[i]
Secara gradual ummat islam yang masih berada di Mekkah mulai meninggalkan kota dan bergerak menuju Madinah untuk bergabung dengan Nabi yang mereka cintai. Di antara mereka terdapat seorang gadis yang bernama Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ), puteri Abū Bakr. Segera setelah tiba di Madinah, Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) yang ketika itu berusia Sembilan tahun, menikah dengan Nabi Muhammad (ﷺ), yang saat itu berusia limapuluhempat tahun. Pada titik ini Aisyah meninggalkan rumahtangga keluarganya dan bergabung dengan Nabi Muhammad (ﷺ). Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad (ﷺ) pernah mengatakan padanya bahwa Jibril datang pada Nabi dan memperlihatkan pada Nabi gambarnya (Aisyah) pada selembar sutera berwarna hijau dan berkata, “Dia adalah istrimu di dunia ini dan di dunia yang akan datang[ii].”
Mengenai pernikahannya, dia mengisahkan bahwa sesaat sebelum meninggalkan rumah orangtuanya, dia menyelinap ke lapangan untuk bermain bersama teman-temannya. “Aku bermain di atas papan ayunan dan rambutku yang panjang sampai-sampai menjadi tak beraturan,” katanya. “Mereka datang ke tempatku bermain lalu mempersiapkanku.”
Mereka memakaikan padanya pakaian pernikahan yang terbuat dari kain berwarna merah dari Bahrain kemudian ibundanya membawanya pada sebuah rumah yang baru dibangun dimana beberepa orang perempuan kaum Anshar telah menunggunya di luar pintu. Mereka menyambutnya dengan kata-kata, “Demi kebaikan dan kebahagiaan, semoga semuanya berjalan baik.”[iii] Kemudian, di hadapan Nabi (ﷺ) yang tersenyum bahagia semangkuk susu dibawakan. Nabi meminum susu dari mangkuk itu dan menawarkannya pada Aisyah. Dengan malu-malu Aisyah menolaknya, namun ketika Nabi (ﷺ) memintanya dengan sungguh-sungguh barulah Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) meminmunya dan menawarkan semangkuk susu itu pada saudara perempuannya – Asma – yang duduk di sebelahnya. Hadirin yang lain juga minum dari mangkuk itu, dan kenyataan bahwa semua itu pada saat itu adalah sebuah upacara perkawinan yang sederhana dan khidmat.
Pernikahan Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) dengan Nabi (ﷺ) tidak mengubah kebiasaan Aisyah bermain, dan teman-teman bermainnya pun tetap datang mengunjunginya di dalam kamarnya.
“Aku baru akan bermain boneka,” suatu kali dia berkata, “dengan anak-anak perempuan yang merupakan teman-temanku, dan Nabi (ﷺ) baru saja akan masuk ke dalam dan mereka (teman-teman Aisyah) sesegera itu bermaksud menyelinap keluar rumah tapi Nabi memanggil dan membawa mereka balik lagi dari luar, itu karena Nabi berkenan aku bersama mereka disana.” Suatu ketika Nabi pernah berkata “Diamlah, tetap disana,” sebelum mereka punya kesempatan untuk pergi, dan bahkan bergabung dalam permainan mereka.
“Satu hari,” Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) berkata, “Nabi (ﷺ) masuk saat aku sedang bermain dengan bonekaku dan berkata, ‘Aisyah, gerangan permainan apakah ini?’ ‘Ini adalah kuda-kuda Sulaiman,’ jawabku, dan beliau tertawa.”
Pada kesempatan yang lain, saat itu Iedul Adha, dua orang anak perempuan sedang bersama Aisyah di dalam kamarnya menyanyikan sebuah lagu mengenai perang Bu’ath sambil memukul tamborin.
“Rasulullah (ﷺ) masuk,” kata Aisyah, “dan berbaring dengan wajahnya dipalingkan. Lalu Abū Bakr masuk, dan mengomeliku, beliau berkata ‘Pantaskah instrument music setan dimainkan di rumah Rasulullah?’ Lalu Rasulullah (ﷺ) menghadapkan wajahnya kepada Abū Bakr dan berkata, ‘Biarkan saja mereka, wahai Abū Bakr! Karena tiap-tiap kaum mempunyai hari raya, dan hari ini adalah hari raya kita.'”
Setelah beberapa lama, lalu Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) meminta teman-temannya itu keluar. Dan Nabi bertanya, apakah ia mau menonton orang-orang Habasyah yang sedang bermain perisai dan tombak di masjid? Maka Aisyah mengiyakannya.
“Demi Allah,” katanya, “Saya ingat Rasulullah (ﷺ) berdiri di pintu kamarku, melindungiku dengan jubah panjangnya, sehingga aku bisa melihat bagaimana permainan olahraga orang-orang Habasyah yang memainkan lembing mereka di dalam masjid Rasulullah (ﷺ).[iv] Beliau terus berdiri sampai pada saat aku merasa cukup dan masuk lagi, maka kalian dapat dengan mudah membayangkan bagaimana seorang gadis kecil yang menikmati permainan itu.”
Beberapa orang barangkali memandang bahwa pernikahan Muhammad dan Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) adalah sebagai sebuah pengecualian. Pasangan ini sendiri terdiri dari dua orang eksepsional. Nabi Muhammad (ﷺ) adalah nabi terakhir dan makhluk terbaik; sementara Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) adalah gadis yang pintar dan setia dengan ingatan yang sangat baik. Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) menghabiskan sembilan tahun hidupnya bersama Nabi (ﷺ), dan dia hidup dalam lingkungan perempuan dewasa. Dia mengingat semua yang dilihatnya dan yang didengarnya dengan sangat jelas, sebagai istri Nabi bahkan juga lebih daripada itu.
Begitu banyak hal yang terjadi di sekitar Nabi (ﷺ) – Qur’an terus juga turun, ayat demi ayat, dan hati orang-orang secara konstan berubah dan bertansformasi, termasuk juga Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) dan dia adalah saksi dari begitu banyak tempat dimana ayat-ayat itu diturunkan. Oleh karenanya tidaklah mengherankan kalau begitu banyak pengetahuan kita hari ini mengenai kehidupan dan kebiasaan Nabi (ﷺ) adalah yang diingat pertama-tama oleh Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) yang lalu diajarkannya. Bersyukur atas perkawinan yang eksepsional ini, antara seorang pria yang berada di ujung akhir hidupnya dengan seorang perempuan yang baru saja memulai hidupnya, yang kita ketahui begitu banyak tentang keduanya. Dan ini membuat begitu mudah bagi siapa saja yang ingin mengikuti jejak langkah mereka dan mengikuti apa yang mereka contohkan.
Sementara Khadijah adalah seorang perempuan yang bijaksana dan dewasa ketika beliau menikah dengan Nabi Muhammad (ﷺ), Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) adalah seorang gadis yang penuh semangat yang masih memiliki kemampuan yang baik untuk belajar ketika dia menikah dengan Nabi (ﷺ). Dia sangat cepat belajar, itu karena dia memiliki hati yang bersih, pikiran yang cepat dan ingatan yang akurat. Dia tidak takut untuk membantah demi sebuah kebenaran agar diketahui, dan kapan saja dia bisa menghantam orang lain dalam hal berpendapat. Jika begitu, biasanya Nabi akan tersenyum dan berkata, “Dialah puteri Abū Bakr!” Musa ibn Talha sekali pernah berkata “Saya tak pernah melihat seseorang yang lebih pandai dan fasih berbicara daripada Aisyah.”
Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) tumbuh menjadi seorang perempuan yang bijaksana. Teman-teman sebayanya biasa mengatakan jika saja pengetahuan Aisyah disimpan di satu sisi timbangan sementara pengetahuan semua perempuan disimpan di sisi yang lain dari timbangan itu, sisi timbangan Aisyah mestilah lebih berat dari sebaliknya. Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) biasa duduk di antara perempuan lain dan membagi-bagikan pengetahuan yang telah diterimanya dari Nabi (ﷺ). Dan jauh setelah Nabi meninggal, sepanjang hidupnya, dia adalah sumber pengetahuan dan kebijaksanaan kaum wanita pun laki-laki. Abu Musa sekali berbicara “Manakala sebuah riwayat datang kepada kami dan meragukan kami, para sahabat nabi, dan kami bertanya kepada Aisyah tentang itu, kami selalu belajar sesuatu darinya tentang itu.”
Dalam sebuah kesempatan, Nabi Muhammad (ﷺ) berkata pada Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ),
“Ya Aisyah, Jibril mengucapkan salam untukmu.”
“Wa alaihi salam wa rahmatullahi.” Jawab Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ).
Saat dia menceritakan hal ini kepada Abu Salama, Aisyah menambahkan, “Dia (maksudnya Nabi (ﷺ)) dapat melihat apa yang tidak bisa aku lihat.”
Bukan hanya seorang yang benar-benar pandai, Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) juga seorang perempuan muda yang lemah gemulai. Saat dia pertama kali masuk ke dalam rumah tangga Nabi dia adalah seorang gadis yang kuat dan tumbuhlah pertemanan yang kekal antara dia dan Saudah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ). Saudah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) sendiri merawat dan memperlakukan Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) sama dengan dia memperlakukan seluruh anggota keluarga yang lain. Saat Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) tumbuh, Saudah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ), yang kemudian menjadi seorang perempuan tua, meyerahkan waktu Nabi (yang merupakan ‘giliran’ (pent)) untuknya kepada Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) kemudian lebih memilih mengurusi keperluan rumahtangga Nabi dan menjadi Umm al Mu’minin – ‘Ibunda Orang-orang Beriman’ – gelar penghormatan yang diberikan bagi seluruh istri Nabi (semoga Allah meridlai mereka) sebagaimana Al-Qur’an telah menyatakan dengan jelas bahwa tak seorang laki-laki pun boleh menikahi mereka setelah mereka dinikahi Nabi:
Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mu’min dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah). (Qur’an S. Al-Ahzab, 33:6)
Hai isteri-isteri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan di lipat gandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah.
Dan barang siapa diantara kamu sekalian (isteri-isteri nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscaya Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezki yang mulia.
Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik,
dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.
(Quran 33:30-34)
Kadangkala sulit menggambarkan kehidupan seperti apa yang dijalani istri-istri dan para sahabat Nabi (ﷺ) dikarenakan cahaya yang dipancarkan dari Nabi melalui mereka begitu unik. Rasulullah (ﷺ) sendiri tak memiliki bayangan karena dia sendiri adalah cahaya dan cahaya ini menerangi hati dan pikiran dan pemahaman para pengikutnya, memberi mereka pengetahuan tanpa membuat mereka buta. Nabi Muhammad (ﷺ) adalah benar-benar rahmat untuk seluruh dunia, dan tak seorang pun yang memiliki hati bersih dapat melupakannya, paling tidak tentang diri Nabi.
Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.
(Quran S. Al-Ahzab 33:45-46)
Orang-orang merasa kagum terhadap Nabi Muhamad (ﷺ) saat mereka berada di hadapannya, dan mereka duduk serta mendengarkan kata-katanya dengan menurunkan pandangan, seakan-akan burung-burung-burung bertengger di atas kepala mereka, dan mereka akan melakukan apa saja demi Nabi, demikian besarnya cinta mereka kepadanya. Semua ini karena kesempurnaan dimana semua orang diperintahkan untuk memanjatkan shalawat dan salam untuknya:
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.
(Quran S. Al-Ahzab 33:56)
Hal ini karena posisi unik Nabi Muhammad di hadapan Allah, dimana Allah sendiri meminta istri-istri dan sahabat-sahabat Nabi (ﷺ) bersikap hormat dan sopan kepada Nabi Muhammad (ﷺ); dan istri-istri Nabi (ﷺ) tidak boleh menikah lagi dengan orang lain setelah mereka menikah dengan Nabi (ﷺ):
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah. (Quran S. Al-Ahzab 33:53)
Selama sembilan tahun Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) menikah dengan Nabi Muhammad (ﷺ). Dia menyaksikan begitu banyak kejadian hebat yang membentuk keadaan masyarakat Muslim pertama di Madinah al-Munawarrah: Selama pernikahan mereka, arah qiblat berubah dari Jerusalem ke Mekkah, untuk membedakan dengan jelas ummat Muslim dari Yahudi dan Nasrani; selama pernikahan mereka, Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) harus mendengar begitu banyak orang Yahudi dan Nasrani juga para penyembah berhala yang datang kepada Nabi bukan untuk mendengarkan melainkan untuk membantahnya, dengan harapan mereka dapat menemukan alasan yang logis untuk menjustifikasi penolakan mereka terhadap Nabi (ﷺ). Melalui pertukaran-pertukaran pendapat seperti inilah Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) belajar membedakan apa yang benar dan apa yang salah; Petunjuk kenabian terus berlanjut melalui wahyu yang diterima Nabi Muhammad (ﷺ); gaya hidup Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) – bersama dengan seluruh masyarakat Muslim – secara gradual dibentuk menjadi lebih berbudi luhur; selama pernikahan mereka pulalah budaya meminum alkohol akhirnya diharamkan, menjadi jelas makanan apa yang halal dan makanan apa yang haram; menjadi wajib bagi wanita untuk memakai hijab di depan publik dan ketika shalat; petunjuk melaksanakan shaum juga diwahyukan; bahwa membayar zakat menjadi wajib bagi setiap muslim; dan seluruh ritus haji dimurnikan dan dibersihkan.
Pada kenyataannya setiap aspek kehidupan, dari kelahiran sampai kematian dan apa-apa yang terjadi antaranya, diterangi dengan bagaimana Nabi bersikap – dan cara hidup ini – Sunnah – Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) membantu memelihara dan melindunginya, tidak hanya dengan cara mewujudkannya di dalam dirinya sendiri, tapi juga dengan cara mengajarkannya kepada orang lain.
Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) suatu kali pernah diminta untuk menggambarkan bagaimana sesungguhnya pribadi Nabi (ﷺ), dan dia menjawab bahwa beliau adalah ‘Qur’an yang berjalan’. Artinya, bahwa kebiasaan, sifat dan sikap Nabi adalah Al-Qur’an yang diterjemahkan dalam tindakan keseharian. Demikian juga, Aisyah melakukan semua sesuai kemampuannya. Jadi, Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) tidak sekedar mengetahui dan mempraktikkan Sunnah, tapi juga menghafal Al-Qur’an dengan hatinya dan memahaminya.
Selama pernikahannya, bersama istri-istri nabi yang lain, berkecamuk perang-perang: Badar, Uhud dan Khandaq (parit). Tiga perang ini merupakan tiga perang utama melawan suku Quraisy, yang mengambil-alihkan kekuatan dari tangan orang-orang kafir kepada tangan-tangan ummat muslim. Meskipun Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) ketika itu masih muda usia, beliau juga berpartisipasi pada ketiga perang itu, membantu membawakan air bagi para ksatria Muslim dan membantu merawat luka-luka mereka. Dia menyaksikan kehidupan dan kematian dari dua sisi – kehidupan dan kematian berdasar jalan yang dicintai Allah, juga kehidupan dan kematian yang berdasar jalan orang-orang kafir – dan dia memahami keduanya. Inilah salah satu makna dari namanya, ‘Aisyah,’ yang berarti ‘hidup’.
Selama pernikahan mereka pula orang-orang Yahudi merencanakan dan mencoba membunuh Nabi lebih dari satu kali kesempatan, tanpa keberhasilan. Oleh karena inilah orang-orang Yahudi itu dihukum. Yang pertama adalah Banu Qayunqa kemudian Banu Nadir dan menyebabkan mereka dikeluarkan dari Madinah; kemudian Banu Qurayza – yang telah menyelisihi perjanjian antara mereka dengan kaum Muslim selama perang al-Khandaq dan bersekongkol dengan kaum kafir untuk memusnahkan ummat Muslim – hukuman mereka diputuskan oleh seorang laki-laki yang telah ditunjuk oleh mereka sendiri, Said ibn Mu’adh. Menurut apa yang ditunjukkan oleh kitab yang mereka miliki, Taurat, semua orang harus dibunuh – dengan pengecualian bagi empat orang laki-laki yang telah menerima iman Islam, para wanita dan anak-anak yang diambil menjadi budak.
Setelah kejadian ini suku Yahudi yang lain, Banu al-Mushthaliq mulai mempersiapkan diri untuk memerangi kaum Muslim. Maka Nabi (ﷺ) memimpin pasukan untuk memerangi mereka.
Seringkali ketika Nabi (ﷺ) berperang, beliau membawa salah satu istrinya untuk menemaninya. Beliau tidak memilih mereka begitu saja, tapi dengan cara mengundi dan membawa siapa saja yang namanya keluar sebagai pemenang[v]. Ketika Nabi akan berperang dengan Banu al-Mushthaliq, undian jatuh kepada Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ), maka Aisyah-lah yang berkesempatan menemani Nabi ketika itu.
Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) yang ketika itu berumur tigabelas tahun adalah seorang perempuan yang kecil, langsing dan anggun. Ini membuat kesulitan bagi para pembawa tandunya untuk membedakan dia benar-benar ada di dalam atau tidak ketika tandu itu diangkat. Dalam perjalanan pulang ke Madinah, setelah Banu al-Mushthaliq ditundukkan, pasukan Muslim berhenti untuk istirahat, namun kemudian, Nabi dengan tanpa diduga memerintahkan pasukan untuk meneruskan perjalanan pulangnya. Tanpa diketahui oleh orang lain, Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) melangkah keluar dari tandunya beberapa untuk saat dan meninggalkan kemah untuk menyendiri. Dalam perjalanan pulangnya kembali ke kemah dia menyadari bahwa kalung onyxnya hilang dan dengan demikian dia menelusuri jejaknya mencoba mencarinya sendiri. Saat dia akhirnya menemukannya dan kembali ke kemah, dia mendapati semua orang sudah tidak ada. Orang-orang yang bertugas mengangkat tandunya berpikir bahwa Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) masih berada di dalam tandu, lalu mengangkat tandu itu dan melilitkannya kepada unta, kemudian membawa tandu itu ke dalam barisan tanpa ada Aisyah di dalamnya.
Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) yang percaya sepenuhnya kepada Allah, kemudian duduk, menunggu, berharap seseorang menyadari ketidakhadirannya dan kembali untuknya. Untungnya dia tak perlu menunggu terlalu lama, seorang muslim yang berusia masih muda bernama Safwan ibn al-Mu’attal, yang tertinggal dari pasukan setelah beristirahat, pada malam hari itu sampailah pada perkemahan itu dan menemukan Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) sedang tertidur dalam keadaan kelaparan. Safwan langsung mengenali Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ), karena dia pernah melihat Aisyah sebelum Allah memerintahkan muslimah untuk memakai hijab.
“Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un!” dia berseru karena terkejut, membangunkan Aisyah dengan suaranya yang bising. Dia tidak berkata apa-apa lagi, dan Aisyah mengambil kerudungnya yang jatuh dari kepalanya saat dia sedang tertidur, lalu mengenakannya lagi. Safwan lalu menderumkan untanya dan menginjak kaki unta itu sehingga Aisyah dapat menaikinya lalu menuntun unta itu dengan tangannya menyusuri jejak langkah pasukan Rasulullah (ﷺ) dengan harapan dapat menemukan mereka pagi harinya saat mereka beristirahat di tengah terik matahari.
Sayangnya, beberapa orang munafik yang melihat kedatangan Aisyah dan Safwan berdua saja, mulai berbisik-bisik dan menyebarkan berita bohong tentang mereka berdua. Akhirnya cerita bohong itu sampai kepada Nabi (ﷺ) dan orang-orang membicarakan apa yang mungkin saja terjadi sebelumnya, antara dua orang muda itu. Secara alamiah kaum mu’minun tak melihat sesuatu yang buruk terjadi antara kedua orang muda itu. Namun orang-orang munafik berpikir sebaliknya dan tanpa rasa takut menyindir-nyindir apa yang terjadi.
Sebagai hasil dari gossip murahan itu, Nabi (ﷺ) dan rumahtangganya mengalami ketegangan yang hebat. Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) sendiri jatuh sakit, bukan karena menghiraukan apa yang digunjingkan tentangnya, melainkan karena Nabi seakan-akan tidak memperhatikannya sebagaimana biasa sebelum memimpin pasukan memerangi Banu al Mushthaliq. Akhirnya, seseorang memeberitahukan kepada Aisyah apa yang digunjingkan orang-orang. Ini membuat Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) sakit lebih parah. Kemudian dengan memohon izin dari Nabi, Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) memutuskan untuk tinggal bersama orangtuanya. Sesampainya di rumah orangtuanya, Aisyah bertanya pada ibundanya, Ummu Ruman (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ),
“Wahai ibuku, apakah yang dikatakan oleh orang-orang mengenai diriku?”
“O putriku,” jawab ibunda Aisyah, “Jangan terlalu menghiraukannya. Demi Allah, jarang sekali ada wanita cantik yang sangat dicintai suaminya dan mempunyai beberapa madu, kecuali pasti banyak berita kotor dilontarkan kepadanya.”
Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) berkata, “Maha suci Allah, apakah setega itu orang-orang menggunjingkan aku?”
Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) kemudian menceritakan, “Aku menangis malam itu sampai pagi air mataku tidak berhenti mengalir dan aku tidak dapat tidur dengan nyenyak. Pada pagi harinya, aku masih saja menangis.”
Sementara itu, saat Safwan dikonfrontasikan dengan tuduhan tanpa bukti itu, dia menjawab,
“Maha suci Allah! Demi Allah, Aku tak pernah menyingkapkan kerudung wanita manapun!”
Sejak saat itu tak ada wahyu untuk mengklarifikasi masalah itu. Nabi (ﷺ) lalu menanyai Barirah yang merupakan pelayan Aisyah apakah ia pernah menyaksikan sikap Aisyah yang meragukan.
“Demi Zat yang telah mengutusmu membawa kebenaran!” jawab Barirah, “Tidak ada perkara buruk yang aku lihat dari dirinya kecuali bahwa Aisyah adalah seorang perempuan yang masih muda belia, yang biasa tidur di samping adonan roti keluarga lalu datanglah hewan-hewan ternak memakani adonan itu.”
Beberapa sahabat yang hadir saat itu menghardik Barirah dan memintanya untuk langsung menjawab pada inti pertanyaan.
“Maha suci Allah,” jawab Barirah, “aku mengenalnya sebagaimana ahli permata mengetahui sepotong emas murni!”
Nabi (ﷺ) juga menanyakan pendapat Zaynab binti Jahsy (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) – istrinya yang lain. Meski Zaynab dan Aisyah seringkali berselisih karena Aisyah merasa Zaynab binti Jahsy adalah satu-satunya madu yang dapat menyaingi kecantikannya, dan saudara perempuan Zaynab yang bernama Hamna, adalah salah seorang perempuan yang aktif menyebarkan desas-desus itu. Namun demikian Zaynab menjawab tanpa keraguan.
“Ya Rasulullah,” katanya, “aku selalu menjaga pendengaran dan penglihatanku (dari hal-hal yang tidak layak). Demi Allah, yang kuketahui hanyalah kebaikan.”
Nabi (ﷺ) kemudian mencoba membersihkan kehormatan Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) dengan cara memanggil semua orang ke mesjid dan secara publik mempertahankan nama baik Aisyah. Namun orang-orang munafik yang memulai masalah ini dari awal hanya memperburuk keadaan, maka terjadilah perdebatan di dalam masjid itu, dan orang-orang hampir saja keluar dari permasalahan yang sesungguhnya sehingga Nabi (ﷺ) menenangkan dan mendiamkan mereka.
Nabi (ﷺ) kemudian datang ke rumah Abū Bakr dimana Aisyah sedang menangis melepaskan isi hatinya, dan di hadapan orangtua Aisyah itu Nabi (ﷺ) mengucapkan syahadat lalu berkata,
“Jika engkau memang bersih, Allah pasti akan membersihkan dirimu dari tuduhan-tuduhan itu. Tetapi kalau engkau memang telah berbuat dosa, maka mohonlah ampun kepada Allah dan bertobatlah kepada-Nya. Sebab, bila seorang hamba mengakui dosanya kemudian bertobat, tentu Allah akan menerima tobatnya.”
Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) berkata “Ketika Rasulullah (ﷺ) selesai berbicara, air mataku pun habis sehingga aku tidak merasakan satu tetespun terjatuh. Lalu aku berkata kepada ayahku: Jawablah untukku kepada Rasulullah (ﷺ) mengenai apa yang beliau katakan. Ayahku menyahut: ‘Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus aku katakan kepada Rasulullah (ﷺ).’ Kemudian aku berkata kepada ibuku: ‘Jawablah untukku kepada Rasulullah (ﷺ)!’ Ibuku juga berkata: ‘Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada Rasulullah (ﷺ).’”
Lalu Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) berkata, “Aku adalah seorang perempuan yang masih muda belia. Aku tidak banyak membaca Alquran. Demi Allah, aku tahu bahwa kalian telah mendengar semua ini, hingga masuk ke hati kalian, bahkan kalian mempercayainya. Jika aku katakan kepada kalian, bahwa aku bersih dan Allah pun tahu bahwa aku bersih, mungkin kalian tidak juga mempercayaiku. Dan jika aku mengakui hal itu di hadapan kalian, sedangkan Allah mengetahui bahwa aku bersih, tentu kalian akan mempercayaiku. Demi Allah, aku tidak menemukan perumpamaan yang tepat bagiku dan bagi kalian, kecuali sebagaimana dikatakan ayah Nabi Yusuf: ‘Kesabaran yang baik itulah kesabaranku.’ Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kalian ceritakan (Quran 12:18)” Kemudian aku pindah dan berbaring di tempat tidurku. Demi Allah, pada saat itu aku yakin diriku bersih dan Allah akan menunjukkan kebersihanku. Tetapi, sungguh aku tidak berharap akan diturunkan wahyu tentang persoalanku. Aku kira persoalanku terlalu remeh untuk dibicarakan Allah Taala dengan wahyu yang diturunkan. Namun, aku berharap Rasulullah (ﷺ) akan bermimpi bahwa Allah membersihkan diriku dari fitnah itu.“
Aisyah dengan berat menyelesaikan perkataannya saat Rasulullah (ﷺ) menerima wahyu beberapa ayat Al-Qur’an, dan saat selesai, Rasulullah tersenyum dan berkata,
“Bergembiralah, wahai Aisyah, sesungguhnya Allah telah membersihkan dirimu dari tuduhan.“
Ibunda Aisyah yang telah berdiri di sampingnya sejak tadi kemudian berkata kepada Aisyah,
“Bangunlah! Sambutlah beliau!”
“Demi Allah,” Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) yang berjuluk ‘Siddiqa’ yang berarti ‘yang benar’ berseru, “aku tidak akan bangun menyambut beliau. Aku hanya akan memuji syukur kepada Allah. Dialah yang telah menurunkan ayat Alquran yang menyatakan kebersihanku!”
Kemudian Nabi (ﷺ) keluar menuju masjid dan mengumumkan wahyu yang baru saja diterimanya.
Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Olah karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang- orang yang dusta. Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu. (Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. Dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar.” Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.
(Quran S. An-Nuur; 24:11-19)
Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) sendiri memaafkan mereka yang terlibat dalam fitnah itu dan di tahun-tahun berikutnya tak terdengar lagi sesuatu yang buruk tentang mereka.
Kenyataan bahwa kehormatan dan reputasi Aisyah telah dilindungi oleh wahyu yang turun dari Allah tak bisa diabaikan oleh siapa pun, dan sejak saat itu semua orang mulai sadar tentang status Aisyah yang tinggi di sisi Allah.
Selama pernikahan Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) dan Nabi (ﷺ) pulalah ummat Muslim bersiap memperluas pengaruh dengan cepat. Mekkah pada akhirnya ditaklukkan oleh pasukan Muslim, dan persiapan-persiapan mulai dilakukan pertama kali untuk begitu banyaknya pertempuran. Keberhasilan berperang melawan Romawi dan Persia setelah surat-surat yang dilayangkan Nabi (ﷺ) yang mengundang Heraklius dan Kisra untuk menerima Islam dan beribadah hanya kepada Allah ditolak dengan cara yang merendahkan.
Ekspansi luarbiasa ini – sebuah gagasan yang terlihat seperti sebuah mimpi gila saat kematian Khadijah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) mulai digembargemborkan. Pada tahun 6 H, dengan perjanjian Hudaibiah, dengan kebijaksanaan dimana perdamaian antara kaum Quraisy dan ummat Muslim dideklarasikan untuk sepuluh tahun ke depan, dan hak ummat Muslim untuk memasuki kota Mekkah dan melakukan umrah tidak dilarang lagi dan disetujui oleh orang-orang Quraisy.[vi]
Meski ummat Muslim harus menunggu satu tahun sebelum mereka dapat melaksanakan umrah, tahun itu tidak lama terlewati. Dalam interval itu kaum Yahudi Khaybar, sebagaimana kaum Yahudi lain yang mengelilingi Madinah, berusaha menghancurkan masyarakat Muslim dengan cara merusak perjanjian damai mereka dengan masyarakat Muslim dan mensponsori para penyembah berhala. Mereka akhirnya diperangi dan berhasil ditaklukkan. Setelah Yahudi Khaybar ini berhasil ditaklukkan, seorang perempuan yahudi berusaha meracuni Nabi dengan cara menyajikan daging beracun untuk Nabi, dimana makanan ini sendiri memberitahukan kepada Nabi tentang keberacunannya sehingga Nabi hanya mencicipinya sedikit. Namun demikian, seorang sahabat telah memakan daging itu yang mengakibatkannya meninggal. Rasulullah sendiri mengampuni perempuan yahudi itu dan membebaskannya.
Yahudi Khaybar diizinkan tinggal di tanah yang disediakan untuk mereka dengan syarat wajib membayar jizyah kepada masyarakat Muslim satu tahun sekali. Sebagai hasilnya, beberapa orang Muslim mulai tumbuh lebih sejahtera daripada sebelumnya.
Memang pada suatu kesempatan, istri-istri nabi, dipimpin oleh Aisyah dan Hafshah, pernah meminta pada Nabi sejumlah uang yang tak dimilikinya. Kenyataannya Nabi memang tak pernah tidur pada malam harinya dengan memiliki uang. Nabi (ﷺ) dipusingkan dengan keadaan ini bukan karena dia tak punya uang untuk diberikan, melainkan karena nafsu yang mereka perlihatkan.
Saat itu, Abū Bakr datang bersama dengan ‘Umar ibn Khatab dan mereka menemukan Rasulullah (ﷺ) sedang duduk dikelilingi istri-istrinya yang semuanya diam. Abū Bakr berkata pada dirinya sendiri,
”Demi Allah, aku akan mengucapkan sesuatu yang akan membuat Rasulullah gembira.” Maka dia berkata,
“Ya Rasulullah, jika aku melihat putri Kahrija memintaku uang, maka aku akan mencekiknya!”
Rasulullah tersenyum dan berkata,
“Mereka yang berkeliling di sekitarku ini memintaku uang.”
Mendengar itu maka Abū Bakr menyeret Aisyah dan ‘Umar menyeret Hafshah, keduanya berseru,
“Apakah kalian meminta Rasulullah sesuatu yang tidak dimilikinya?”
Kedua orang perempuan itu berkata,
“Demi Allah, kami tidak akan pernah meminta Rasulullah sesuatu yang tidak dimilikinya!”
Ini bukanlah satu-satunya masalah perkawinan yang dialami Nabi saat itu. Ada semacam persaingan hebat antara beberapa istri Nabi dan Hafshah sendiri pernah bercerita kepada Aisyah sesuatu dimana Nabi (ﷺ) mengatakan pada Hafshah agar tidak mengungkapkannya karena merupakan sesuatu yang akan meningkatkan friksi di antara istri-istri Nabi. Beberapa sumber mengatakan bahwa Nabi berkata padanya bahwa Abū Bakr dan ‘Umar akan menjadi pemimpin setelah Nabi.
Dalam beberapa kasus, Nabi pernah mengambil jarak dengan istrinya untuk beberapa bulan. Ini menyebabkan beberapa sahabat mulai berpikir bahwa Nabi akan menceraikan mereka atau bahkan sudah melakukannya.
Diriwayatkan dari ‘Umar ibn Khāttab (رضي الله عنه) bahwa ia pergi menjenguk Nabi (ﷺ) yang berdiam sendirian dalam sebuah kamar kecil di atas loteng untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Sebelumnya dia menemui dulu putrinya, Hafshah yang sedang menangis, dan menanyakan padanya apakah Nabi telah menceraikan istri-istrinya.
“Aku tidak tahu,” jawab Hafshah sambil tersedu-sedu.
Lalu ‘Umar masuk dan meminta izin menemui Nabi. Setelah dia mendapatkan izin, maka naiklah ‘Umar melalui tangga kayu yang biasa digunakan Rasulullah untuk naik turun menuju sebuah kamar kecil.
“Aku lalu segera masuk menemui Rasulullah (ﷺ) yang sedang berbaring di atas sebuah tikar. Aku duduk di dekatnya lalu beliau menurunkan kain sarungnya dan tidak ada sesuatu lain yang menutupi beliau selain kain itu. Terlihatlah tikar telah meninggalkan bekas di tubuh beliau. Kemudian aku melayangkan pandangan ke sekitar kamar beliau. Tiba-tiba aku melihat segenggam gandum kira-kira seberat satu sha‘ dan daun penyamak kulit di salah satu sudut kamar serta sehelai kulit binatang yang belum sempurna disamak. Seketika kedua mataku meneteskan air mata tanpa dapat kutahan.”
‘Umar bercerita. “Rasulullah bertanya: ‘Apakah yang membuatmu menangis, wahai putra Khathab?’ Aku menjawab: ‘Wahai Rasulullah, bagaimana aku tidak menangis, tikar itu telah membekas di pinggangmu dan di tempat ini aku tidak melihat yang lain dari apa yang telah aku lihat. Sementara Kaisar (raja Romawi) dan Kisra (raja Persia) bergelimang buah-buahan dan sungai-sungai sedangkan engkau, utusan Allah dan hamba pilihan-Nya hanya berada dalam sebuah kamar pengasingan seperti ini.’ Rasulullah (ﷺ) lalu bersabda: ‘Wahai putra Khathab, apakah kamu tidak rela, jika akhirat menjadi bagian kita dan dunia menjadi bagian mereka?’ Aku menjawab: ‘Tentu saja aku rela.’”
‘Umar berkata: “Ketika aku pertama kali masuk, aku melihat kemarahan di wajah beliau. Lalu aku tanyakan kepada beliau: ‘Wahai Rasulullah, apakah yang menyusahkanmu dari urusan istri-istrimu? Jika engkau ceraikan mereka, maka sesungguhnya Allah dan seluruh malaikat-Nya akan tetap bersama engkau begitu juga Jibril, Mikail, aku dan Abū Bakr serta segenap orang-orang mukmin pun akan tetap bersamamu.’ Sambil mengucapkan kata-kata itu aku selalu memuji Allah dan berharap semoga Allah membenarkan ucapan yang aku lontarkan tadi. Kemudian turunlah ayat takhyir (memberikan pilihan) berikut ini:”
Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.
(Quran S. At-Tahriim 66:4-5)[vii]
Kenyataannya Nabi Muhammad (ﷺ) tak pernah menceraikan istri-istrinya, dan seperti yang kemudian kita sadari bagaimana mereka hidup, semoga Allah meridlai mereka, sangat jelas bahwa mereka memiliki kualitas manusia seperti yang digambarkan dalam ayat terakhir di atas. Barangkali ayat ini diturunkan untuk mengingatkan mereka, sebuah peringatan bahwa mereka akan dikenang sepanjang hidup mereka dimana kebanyakan mereka dapat hidup jauh lebih lama setelah kematian Nabi (ﷺ).
Kembali kepada kunjungan Sayyidina ‘Umar kepada Nabi (ﷺ) mengenai perpisahan Nabi (ﷺ) dengan istri-istrinya selama sebulan, ‘Umar bertanya,
“Wahai Rasulullah, apakah engkau telah menceraikan mereka?” Maka Nabi (ﷺ) menjawab,
“Tidak.”
Maka setelah berbicara beberapa lama dan bagaimana di Mekkah laki-laki cenderung mendominasi kaum perempuan, sementara di Madinah kaum perempuan yang cenderung mendominasi laki-laki, itulah apa yang telah dipelajari kaum perempuan Mekkah setelah mereka melakukan hijrah – ‘Umar lalu turun dan berdiri di pintu masjid dan meninggikan suaranya.
“Rasulullah (ﷺ) tidak menceraikan istri-istrinya.”
Setelah satu bulan, Nabi Muhammad (ﷺ) untuk pertama kali masuk mengunjungi Aisyah di kamarnya. Aisyah begitu senang melihat Nabi, namun menjadi lebih serius saat Nabi menyampaikan bahwa beberapa ayat Al-Qur’an telah diwahyukan kepadanya dan meminta Nabi memberikan dua pilihan kepada Aisyah.
“Jangan membuat keputusan yang terburu-buru,” katanya, “dan tanyakan dulu kepada kedua orangtuamu.”
Nabi kemudian membacakan ayat-ayat ini:
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridlaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar.
(Quran S. Al-Ahzaab; 33:28-29)
“Jadi tentang soal inikah aku disuruh untuk meminta pertimbangan kedua orang tuaku?” jawab Aisyah. “Sesungguhnya aku menghendaki Allah dan Rasul-Nya serta kesenangan akhirat.”
Dan jawaban Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) ini diikuti juga oleh istri-istri nabi yang lain.[viii]
Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) terbukti dengan kata-katanya itu baik ketika Nabi (ﷺ) masih hidup, pun ketika Rasulullah (ﷺ) telah tiada. Suatu ketika, saat kaum Muslim diberi kekayaan yang besar, Aisyah juga mendapatkan seratus ribu dirham. Aisyah dalam keadaan berpuasa ketika dia menerima uang itu lalu memberikan uang itu kepada orang miskin dan membutuhkan, padahal di rumahnya dia tak memiliki harta benda. Sesaat setelah itu, pembantunya berkata padanya,
“Tidak dapatkah kau mengambil uang sekedar seharga daging untuk buka puasamu?”
“Jika saja aku berpikir demikian,” jawab Aisyah, “maka aku tak akan melakukannya!” (Maksudnya tak akan jadi bersedekah – pent)
Satu tahun berjalan setelah perjanjian Hudaibiah, kaum Muslim pergi ke Mekkah dan mereka bisa melaksanakan semua ritual umrah, melaksanakan semua sebagaimana Nabi (ﷺ) melaksanakannya. Sesuai dengan poin-poin perjanjian, kaum Muslim meninggalkan Mekkah setelah tiga hari, saat rangkaian umrah mereka selesai seluruhnya. Tidak lama setelah itu, Nabi mengirim pasukan ke arah utara menuju perbatasan daerah Byzantium – yang pada masa sekarang adalah Palestina – untuk menghukum suku disana karena telah membunuh pembawa pesan yang dikirimkan Nabi kepada suku-suku itu agar menerima Islam sebagai agamanya. Suku-suku itu kemudian meminta Kaisar Heraklius agar mendukung mereka. Dan saat pasukan Muslim tiba di Muta, mereka menghadapi pasukan sebanyak duaribu orang. Banyak di antara kaum Muslim yang mati syahid di hari pertempuran itu.
Namun untunglah ada taktik perang Khalid ibn Walid, Romawi akhirnya menarik pasukan di hari berikutnya sehingga memberi kesempatan pasukan Muslim untuk dapat kembali ke Madinah hampir tanpa cedera. Saat cerita pertempuran Muta akhirnya sampai di kota Mekkah, kaum Quraisy secara salah, mengira bahwa kaum Muslim telah ditaklukkan Romawi sehingga memutuskan untuk memperbaharui perlawanan mereka terhadap Nabi (ﷺ). Dengan demikian, mereka secara sengaja menyelisihi perjanjian yang telah mereka sepakati di Hudaibiah dengan cara mempersilahkan sekutu-sekutu mereka membunuhi sekutu-sekutu kaum Muslim yang berada di sekitar kota Mekkah.
Dengan demikian Nabi (ﷺ) memimpin pasukan sebanyak sepuluh ribu ummat Muslim berduyun-duyun menuju kota Mekkah. Meskipun pasukan ini membuat takut orang-orang, namun hanya menumpahkan darah yang sangat sedikit. Sebagaimana biasa, pengampunan dan permaafan dengan penuh rasa kasih sayang diperlihatkan Nabi bagi orang-orang yang sebelumnya menentangnya bertahun-tahun, dan itu mampu mengubah hati orang-orang dan banyak orang Mekkah saat itu akhirnya menerima dan masuk Islam. Setelah memaafkan seluruh suku Quraisy, dengan pengecualian empat orang yang telah melakukan pembunuhan atas dasar alasan pribadi. Nabi (ﷺ) kemudian merobohkan semua berhala dan mengahancurkan semua lukisan-lukisan yang disimpan para penyembah berhala di dalam Ka’bah.[ix] Kesucian altar Mekkah telah dikembalikan, dan akhirnya ummat Islam bebas keluar masuk kota Mekkah sesuka hati.
Di tengah perasaan damai dan rasa senang itu, datanglah berita yang mengatakan bahwa suku Hawazin dan Thaqif sedang bersiap menyerang ummat Muslim. Pasukan Muslim yang telah menaklukkan kota Mekkah, membengkak menjadi duabelas ribu ditambah dengan orang-orang dari suku Quraisy yang telah masuk Islam, berduyun-duyun menuju tempat yang bernama Hunain. Untuk pertama kalinya dalam pengalaman mereka, jumlah pasukan kaum Muslim melebihi jumlah pasukan musuh yang hanya sekitar empat ribu tentara. Hal ini hampir merusak keyakinan ummat Muslim – kebanyakan mereka bisa selamat adalah karena jumlah mereka yang banyak bukan karena keyakinan mereka kepada Allah.
Saat pasukan musuh menyerang di waktu subuh dan menghujani mereka dengan anak panah dari atas bukit, pasukan Muslim dikagetkan dan banyak dari antara mereka yang gugur. Sebuah kelompok kecil berdiri tegak bersama bersama Nabi, salah satu si antanya adalah Ummu Sulaim binti Milhan, istri dari Abu Talhah. Meskipun dia dalam keadaan hamil pada saat itu, dia mempersenjatai diri dengan belati untuk digunakannya melawan orang-orang kafir.
Beruntung terdapat muslim-muslim kuat yang berdiri di sekitar Nabi (ﷺ) dan meski mereka hanya berjumlah sekitar enam ratus orang. Upaya mereka yang kompak bertarung dengah gagah berani di Jalan Allah, mengambil alih arus pasang perang sehingga mereka yang dalam keadaan panik dan bingung kembali lagi bertarung dan dimenangkanlah perang itu.
Setelah perang Hunain, resistensi yang terus dilakukan kepada kaum Muslim hanya datang dari sebelah timur dan timur laut yaitu dari Byzantium dan Persia.
Setelah mendengar kejadian itu, Romawi mempersiapkan pasukan besar berjumlah tiga puluh ribu orang dan berduyun-duyun di bawah terik musim panas untuk memerangi mereka. Setelah mengalami iring-iringan yang lama, berat dan panas di bawah terik musim panas, ummat Muslim akhirnya mencapai Tabuk dan disini mereka mengetahui bahwa pasukan Romawi telah mundur ke dalam wilayahnya sendiri. Dengan demikian setelah membuat perjanjian damai dengan suku-suku di perbatasan, pasukan Muslim kembali lagi ke Madinah, pada saat yang sama banyak dari mereka pergi menunaikan ibadah haji di Mekkah. Sementara mereka yang menolak pergi berperang dalam ekspedi Tabuk itu dengan cara pura-pura sakit akhirnya merasa malu dan menyesal teramat sangat.
Nabi (ﷺ) sendiri tidak pergi menunaikan haji pada tahun itu untuk menerima orang-orang yang datang ke Madinah dari seluruh tanah arab untuk memeluk Islam dan menyatakan ikrar persekutuan kepadanya. Tahun itu kemudian dikenal dengan ‘Tahun Delegasi’, dimana pada suatu ketika di tahun itu, Nabi merasa letih karena bertemu banyak orang sehingga memaksanya untuk shalat dengan keadaan duduk. Malahan Abū Bakr (رضي الله عنه) -lah yang memimpin haji tahun itu.
Pada musim haji tahun itu turunlah ayat Al-Qur’an yang melarang penyembah berhala bahkan hanya untuk memasuki kota suci Mekkah; ayat-ayat itu diumumkan oleh Ali ibn Abu Thalib(رضي الله عنه) selama musim haji tahun itu yang langsung diutus dari Madinah ke Mekkah sesegera ayat-ayat itu diterima sehingga dapat langsung didengar oleh sebanyak-banyaknya orang yang ada disana.
Tahun berikutnya saat musim haji mulai dekat, Nabi (ﷺ) mengumumkan bahwa beliau akan melaksanakan ibadah haji pada tahun itu. Ini menyebabkan semua orang ingin pergi ibadah haji dengannya. Ummat Muslim yang tidak berada di kota Madinah atau tidak pula di sekitarnya lalu datang dulu ke Madinah untuk menyertai Nabi (ﷺ) dalam perjalanan ke Mekkah. Sementara lainnya yang datang dari bagian Arabia yang lain langsung datang ke Mekkah dan bergabung dengan Nabi (ﷺ) di kota suci itu.
Di antara orang-orang yang menunaikan apa yang menjadi terkenal sebagai ‘Haji Wada’ –nya Nabi (ﷺ) adalah Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ), dimana Nabi meminta semua istrinya untuk memastikan semua istrinya memenuhi kewajiban ini sebagai penghormatan kepada Tuhannya. Ini merupakan haji yang istimewa. Tak pernah dan tak akan pernah terjadi lagi haji seperti ini yang dilakukan Nabi (ﷺ) dan di sekelilingnya istri-istri dan para sahabat(رضي الله عنه) . Dan dalam musim haji ini turunlah ayat:
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.
(Quran S. Al-Maa’idah 5:3)
Selama musim haji ini juga Nabi (ﷺ) menyampaikan khutbah haji terakhirnya yang terkenal, dimana kata-katanya masih mendengung di dalam telinga kita dan menggema di dalam hati kita berabad-abad lamanya. Setelah beliau berbicara pada ribuan ummat Muslim yang bergabung bersamanya di tanah Arafah, beliau sedikit meninggikan suaranya dan bertanya, “الاهل بڵغت “ (Wahai! Sudahkah aku sampaikan?) Dan semua yang hadir disana serempak menjawab pertanyaannya: “Ya, sudah anda sampaikan.”[x]
Suasana Padang Arafah Masa Kini
Dan semua yang hadir disana menyampaikan pesan-pesan Nabi di Padang Arafah itu kepada mereka yang tidak hadir disana. Dan itu terus berlanjut hingga hari ini. Dan salah satu yang hadir disana adalah Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) dimana Nabi (ﷺ) suatu kali pernah berkata, “Pelajarilah tentang beberapa hal dari agamamu dari perempuan berambut merah ini.” Yang berarti Aisyah.
Maka tidaklah mengherankan jika Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) adalah satu dari empat orang yang meriwayatkan lebih dari dua ribu hadits. Yang lainnya adalah Abu Hurairah, Abdullah ibn ‘Umar dan Anas ibn Malik. Kebanyakan dari hadits itu adalah mengenai aspek-aspek mendalam dari kebiasaan dan kesehatan pribadi dimana hanya bisa dipelajari oleh orang yang berada pada posisi seperti Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ).
Selama pernikahan Nabi dan Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) inilah Nabi (ﷺ) menikahi beberapa istrinya yang lain. Biasanya untuk menguatkan hubungan antara keluarga dan suku-suku yang penting, atau untuk mengurangi beban seorang wanita yang diceraikan atau menjadi janda secara tiba-tiba, atau dengan alasan untuk memperlihatkan dengan jelas kewajiban bagi seorang muslim untuk menikah. Namun alasan utama semua pernikahan itu adalah karena diperintahkan Allah, dan karena semua istri Nabi (ﷺ) adalah wanita-wanita istimewa.
[i] Aisyah lahir di Mekkah empat atau lima tahun setelah misi kenabian. Aisyah bersama saudarinya, Asma, masuk Islam saat mereka masih kecil dan ummat muslim masih sebagai minoritas. Ayahnya adalah as-Siddiq, Khulafa ar-Rasyidin, ‘Abu Bakr ‘Abdullah ibn Abu Quhafah ,Uthman ibn ‘Amir ibn ‘Amr ibn Ka’b ibn Sa’d ibn Taym ibn Murrah ibn Ka’b ibn Lu’ayy yang berasal dari suku Quraisy. Silsilahnya bertemu dengan Nabi (ﷺ) pada Murrah ibn Ka’b.
Ibundanya adalah sahabat Nabi yang patut dimuliakan, bernama Ummu Ruman binti ‘Amir ibn ‘Uwaymir ibn ‘AbdShams yang berasal dari suku Banu Kinanah. Dia masuk Islam saat Islam masih permulaan dan berikrar kepada Nabi (ﷺ), dan kemudian ikut hijrah ke kota Madinah. (Muhammad Fathi Mus’ad, The Wives of Prophet Muhammad Their Strives and Their Lives. Islamic INC. Publishing and Distribution 8 As-Sayeda Zainab Sq.Cairo. Egypt Translated to English, Edited, and Prepared by: Al-Falah Foundation 24 Tairan st. Nasr city, Cairo, Egypt Tel & Fax: 2622838. PDF. Tanpa tahun).
[ii] Hadits riwayat Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ), ia berkata:
Rasulullah (ﷺ) pernah bersabda: Tiga malam aku bermimpi melihat kamu. Malaikat datang kepadaku mengantarkanmu dengan memakai sepotong baju sutera seraya berkata: Inilah istrimu. Ketika aku buka wajahmu, ternyata itu memang benar-benar kamu. Lalu aku katakan: Kalau itu memang datang dari sisi Allah, maka Allah pasti akan menjadikannya kenyataan. (Shahih Muslim No.4468)
[iii] Hadits riwayat Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ), ia berkata:
Rasulullah (ﷺ) menikahiku pada saat aku berusia enam tahun dan beliau menggauliku saat berusia sembilan tahun. Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ). melanjutkan: Ketika kami tiba di Madinah, aku terserang penyakit demam selama sebulan setelah itu rambutku tumbuh lebat sepanjang pundak. Kemudian Ummu Ruman datang menemuiku waktu aku sedang bermain ayunan bersama beberapa orang teman perempuanku. Ia berteriak memanggilku, lalu aku mendatanginya sedangkan aku tidak mengetahui apa yang diinginkan dariku. Kemudian ia segera menarik tanganku dan dituntun sampai di muka pintu. Aku berkata: Huh.. huh.. hingga nafasku lega. Kemudian Ummu Ruman dan aku memasuki sebuah rumah yang di sana telah banyak wanita Ansar. Mereka mengucapkan selamat dan berkah dan atas nasib yang baik. Ummu Ruman menyerahkanku kepada mereka sehingga mereka lalu memandikanku dan meriasku, dan tidak ada yang membuatku terkejut kecuali ketika Rasulullah (ﷺ) datang dan mereka meyerahkanku kepada beliau. (Shahih Muslim No.2547)
[iv] Ringkasan Shahih Bukhari – M. Nashiruddin Al-Albani – Gema Insani Press Kitab Dua Hari Raya Not 509. “Hari itu adalah hari raya, di mana orang Sudan (dalam satu riwayat: orang-orang Habasyah 1/117) bermain perisai dan tombak di dalam masjid. Barangkali saya yang meminta kepada Nabi atau barangkali beliau sendiri yang mengatakan kepadaku, ‘Apakah engkau ingin melihat?’ Saya menjawab, ‘Ya.’ Saya disuruhnya berdiri di belakang beliau di depan pintu kamarku. Beliau melindungiku dengan selendang beliau, sedang aku melihat permainan mereka di dalam masjid. Lalu, ‘Umar[2] menghardik mereka. Kemudian Nabi bersabda, ‘Biarkanlah mereka.’ (4/162) Maka, saya terus menyaksikan (6/147) sedang pipiku menempel pada pipi beliau, dan beliau berkata, ‘Silakan (dan dalam satu riwayat: aman) wahai bani Arfidah!’ Sehingga, ketika aku sudah merasa bosan, beliau bertanya, ‘Sudah cukup?’ Aku menjawab, ‘Cukup.’ Beliau bersabda, ‘Kalau begitu, pergilah.'” (Maka, perkirakanlah sendiri wanita yang masih muda usia, yang senang sekali terhadap permainan. 6/159)
[v] Lihat Note No. xvi.
[vi] Hadits riwayat Sahal ibn Hunaif (رضي الله ﻋﻧﮫ):
Dari Abu Wail (رضي الله ﻋﻧﮫ) ia berkata: Pada perang Shiffin, Sahal ibn Hunaif berdiri dan berkata: Wahai manusia! Tuduhlah diri kamu sekalian, kita telah bersama Rasulullah (ﷺ) pada hari perjanjian Hudaibiah. Seandainya kita memilih berperang, niscaya kita akan berperang. Peristiwa itu terjadi pada waktu perjanjian damai antara Rasulullah (ﷺ) dengan kaum musyrikin. Lalu datanglah ‘Umar ibn Khathab menemui Rasulullah (ﷺ) dan bertanya: Wahai Rasulullah, bukankah kita ini di pihak yang benar dan mereka di pihak yang batil? Rasulullah (ﷺ) menjawab: Benar. Ia bertanya lagi: Bukankah prajurit-prajurit kita yang terbunuh berada di surga dan prajurit-prajurit mereka yang terbunuh berada di neraka? Rasulullah (ﷺ) kembali menjawab: Benar. Ia bertanya lagi: Kalau begitu, mengapa kita memberikan kehinaan bagi agama kita lalu kembali pulang padahal Allah belum memutuskan siapa yang menang antara kita dan mereka? Rasulullah (ﷺ) bersabda: Wahai Ibnu Khathab! Sesungguhnya aku ini adalah utusan Allah. Percayalah, Allah tidak akan menyia-nyiakan aku selamanya. Lalu ‘Umar bertolak kembali dalam keadaan tidak sabar dan emosi menemui Abū Bakr dan berkata: Wahai Abū Bakr! Bukankah kita ini di pihak yang benar dan mereka itu di pihak yang batil? Abū Bakr menjawab: Benar. ‘Umar bertanya: Bukankah prajurit-prajurit kita yang terbunuh akan masuk surga dan prajurit-prajurit mereka yang terbunuh akan masuk neraka? Abū Bakr menjawab: Benar. ‘Umar bertanya lagi: Kalau demikian, mengapa kita harus memberikan kehinaan kepada agama kita dan kembali pulang (Madinah) padahal Allah belum memutuskan siapa yang menang antara kita dan mereka. Abū Bakr menjawab: Wahai Ibnu Khathab! Sesungguhnya beliau itu adalah utusan Allah. Percayalah, Allah selamanya tidak akan menyia-nyiakan beliau. Selanjutnya turunlah ayat Alquran atas Rasulullah (ﷺ) membawa berita kemenangan lalu beliau mengutus seseorang menemui ‘Umar untuk membacakan ayat itu kepadanya. ‘Umar bertanya: Wahai Rasulullah, apakah ini tanda kemenangan? Beliau menjawab: Ya. Kemudian legalah hati ‘Umar dan ia pun segera berlalu. (Shahih Muslim No.3338)
[vii] Hadits riwayat Umar bin Khathab (رضي الله ﻋﻧﮫ):
Ketika Nabi (ﷺ) tidak menggauli istri-istrinya, beliau berkata: Aku memasuki mesjid, lalu aku melihat orang-orang memukulkan tanah dengan batu-batu kerikil sambil berkata: Rasulullah (ﷺ) telah menceraikan istri-istrinya. Hal itu terjadi sebelum para istri nabi diperintahkan memakai hijab. Umar berkata: Aku berkata: Aku harus mengetahui kejadian sebenarnya hari ini! Maka aku mendatangi Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) dan bertanya: Wahai putri Abu Bakar, sudah puaskah kamu menyakiti Rasulullah (ﷺ)? Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) menjawab: Apa urusanmu denganku, wahai putra Khathab! Nasihatilah putrimu sendiri! Maka setelah itu aku langsung menemui Hafshah binti Umar dan aku katakan kepadanya: Wahai Hafshah, sudah puaskah kamu menyakiti Rasulullah (ﷺ)? Demi Allah, sesungguhnya kamu tahu bahwa Rasulullah (ﷺ) tidak menyukaimu. Seandainya bukan karena aku, niscaya Rasulullah (ﷺ) sudah menceraikanmu. Maka menangislah Hafshah sekuat-kuatnya. Aku bertanya: Di manakah Rasulullah (ﷺ) sekarang berada? Ia menjawab: Di tempatnya di kamar atas. Aku segera masuk, namun ternyata di sana telah berada Rabah, pelayan Rasulullah (ﷺ) yang sedang duduk di ambang pintu kamar atas sambil menggantungkan kedua kakinya pada tangga kayu yang digunakan Rasulullah untuk naik-turun. Lalu aku berseru memanggil: Wahai Rabah, mintakan izin untukku menemui Rasulullah (ﷺ)! Kemudian Rabah memandang ke arah kamar Rasulullah (ﷺ) lalu memandangku tanpa berkata apa-apa. Aku berkata lagi: Wahai Rabah, mintakan izin untukku menemui Rasulullah (ﷺ)! Sekali lagi ia hanya memandang ke arah kamar Rasulullah kemudian ke arahku tanpa berkata apa-apa. Akhirnya aku mengangkat suara dan berseru: Wahai Rabah, mintakan aku izin untuk menemui Rasulullah! Aku mengira Rasulullah menyangka aku datang demi kepentingan Hafshah. Demi Allah, kalau beliau menyuruhku untuk memukul lehernya maka segera akan aku laksanakan perintah beliau itu. Kemudian aku keraskan lagi suaraku, dan akhirnya Rabah memberikan isyarat kepadaku supaya menaiki tangga. Aku lalu segera masuk menemui Rasulullah (ﷺ) yang sedang berbaring di atas sebuah tikar. Aku duduk di dekatnya lalu beliau menurunkan kain sarungnya dan tidak ada sesuatu lain yang menutupi beliau selain kain itu. Terlihatlah tikar telah meninggalkan bekas di tubuh beliau. Kemudian aku melayangkan pandangan ke sekitar kamar beliau. Tiba-tiba aku melihat segenggam gandum kira-kira seberat satu sha‘ dan daun penyamak kulit di salah satu sudut kamar serta sehelai kulit binatang yang belum sempurna disamak. Seketika kedua mataku meneteskan air mata tanpa dapat kutahan. Rasulullah bertanya: Apakah yang membuatmu menangis, wahai putra Khathab? Aku menjawab: Wahai Rasulullah, bagaimana aku tidak menangis, tikar itu telah membekas di pinggangmu dan tempat ini aku tidak melihat yang lain dari apa yang telah aku lihat. Sementara kaisar (raja Romawi) dan kisra (raja Persia) bergelimang buah-buahan dan sungai-sungai sedangkan engkau adalah utusan Allah dan hamba pilihan-Nya hanya berada dalam sebuah kamar pengasingan seperti ini. Rasulullah (ﷺ) lalu bersabda: Wahai putra Khathab, apakah kamu tidak rela, jika akhirat menjadi bagian kita dan dunia menjadi bagian mereka? Aku menjawab: Tentu saja aku rela. Umar berkata: Ketika aku pertama kali masuk, aku melihat kemarahan di wajah beliau. Lalu aku tanyakan kepada beliau: Wahai Rasulullah, apakah yang menyusahkanmu dari urusan istri-istrimu? Jika engkau ceraikan mereka, maka sesungguhnya Allah dan seluruh malaikat-Nya akan tetap bersama engkau begitu juga Jibril, Mikail, aku dan Abu Bakar serta segenap orang-orang mukmin pun juga tetap bersamamu. Sambil mengucapkan kata-kata itu aku selalu memuji Allah dan berharap semoga Allah membenarkan ucapan yang aku lontarkan tadi. Kemudian turunlah ayat takhyir (memberikan pilihan) berikut ini: Jika Nabi (ﷺ) menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu. Jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik, dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya (pula). Pada saat itu Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) dan Hafshah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) telah bersekongkol terhadap istri-istri Nabi (ﷺ) yang lainnya. Aku katakan kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah, apakah engkau telah menceraikan mereka? Beliau menjawab: Tidak. Kemudian aku jelaskan kepada beliau, bahwa sewaktu aku memasuki mesjid, aku melihat kaum muslimin memukul-mukulkan batu kerikil ke tanah sambil berkata bahwa Rasulullah (ﷺ) telah menceraikan istri-istrinya. Apakah perlu aku turun untuk memberitahukan mereka bahwa sebenarnya engkau tidak menceraikan istri-istrimu. Beliau bersabda: Boleh, kalau memang kamu ingin. Aku masih tetap berbicara dengan beliau sampai akhirnya aku melihat beliau benar-benar reda dari kemarahannya. Bahkan beliau sudah dapat tersenyum dan tertawa. Dan Rasulullah (ﷺ) adalah orang yang paling indah gigi serinya. Kemudian Rasulullah turun dan aku pun ikut turun. Aku turun terlebih dahulu lalu aku pegang erat-erat batang pohon yang digunakan tangga tersebut dan Rasulullah pun turun seakan-akan beliau jalan di atas tanah dan tidak memegang apapun dengan tangannya. Aku berkata kepada beliau: Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau berada di dalam kamar itu selama dua puluh sembilan hari. Beliau bersabda: Sesungguhnya sebulan itu ada yang dua puluh sembilan hari. Lalu aku berdiri di pintu mesjid sambil berseru dengan suara sekeras-kerasnya: Rasulullah (ﷺ) tidak menceraikan istri-istrinya. Kemudian turunlah ayat: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Dan akulah orang yang ingin mengetahui perkara itu. Maka Allah Taala lalu menurunkan ayat takhyir (Shahih Muslim No.2704)
[viii] Hadits riwayat Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ), ia berkata:
Ketika Rasulullah (ﷺ) diperintahkan memberikan pilihan kepada istri-istrinya, beliau memulai dari aku. Beliau berkata: Aku akan menyampaikan suatu hal kepadamu, dan aku harap kamu tidak perlu tergesa-gesa mengambil keputusan sebelum kamu meminta pertimbangan kedua orang tuamu. Aisyah berkata: Padahal beliau telah mengetahui bahwa kedua orang tuaku tidak akan memerintahkanku untuk berpisah dengannya. Aisyah berkata lagi: Kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah berfirman: Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu: Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut`ah (pemberian yang diberikan kepada perempuan yang telah diceraikan menurut kesanggupan suami) dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keredaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar. Aisyah berkata: Lalu aku berkata: Jadi tentang soal inikah aku disuruh untuk meminta pertimbangan kedua orang tuaku? Sesungguhnya aku menghendaki Allah dan Rasul-Nya serta kesenangan akhirat. Ternyata istri-istri Rasulullah (ﷺ) yang lain juga mengikuti apa yang aku lakukan itu. (Shahih Muslim No.2696)
[ix] Hadits riwayat Abdullah ibn Mas`ud (رضي الله ﻋﻧﮫ), ia berkata:
Ketika Nabi (ﷺ) memasuki Mekah, di sekitar Ka’bah terdapat patung berhala sebanyak tiga ratus enam puluh buah. Mulailah Nabi (ﷺ) merobohkannya dengan tongkat kayu di tangannya seraya membaca ayat: Telah datang kebenaran dan musnahlah kebatilan, karena sesungguhnya kebatilan itu adalah sesuatu yang pasti musnah. Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak pula akan mengulangi. Ibnu Abu ‘Umar menambahkan: Peristiwa itu terjadi pada saat penaklukan kota Mekah. (Shahih Muslim No.3333)
[x] Khutbah ini telah diriwayatkan melalui berbagai sanad dan dalam berbagai versi. Kaum Syiah dan Sunni sepakat mengenai keasliannya. Dalam Kitab Gayah al-Maram disebutkan bahwa 32 versi ini diriwayatkan oleh sumber Sunni, dan 82 versi hadits ini diriwayatkan oleh sumber Syiah (Almanak Alam Islami, Pustaka Jaya, Cet. I, Sya’ban 1420/November 2000, Hal. 138)