, istri-istri nabi, dipimpin oleh Aisyah dan Hafshah, pernah meminta pada Nabi sejumlah uang yang tak dimilikinya. Kenyataannya Nabi memang tak pernah tidur pada malam harinya dengan memiliki uang. Nabi (ﷺ) dipusingkan dengan keadaan ini bukan karena dia tak punya uang untuk diberikan, melainkan karena nafsu yang mereka perlihatkan.

Saat itu, Abū Bakr datang bersama dengan ‘Umar ibn Khatab dan mereka menemukan Rasulullah (ﷺ) sedang duduk dikelilingi istri-istrinya yang semuanya diam. Abū Bakr berkata pada dirinya sendiri,

”Demi Allah, aku akan mengucapkan sesuatu yang akan membuat Rasulullah gembira.” Maka dia berkata,

“Ya Rasulullah, jika aku melihat putri Kahrija memintaku uang, maka aku akan mencekiknya!”

Rasulullah tersenyum dan berkata,

“Mereka yang berkeliling di sekitarku ini memintaku uang.”

Mendengar itu maka Abū Bakr menyeret Aisyah dan ‘Umar menyeret Hafshah, keduanya berseru,

“Apakah kalian meminta Rasulullah sesuatu yang tidak dimilikinya?”

Kedua orang perempuan itu berkata,

“Demi Allah, kami tidak akan pernah meminta Rasulullah sesuatu yang tidak dimilikinya!”

Ini bukanlah satu-satunya masalah perkawinan yang dialami Nabi saat itu. Ada semacam persaingan hebat antara beberapa istri Nabi dan Hafshah sendiri pernah bercerita kepada Aisyah sesuatu dimana Nabi (ﷺ) mengatakan pada Hafshah agar tidak mengungkapkannya karena merupakan sesuatu yang akan meningkatkan friksi di antara istri-istri Nabi. Beberapa sumber mengatakan bahwa Nabi berkata padanya bahwa Abū Bakr dan ‘Umar akan menjadi pemimpin setelah Nabi.

Dalam beberapa kasus, Nabi pernah mengambil jarak dengan istrinya untuk beberapa bulan. Ini menyebabkan beberapa sahabat mulai berpikir bahwa Nabi akan menceraikan mereka atau bahkan sudah melakukannya.

Diriwayatkan dari ‘Umar ibn Khāttab (رضي الله عنه) bahwa ia pergi menjenguk Nabi (ﷺ) yang berdiam sendirian dalam sebuah kamar kecil di atas loteng untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Sebelumnya dia menemui dulu putrinya, Hafshah yang sedang menangis, dan menanyakan padanya apakah Nabi telah menceraikan istri-istrinya.

“Aku tidak tahu,” jawab Hafshah sambil tersedu-sedu.

Lalu ‘Umar masuk dan meminta izin menemui Nabi. Setelah dia mendapatkan izin, maka naiklah ‘Umar melalui tangga kayu yang biasa digunakan Rasulullah untuk naik turun menuju sebuah kamar kecil.

“Aku lalu segera masuk menemui Rasulullah (ﷺ) yang sedang berbaring di atas sebuah tikar. Aku duduk di dekatnya lalu beliau menurunkan kain sarungnya dan tidak ada sesuatu lain yang menutupi beliau selain kain itu. Terlihatlah tikar telah meninggalkan bekas di tubuh beliau. Kemudian aku melayangkan pandangan ke sekitar kamar beliau. Tiba-tiba aku melihat segenggam gandum kira-kira seberat satu sha‘ dan daun penyamak kulit di salah satu sudut kamar serta sehelai kulit binatang yang belum sempurna disamak. Seketika kedua mataku meneteskan air mata tanpa dapat kutahan.”

‘Umar bercerita. “Rasulullah bertanya: ‘Apakah yang membuatmu menangis, wahai putra Khathab?’ Aku menjawab: ‘Wahai Rasulullah, bagaimana aku tidak menangis, tikar itu telah membekas di pinggangmu dan di tempat ini aku tidak melihat yang lain dari apa yang telah aku lihat. Sementara Kaisar (raja Romawi) dan Kisra (raja Persia) bergelimang buah-buahan dan sungai-sungai sedangkan engkau, utusan Allah dan hamba pilihan-Nya hanya berada dalam sebuah kamar pengasingan seperti ini.’ Rasulullah (ﷺ) lalu bersabda: ‘Wahai putra Khathab, apakah kamu tidak rela, jika akhirat menjadi bagian kita dan dunia menjadi bagian mereka?’ Aku menjawab: ‘Tentu saja aku rela.’”

‘Umar berkata: “Ketika aku pertama kali masuk, aku melihat kemarahan di wajah beliau. Lalu aku tanyakan kepada beliau: ‘Wahai Rasulullah, apakah yang menyusahkanmu dari urusan istri-istrimu? Jika engkau ceraikan mereka, maka sesungguhnya Allah dan seluruh malaikat-Nya akan tetap bersama engkau begitu juga Jibril, Mikail, aku dan Abū Bakr serta segenap orang-orang mukmin pun akan tetap bersamamu.’ Sambil mengucapkan kata-kata itu aku selalu memuji Allah dan berharap semoga Allah membenarkan ucapan yang aku lontarkan tadi. Kemudian turunlah ayat takhyir (memberikan pilihan) berikut ini:”

Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.

(Quran S. At-Tahriim 66:4-5)[vii]

Kenyataannya Nabi Muhammad (ﷺ) tak pernah menceraikan istri-istrinya, dan seperti yang kemudian kita sadari bagaimana mereka hidup, semoga Allah meridlai mereka, sangat jelas bahwa mereka memiliki kualitas manusia seperti yang digambarkan dalam ayat terakhir di atas. Barangkali ayat ini diturunkan untuk mengingatkan mereka, sebuah peringatan bahwa mereka akan dikenang sepanjang hidup mereka dimana kebanyakan mereka dapat hidup jauh lebih lama setelah kematian Nabi (ﷺ).

Kembali kepada kunjungan Sayyidina ‘Umar kepada Nabi (ﷺ) mengenai perpisahan Nabi (ﷺ) dengan istri-istrinya selama sebulan, ‘Umar bertanya,

“Wahai Rasulullah, apakah engkau telah menceraikan mereka?” Maka Nabi (ﷺ) menjawab,

“Tidak.”

Maka setelah berbicara beberapa lama dan bagaimana di Mekkah laki-laki cenderung mendominasi kaum perempuan, sementara di Madinah kaum perempuan yang cenderung mendominasi laki-laki, itulah apa yang telah dipelajari kaum perempuan Mekkah setelah mereka melakukan hijrah – ‘Umar lalu turun dan berdiri di pintu masjid dan meninggikan suaranya.

“Rasulullah (ﷺ) tidak menceraikan istri-istrinya.”

Setelah satu bulan, Nabi Muhammad (ﷺ) untuk pertama kali masuk mengunjungi Aisyah di kamarnya. Aisyah begitu senang melihat Nabi, namun menjadi lebih serius saat Nabi menyampaikan bahwa beberapa ayat Al-Qur’an telah diwahyukan kepadanya dan meminta Nabi memberikan dua pilihan kepada Aisyah.

“Jangan membuat keputusan yang terburu-buru,” katanya, “dan tanyakan dulu kepada kedua orangtuamu.”

Nabi kemudian membacakan ayat-ayat ini:

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridlaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar.

(Quran S. Al-Ahzaab; 33:28-29)

“Jadi tentang soal inikah aku disuruh untuk meminta pertimbangan kedua orang tuaku?” jawab Aisyah. “Sesungguhnya aku menghendaki Allah dan Rasul-Nya serta kesenangan akhirat.”

Dan jawaban Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) ini diikuti juga oleh istri-istri nabi yang lain.[viii]

Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) terbukti dengan kata-katanya itu baik ketika Nabi (ﷺ) masih hidup, pun ketika Rasulullah (ﷺ) telah tiada. Suatu ketika, saat kaum Muslim diberi kekayaan yang besar, Aisyah juga mendapatkan seratus ribu dirham. Aisyah dalam keadaan berpuasa ketika dia menerima uang itu lalu memberikan uang itu kepada orang miskin dan membutuhkan, padahal di rumahnya dia tak memiliki harta benda. Sesaat setelah itu, pembantunya berkata padanya,

“Tidak dapatkah kau mengambil uang sekedar seharga daging untuk buka puasamu?”

“Jika saja aku berpikir demikian,” jawab Aisyah, “maka aku tak akan melakukannya!” (Maksudnya tak akan jadi bersedekah – pent)

Satu tahun berjalan setelah perjanjian Hudaibiah, kaum Muslim pergi ke Mekkah dan mereka bisa melaksanakan semua ritual umrah, melaksanakan semua sebagaimana Nabi (ﷺ) melaksanakannya. Sesuai dengan poin-poin perjanjian, kaum Muslim meninggalkan Mekkah setelah tiga hari, saat rangkaian umrah mereka selesai seluruhnya. Tidak lama setelah itu, Nabi mengirim pasukan ke arah utara menuju perbatasan daerah Byzantium – yang pada masa sekarang adalah Palestina – untuk menghukum suku disana karena telah membunuh pembawa pesan yang dikirimkan Nabi kepada suku-suku itu agar menerima Islam sebagai agamanya. Suku-suku itu kemudian meminta Kaisar Heraklius agar mendukung mereka. Dan saat pasukan Muslim tiba di Muta, mereka menghadapi pasukan sebanyak duaribu orang. Banyak di antara kaum Muslim yang mati syahid di hari pertempuran itu.

Namun untunglah ada taktik perang Khalid ibn Walid, Romawi akhirnya menarik pasukan di hari berikutnya sehingga memberi kesempatan pasukan Muslim untuk dapat kembali ke Madinah hampir tanpa cedera. Saat cerita pertempuran Muta akhirnya sampai di kota Mekkah, kaum Quraisy secara salah, mengira bahwa kaum Muslim telah ditaklukkan Romawi sehingga memutuskan untuk memperbaharui perlawanan mereka terhadap Nabi (ﷺ). Dengan demikian, mereka secara sengaja menyelisihi perjanjian yang telah mereka sepakati di Hudaibiah dengan cara mempersilahkan sekutu-sekutu mereka membunuhi sekutu-sekutu kaum Muslim yang berada di sekitar kota Mekkah.

Dengan demikian Nabi (ﷺ) memimpin pasukan sebanyak sepuluh ribu ummat Muslim berduyun-duyun menuju kota Mekkah. Meskipun pasukan ini membuat takut orang-orang, namun hanya menumpahkan darah yang sangat sedikit. Sebagaimana biasa, pengampunan dan permaafan dengan penuh rasa kasih sayang diperlihatkan Nabi bagi orang-orang yang sebelumnya menentangnya bertahun-tahun, dan itu mampu mengubah hati orang-orang dan banyak orang Mekkah saat itu akhirnya menerima dan masuk Islam. Setelah memaafkan seluruh suku Quraisy, dengan pengecualian empat orang yang telah melakukan pembunuhan atas dasar alasan pribadi. Nabi (ﷺ) kemudian merobohkan semua berhala dan mengahancurkan semua lukisan-lukisan yang disimpan para penyembah berhala di dalam Ka’bah.[ix] Kesucian altar Mekkah telah dikembalikan, dan akhirnya ummat Islam bebas keluar masuk kota Mekkah sesuka hati.

Di tengah perasaan damai dan rasa senang itu, datanglah berita yang mengatakan bahwa suku Hawazin dan Thaqif sedang bersiap menyerang ummat Muslim. Pasukan Muslim yang telah menaklukkan kota Mekkah, membengkak menjadi duabelas ribu ditambah dengan orang-orang dari suku Quraisy yang telah masuk Islam, berduyun-duyun menuju tempat yang bernama Hunain. Untuk pertama kalinya dalam pengalaman mereka, jumlah pasukan kaum Muslim melebihi jumlah pasukan musuh yang hanya sekitar empat ribu tentara. Hal ini hampir merusak keyakinan ummat Muslim – kebanyakan mereka bisa selamat adalah karena jumlah mereka yang banyak bukan karena keyakinan mereka kepada Allah.

Saat pasukan musuh menyerang di waktu subuh dan menghujani mereka dengan anak panah dari atas bukit, pasukan Muslim dikagetkan dan banyak dari antara mereka yang gugur. Sebuah kelompok kecil berdiri tegak bersama bersama Nabi, salah satu si antanya adalah Ummu Sulaim binti Milhan, istri dari Abu Talhah. Meskipun dia dalam keadaan hamil pada saat itu, dia mempersenjatai diri dengan belati untuk digunakannya melawan orang-orang kafir.

Beruntung terdapat muslim-muslim kuat yang berdiri di sekitar Nabi (ﷺ) dan meski mereka hanya berjumlah sekitar enam ratus orang. Upaya mereka yang kompak bertarung dengah gagah berani di Jalan Allah, mengambil alih arus pasang perang sehingga mereka yang dalam keadaan panik dan bingung kembali lagi bertarung dan dimenangkanlah perang itu.

Setelah perang Hunain, resistensi yang terus dilakukan kepada kaum Muslim hanya datang dari sebelah timur dan timur laut yaitu dari Byzantium dan Persia.

Setelah mendengar kejadian itu, Romawi mempersiapkan pasukan besar berjumlah tiga puluh ribu orang dan berduyun-duyun di bawah terik musim panas untuk memerangi mereka. Setelah mengalami iring-iringan yang lama, berat dan panas di bawah terik musim panas, ummat Muslim akhirnya mencapai Tabuk dan disini mereka mengetahui bahwa pasukan Romawi telah mundur ke dalam wilayahnya sendiri. Dengan demikian setelah membuat perjanjian damai dengan suku-suku di perbatasan, pasukan Muslim kembali lagi ke Madinah, pada saat yang sama banyak dari mereka pergi menunaikan ibadah haji di Mekkah. Sementara mereka yang menolak pergi berperang dalam ekspedi Tabuk itu dengan cara pura-pura sakit akhirnya merasa malu dan menyesal teramat sangat.

Tabuk

Nabi (ﷺ) sendiri tidak pergi menunaikan haji pada tahun itu untuk menerima orang-orang yang datang ke Madinah dari seluruh tanah arab untuk memeluk Islam dan menyatakan ikrar persekutuan kepadanya. Tahun itu kemudian dikenal dengan ‘Tahun Delegasi’, dimana pada suatu ketika di tahun itu, Nabi merasa letih karena bertemu banyak orang sehingga memaksanya untuk shalat dengan keadaan duduk. Malahan Abū Bakr (رضي الله عنه) -lah yang memimpin haji tahun itu.

Pada musim haji tahun itu turunlah ayat Al-Qur’an yang melarang penyembah berhala bahkan hanya untuk memasuki kota suci Mekkah; ayat-ayat itu diumumkan oleh Ali ibn Abu Thalib(رضي الله عنه) selama musim haji tahun itu yang langsung diutus dari Madinah ke Mekkah sesegera ayat-ayat itu diterima sehingga dapat langsung didengar oleh sebanyak-banyaknya orang yang ada disana.

Tahun berikutnya saat musim haji mulai dekat, Nabi (ﷺ) mengumumkan bahwa beliau akan melaksanakan ibadah haji pada tahun itu. Ini menyebabkan semua orang ingin pergi ibadah haji dengannya. Ummat Muslim yang tidak berada di kota Madinah atau tidak pula di sekitarnya lalu datang dulu ke Madinah untuk menyertai Nabi (ﷺ) dalam perjalanan ke Mekkah. Sementara lainnya yang datang dari bagian Arabia yang lain langsung datang ke Mekkah dan bergabung dengan Nabi (ﷺ) di kota suci itu.

Di antara orang-orang yang menunaikan apa yang menjadi terkenal sebagai ‘Haji Wada’ –nya Nabi (ﷺ) adalah Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ), dimana Nabi meminta semua istrinya untuk memastikan semua istrinya memenuhi kewajiban ini sebagai penghormatan kepada Tuhannya. Ini merupakan haji yang istimewa. Tak pernah dan tak akan pernah terjadi lagi haji seperti ini yang dilakukan Nabi (ﷺ) dan di sekelilingnya istri-istri dan para sahabat(رضي الله عنه) . Dan dalam musim haji ini turunlah ayat:

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.

(Quran S. Al-Maa’idah 5:3)

Selama musim haji ini juga Nabi (ﷺ) menyampaikan khutbah haji terakhirnya yang terkenal, dimana kata-katanya masih mendengung di dalam telinga kita dan menggema di dalam hati kita berabad-abad lamanya. Setelah beliau berbicara pada ribuan ummat Muslim yang bergabung bersamanya di tanah Arafah, beliau sedikit meninggikan suaranya dan bertanya, “الاهل بڵغت “ (Wahai! Sudahkah aku sampaikan?) Dan semua yang hadir disana serempak menjawab pertanyaannya: “Ya, sudah anda sampaikan.”[x]

arafah D

Suasana Padang Arafah Masa Kini

Dan semua yang hadir disana menyampaikan pesan-pesan Nabi di Padang Arafah itu kepada mereka yang tidak hadir disana. Dan itu terus berlanjut hingga hari ini. Dan salah satu yang hadir disana adalah Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) dimana Nabi (ﷺ) suatu kali pernah berkata, “Pelajarilah tentang beberapa hal dari agamamu dari perempuan berambut merah ini.” Yang berarti Aisyah.

Maka tidaklah mengherankan jika Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) adalah satu dari empat orang yang meriwayatkan lebih dari dua ribu hadits. Yang lainnya adalah Abu Hurairah, Abdullah ibn ‘Umar dan Anas ibn Malik. Kebanyakan dari hadits itu adalah mengenai aspek-aspek mendalam dari kebiasaan dan kesehatan pribadi dimana hanya bisa dipelajari oleh orang yang berada pada posisi seperti Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ).

Selama pernikahan Nabi dan Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) inilah Nabi (ﷺ) menikahi beberapa istrinya yang lain. Biasanya untuk menguatkan hubungan antara keluarga dan suku-suku yang penting, atau untuk mengurangi beban seorang wanita yang diceraikan atau menjadi janda secara tiba-tiba, atau dengan alasan untuk memperlihatkan dengan jelas kewajiban bagi seorang muslim untuk menikah. Namun alasan utama semua pernikahan itu adalah karena diperintahkan Allah, dan karena semua istri Nabi (ﷺ) adalah wanita-wanita istimewa.

 

[i] Aisyah lahir di Mekkah empat atau lima tahun setelah misi kenabian. Aisyah bersama saudarinya, Asma, masuk Islam saat mereka masih kecil dan ummat muslim masih sebagai minoritas. Ayahnya adalah as-Siddiq, Khulafa ar-Rasyidin, ‘Abu Bakr ‘Abdullah ibn Abu Quhafah ,Uthman ibn ‘Amir ibn ‘Amr ibn Ka’b ibn Sa’d ibn Taym ibn Murrah ibn Ka’b ibn Lu’ayy yang berasal dari suku Quraisy. Silsilahnya bertemu dengan Nabi (ﷺ) pada Murrah ibn Ka’b.

Ibundanya adalah sahabat Nabi yang patut dimuliakan, bernama Ummu Ruman binti ‘Amir ibn ‘Uwaymir ibn ‘AbdShams yang berasal dari suku Banu Kinanah. Dia masuk Islam saat Islam masih permulaan dan berikrar kepada Nabi (ﷺ), dan kemudian ikut hijrah ke kota Madinah. (Muhammad Fathi Mus’ad, The Wives of Prophet Muhammad Their Strives and Their Lives. Islamic INC. Publishing and Distribution 8 As-Sayeda Zainab Sq.Cairo. Egypt Translated to English, Edited, and Prepared by: Al-Falah Foundation 24 Tairan st. Nasr city, Cairo, Egypt Tel & Fax: 2622838. PDF. Tanpa tahun).

[ii] Hadits riwayat Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ), ia berkata:
Rasulullah (ﷺ) pernah bersabda: Tiga malam aku bermimpi melihat kamu. Malaikat datang kepadaku mengantarkanmu dengan memakai sepotong baju sutera seraya berkata: Inilah istrimu. Ketika aku buka wajahmu, ternyata itu memang benar-benar kamu. Lalu aku katakan: Kalau itu memang datang dari sisi Allah, maka Allah pasti akan menjadikannya kenyataan. (Shahih Muslim No.4468)

[iii] Hadits riwayat Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ), ia berkata:
Rasulullah (ﷺ) menikahiku pada saat aku berusia enam tahun dan beliau menggauliku saat berusia sembilan tahun. Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ). melanjutkan: Ketika kami tiba di Madinah, aku terserang penyakit demam selama sebulan setelah itu rambutku tumbuh lebat sepanjang pundak. Kemudian Ummu Ruman datang menemuiku waktu aku sedang bermain ayunan bersama beberapa orang teman perempuanku. Ia berteriak memanggilku, lalu aku mendatanginya sedangkan aku tidak mengetahui apa yang diinginkan dariku. Kemudian ia segera menarik tanganku dan dituntun sampai di muka pintu. Aku berkata: Huh.. huh.. hingga nafasku lega. Kemudian Ummu Ruman dan aku memasuki sebuah rumah yang di sana telah banyak wanita Ansar. Mereka mengucapkan selamat dan berkah dan atas nasib yang baik. Ummu Ruman menyerahkanku kepada mereka sehingga mereka lalu memandikanku dan meriasku, dan tidak ada yang membuatku terkejut kecuali ketika Rasulullah (ﷺ) datang dan mereka meyerahkanku kepada beliau. (Shahih Muslim No.2547)

[iv] Ringkasan Shahih Bukhari – M. Nashiruddin Al-Albani – Gema Insani Press Kitab Dua Hari Raya Not 509. “Hari itu adalah hari raya, di mana orang Sudan (dalam satu riwayat: orang-orang Habasyah 1/117) bermain perisai dan tombak di dalam masjid. Barangkali saya yang meminta kepada Nabi atau barangkali beliau sendiri yang mengatakan kepadaku, ‘Apakah engkau ingin melihat?’ Saya menjawab, ‘Ya.’ Saya disuruhnya berdiri di belakang beliau di depan pintu kamarku. Beliau melindungiku dengan selendang beliau, sedang aku melihat permainan mereka di dalam masjid. Lalu, ‘Umar[2] menghardik mereka. Kemudian Nabi bersabda, ‘Biarkanlah mereka.’ (4/162) Maka, saya terus menyaksikan (6/147) sedang pipiku menempel pada pipi beliau, dan beliau berkata, ‘Silakan (dan dalam satu riwayat: aman) wahai bani Arfidah!’ Sehingga, ketika aku sudah merasa bosan, beliau bertanya, ‘Sudah cukup?’ Aku menjawab, ‘Cukup.’ Beliau bersabda, ‘Kalau begitu, pergilah.'” (Maka, perkirakanlah sendiri wanita yang masih muda usia, yang senang sekali terhadap permainan. 6/159)

[v] Lihat Note No. xvi.

[vi] Hadits riwayat Sahal ibn Hunaif (رضي الله ﻋﻧﮫ):
Dari Abu Wail (رضي الله ﻋﻧﮫ) ia berkata: Pada perang Shiffin, Sahal ibn Hunaif berdiri dan berkata: Wahai manusia! Tuduhlah diri kamu sekalian, kita telah bersama Rasulullah (ﷺ) pada hari perjanjian Hudaibiah. Seandainya kita memilih berperang, niscaya kita akan berperang. Peristiwa itu terjadi pada waktu perjanjian damai antara Rasulullah (ﷺ) dengan kaum musyrikin. Lalu datanglah ‘Umar ibn Khathab menemui Rasulullah (ﷺ) dan bertanya: Wahai Rasulullah, bukankah kita ini di pihak yang benar dan mereka di pihak yang batil? Rasulullah (ﷺ) menjawab: Benar. Ia bertanya lagi: Bukankah prajurit-prajurit kita yang terbunuh berada di surga dan prajurit-prajurit mereka yang terbunuh berada di neraka? Rasulullah (ﷺ) kembali menjawab: Benar. Ia bertanya lagi: Kalau begitu, mengapa kita memberikan kehinaan bagi agama kita lalu kembali pulang padahal Allah belum memutuskan siapa yang menang antara kita dan mereka? Rasulullah (ﷺ) bersabda: Wahai Ibnu Khathab! Sesungguhnya aku ini adalah utusan Allah. Percayalah, Allah tidak akan menyia-nyiakan aku selamanya. Lalu ‘Umar bertolak kembali dalam keadaan tidak sabar dan emosi menemui Abū Bakr dan berkata: Wahai Abū Bakr! Bukankah kita ini di pihak yang benar dan mereka itu di pihak yang batil? Abū Bakr menjawab: Benar. ‘Umar bertanya: Bukankah prajurit-prajurit kita yang terbunuh akan masuk surga dan prajurit-prajurit mereka yang terbunuh akan masuk neraka? Abū Bakr menjawab: Benar. ‘Umar bertanya lagi: Kalau demikian, mengapa kita harus memberikan kehinaan kepada agama kita dan kembali pulang (Madinah) padahal Allah belum memutuskan siapa yang menang antara kita dan mereka. Abū Bakr menjawab: Wahai Ibnu Khathab! Sesungguhnya beliau itu adalah utusan Allah. Percayalah, Allah selamanya tidak akan menyia-nyiakan beliau. Selanjutnya turunlah ayat Alquran atas Rasulullah (ﷺ) membawa berita kemenangan lalu beliau mengutus seseorang menemui ‘Umar untuk membacakan ayat itu kepadanya. ‘Umar bertanya: Wahai Rasulullah, apakah ini tanda kemenangan? Beliau menjawab: Ya. Kemudian legalah hati ‘Umar dan ia pun segera berlalu. (Shahih Muslim No.3338)

[vii] Hadits riwayat Umar bin Khathab (رضي الله ﻋﻧﮫ):
Ketika Nabi (ﷺ) tidak menggauli istri-istrinya, beliau berkata: Aku memasuki mesjid, lalu aku melihat orang-orang memukulkan tanah dengan batu-batu kerikil sambil berkata: Rasulullah (ﷺ) telah menceraikan istri-istrinya. Hal itu terjadi sebelum para istri nabi diperintahkan memakai hijab. Umar berkata: Aku berkata: Aku harus mengetahui kejadian sebenarnya hari ini! Maka aku mendatangi Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) dan bertanya: Wahai putri Abu Bakar, sudah puaskah kamu menyakiti Rasulullah (ﷺ)? Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) menjawab: Apa urusanmu denganku, wahai putra Khathab! Nasihatilah putrimu sendiri! Maka setelah itu aku langsung menemui Hafshah binti Umar dan aku katakan kepadanya: Wahai Hafshah, sudah puaskah kamu menyakiti Rasulullah (ﷺ)? Demi Allah, sesungguhnya kamu tahu bahwa Rasulullah (ﷺ) tidak menyukaimu. Seandainya bukan karena aku, niscaya Rasulullah (ﷺ) sudah menceraikanmu. Maka menangislah Hafshah sekuat-kuatnya. Aku bertanya: Di manakah Rasulullah (ﷺ) sekarang berada? Ia menjawab: Di tempatnya di kamar atas. Aku segera masuk, namun ternyata di sana telah berada Rabah, pelayan Rasulullah (ﷺ) yang sedang duduk di ambang pintu kamar atas sambil menggantungkan kedua kakinya pada tangga kayu yang digunakan Rasulullah untuk naik-turun. Lalu aku berseru memanggil: Wahai Rabah, mintakan izin untukku menemui Rasulullah (ﷺ)! Kemudian Rabah memandang ke arah kamar Rasulullah (ﷺ) lalu memandangku tanpa berkata apa-apa. Aku berkata lagi: Wahai Rabah, mintakan izin untukku menemui Rasulullah (ﷺ)! Sekali lagi ia hanya memandang ke arah kamar Rasulullah kemudian ke arahku tanpa berkata apa-apa. Akhirnya aku mengangkat suara dan berseru: Wahai Rabah, mintakan aku izin untuk menemui Rasulullah! Aku mengira Rasulullah menyangka aku datang demi kepentingan Hafshah. Demi Allah, kalau beliau menyuruhku untuk memukul lehernya maka segera akan aku laksanakan perintah beliau itu. Kemudian aku keraskan lagi suaraku, dan akhirnya Rabah memberikan isyarat kepadaku supaya menaiki tangga. Aku lalu segera masuk menemui Rasulullah (ﷺ) yang sedang berbaring di atas sebuah tikar. Aku duduk di dekatnya lalu beliau menurunkan kain sarungnya dan tidak ada sesuatu lain yang menutupi beliau selain kain itu. Terlihatlah tikar telah meninggalkan bekas di tubuh beliau. Kemudian aku melayangkan pandangan ke sekitar kamar beliau. Tiba-tiba aku melihat segenggam gandum kira-kira seberat satu sha‘ dan daun penyamak kulit di salah satu sudut kamar serta sehelai kulit binatang yang belum sempurna disamak. Seketika kedua mataku meneteskan air mata tanpa dapat kutahan. Rasulullah bertanya: Apakah yang membuatmu menangis, wahai putra Khathab? Aku menjawab: Wahai Rasulullah, bagaimana aku tidak menangis, tikar itu telah membekas di pinggangmu dan tempat ini aku tidak melihat yang lain dari apa yang telah aku lihat. Sementara kaisar (raja Romawi) dan kisra (raja Persia) bergelimang buah-buahan dan sungai-sungai sedangkan engkau adalah utusan Allah dan hamba pilihan-Nya hanya berada dalam sebuah kamar pengasingan seperti ini. Rasulullah (ﷺ) lalu bersabda: Wahai putra Khathab, apakah kamu tidak rela, jika akhirat menjadi bagian kita dan dunia menjadi bagian mereka? Aku menjawab: Tentu saja aku rela. Umar berkata: Ketika aku pertama kali masuk, aku melihat kemarahan di wajah beliau. Lalu aku tanyakan kepada beliau: Wahai Rasulullah, apakah yang menyusahkanmu dari urusan istri-istrimu? Jika engkau ceraikan mereka, maka sesungguhnya Allah dan seluruh malaikat-Nya akan tetap bersama engkau begitu juga Jibril, Mikail, aku dan Abu Bakar serta segenap orang-orang mukmin pun juga tetap bersamamu. Sambil mengucapkan kata-kata itu aku selalu memuji Allah dan berharap semoga Allah membenarkan ucapan yang aku lontarkan tadi. Kemudian turunlah ayat takhyir (memberikan pilihan) berikut ini: Jika Nabi (ﷺ) menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu. Jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik, dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya (pula). Pada saat itu Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) dan Hafshah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) telah bersekongkol terhadap istri-istri Nabi (ﷺ) yang lainnya. Aku katakan kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah, apakah engkau telah menceraikan mereka? Beliau menjawab: Tidak. Kemudian aku jelaskan kepada beliau, bahwa sewaktu aku memasuki mesjid, aku melihat kaum muslimin memukul-mukulkan batu kerikil ke tanah sambil berkata bahwa Rasulullah (ﷺ) telah menceraikan istri-istrinya. Apakah perlu aku turun untuk memberitahukan mereka bahwa sebenarnya engkau tidak menceraikan istri-istrimu. Beliau bersabda: Boleh, kalau memang kamu ingin. Aku masih tetap berbicara dengan beliau sampai akhirnya aku melihat beliau benar-benar reda dari kemarahannya. Bahkan beliau sudah dapat tersenyum dan tertawa. Dan Rasulullah (ﷺ) adalah orang yang paling indah gigi serinya. Kemudian Rasulullah turun dan aku pun ikut turun. Aku turun terlebih dahulu lalu aku pegang erat-erat batang pohon yang digunakan tangga tersebut dan Rasulullah pun turun seakan-akan beliau jalan di atas tanah dan tidak memegang apapun dengan tangannya. Aku berkata kepada beliau: Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau berada di dalam kamar itu selama dua puluh sembilan hari. Beliau bersabda: Sesungguhnya sebulan itu ada yang dua puluh sembilan hari. Lalu aku berdiri di pintu mesjid sambil berseru dengan suara sekeras-kerasnya: Rasulullah (ﷺ) tidak menceraikan istri-istrinya. Kemudian turunlah ayat: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Dan akulah orang yang ingin mengetahui perkara itu. Maka Allah Taala lalu menurunkan ayat takhyir (Shahih Muslim No.2704)

[viii] Hadits riwayat Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ), ia berkata:
Ketika Rasulullah (ﷺ) diperintahkan memberikan pilihan kepada istri-istrinya, beliau memulai dari aku. Beliau berkata: Aku akan menyampaikan suatu hal kepadamu, dan aku harap kamu tidak perlu tergesa-gesa mengambil keputusan sebelum kamu meminta pertimbangan kedua orang tuamu. Aisyah berkata: Padahal beliau telah mengetahui bahwa kedua orang tuaku tidak akan memerintahkanku untuk berpisah dengannya. Aisyah berkata lagi: Kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah berfirman: Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu: Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut`ah (pemberian yang diberikan kepada perempuan yang telah diceraikan menurut kesanggupan suami) dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keredaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar. Aisyah berkata: Lalu aku berkata: Jadi tentang soal inikah aku disuruh untuk meminta pertimbangan kedua orang tuaku? Sesungguhnya aku menghendaki Allah dan Rasul-Nya serta kesenangan akhirat. Ternyata istri-istri Rasulullah (ﷺ) yang lain juga mengikuti apa yang aku lakukan itu. (Shahih Muslim No.2696)

[ix] Hadits riwayat Abdullah ibn Mas`ud (رضي الله ﻋﻧﮫ), ia berkata:
Ketika Nabi (ﷺ) memasuki Mekah, di sekitar Ka’bah terdapat patung berhala sebanyak tiga ratus enam puluh buah. Mulailah Nabi (ﷺ) merobohkannya dengan tongkat kayu di tangannya seraya membaca ayat: Telah datang kebenaran dan musnahlah kebatilan, karena sesungguhnya kebatilan itu adalah sesuatu yang pasti musnah. Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak pula akan mengulangi. Ibnu Abu ‘Umar menambahkan: Peristiwa itu terjadi pada saat penaklukan kota Mekah. (Shahih Muslim No.3333)

[x] Khutbah ini telah diriwayatkan melalui berbagai sanad dan dalam berbagai versi. Kaum Syiah dan Sunni sepakat mengenai keasliannya. Dalam Kitab Gayah al-Maram disebutkan bahwa 32 versi ini diriwayatkan oleh sumber Sunni, dan 82 versi hadits ini diriwayatkan oleh sumber Syiah (Almanak Alam Islami, Pustaka Jaya, Cet. I, Sya’ban 1420/November 2000, Hal. 138)