Membangun Kembali Peradaban Islam

Oleh: Abahna Jafits

Sabtu, 28 Mei 2010 yang lalu, kanselir Jerman, Angela Merkel, dalam sebuah lawatannya ke Doha, Qatar, menyerukan agar Negara-negara Eropa untuk mempelajari peradaban Islam. Begini petikan kalimat yang diucapkan Angela Merkel dalam Republika.co.id. tertanggal 29 Mei 2010 itu “terkadang, kami lupa bahwa dalam beberapa abad, dunia Arab berada jauh di depan kami dalam bidang sains dan seni.”

Seruan seperti ini bukanlah barang baru, ada begitu banyak seruan serupa yang diteriakkan orang-orang di luar Islam. Namun demikian kita masih harus bertanya apa maksud sesungguhnya dari seruan-seruan seperti ini; maksud baikkah, dimana mereka menyaksikan kebaikan yang ada di dalam peradaban Islam yang mereka maksud sehingga tumbuh niat untuk meniru dan masuk ke dalamnya; atau maksud burukkah, dimana Islam dirasakan sebagai pesaing dan seteru yang tangguh dan kemudian berusaha mencari kelemahan-kelemahan Islam untuk menjatuhkan dan meruntuhkan sendi-sendi peradaban Islam yang telah dibangun dengan susah payah. “Dinyatakan dalam Al-Qur’an bahwasannya orang Yahudi dan Kristen memang tidak pernah berhenti, dengan segala macam cara, mempengaruhi umat Islam agar mengikuti agama mereka. Mereka ingin umat Islam melakukan seperti apa yang mereka lakukan, menggugat dan merpersoalkan yang sudah jelas dan mapan, sehingga timbul keraguan terhadap yang sudah sahih dan benar. Untuk memberi kesan seolah-olah objektif dan otoritatif, orientalis misionaris ini biasanya berkedok sebagai pakar (expert scholars) mengenai bahasa, sejarah, agama, dan tamaddun Timur, baik yang ‘Jauh’ (Far Eastern, seperti Jepang, Cina dan India) maupun yang ‘Dekat’ (Near Eastern, seperti Persia, Mesir dan Arabia).”[i] ; atau berdasar pada teori benturan peradaban Samuel T. Huntington, dimana setelah runtuhnya komunisme Uni Sovyet, barat (baca: Amerika) kini membutuhkan musuh lain yang tidak kalah tangguh untuk menciptakan pesaing bagi dirinya sendiri agar bisa berlari lebih cepat lagi.

Dalam hal ini, sekali-kali kita tak boleh sekejap pun melupakan bagaimana sepak terjang Abdullah bin Saba yang juga dikenal dengan Ibnu Sauda, seorang Yahudi yang berasal dari Yaman, tepatnya dari daerah Shan’a (Ibukota Yaman). Ia berpura-pura masuk Islam pada masa pemerintahan Utsman bin Affan untuk menghancurkan Islam dari dalam. Berbagai macam fitnah ia timbulkan. Ia terlibat dalam pembunuhan Utsman bin Affan, juga terlibat mengobarkan fitnah pada perang Jammal antara Ali dan Aisyah, dan perang Shiffin antara Ali dan Mu’awiyyah radiallahu ‘anhum. Kemudian pada masa pemerintahan Ali ia kembali membuat ulah dengan memunculkan satu fitnah besar yaitu mengajak manusia untuk meyakini bahwa Khalifah Ali r.a sebagai tuhan. Dengan sebab itulah kaum Sabaiyyah harus rela dibakar oleh orang yang mereka anggap sebagai Tuhan[ii]. Lalu, bagaimana peran kerajaan Inggris yang melindungi Mirza Ghulam Ahmad nabinya kaum Ahmadiyyah dan Salman Rushdi, penulis buku Satanic Verses (ayat-ayat setan). Di Indonesia sendiri kita tak boleh melupakan tokoh Snouck Hurgronje yang menghancurkan dan mengoyak-ngoyak Aceh dengan cara berpura-pura sebagai seorang Muslim dan bahkan mengawini wanita-wanita muslimah dari keturunan orang-orang yang dipandang penting dalam kehidupan umat[iii].

Tulisan ini bagaimanapun bukanlah sebuah upaya untuk mempromosikan gerakan anti barat dan menolak seluruh ide-ide yang datang dari barat, melainkan sebuah upaya agar umat Islam sekali-kali tidak boleh dininabobokan oleh pujian-pujian dari orang-orang di luar Islam. Selalu ada maksud tertentu dari sikap tertentu. Ada udang di balik batu.

Umat Islam yang pernah berjaya dan menguasai setengah dunia ini kini tengah dijadikan objek, sebagai santapan yang sangat lezat di meja makan. Meski tidak secara terang-terangan, cakar kolonialisme dan kapitalisme kini masih mencengkeram dunia Islam dalam bentuk dan kemasan yang dimodifikasi sehingga sulit sekali dideteksi dan dirasakan. Terbukti, bagaimana dunia Islam dan OKI (yang pada awalnya dibentuk untuk menyelesaikan sengketa Palestina) tidak mampu berbuat banyak dan selalu kandas di tengah jalan ketika berusaha menyelesaikan masalah Palestina. Bukan saja karena Dunia Islam selalu kalah diplomasi dengan Israel dan pendukung-pendukungnya dan terganjal hak veto di DK PBB, melainkan karena seringkali Dunia Islam masih harus disibukkan oleh kepentingan-kepentingan dalam negerinya sendiri.

Kembali pada Angela Merkel. Dalam laporan Republika.co.id tersebut juga disebutkan bahwa Angela Merkel ini kini didukung oleh partai Christian Democratic Union (CDU) yang tak menyurutkan sedikit pun penolakannya atas keanggotaan Turki ke dalam Uni Eropa. Menurut partai ini (CDU), Uni Eropa harus menjalankan kebijakannya berdasarkan nilai-nilai Kristen.

Lalu, peradaban manakah yang dimaksud Kanselir Jerman itu, sebab peradaban dalam pengertian Islam tidak hanya berarti pencapaian manusia pada hal-hal yang bersipat duniawi dan inderawi. Peradaban dalam Islam tidak hanya terbatas pada kebudayaan, teknologi, hukum, social, politik, filsafat, kemanusiaan, dlsb. Namun lebih jauh dari itu adalah pengakuan manusia terhadap keesaan Allah SWT, sehingga kemajuan apapun yang dicapai manusia haruslah dipersembahkan sebagai bukti rasa syukurnya kepada Allah SWT sesuai dengan lima ayat yang pertama diturunkan di dalam Al-Qur’an. Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahui.[iv]

Islam yang diturunkan sebagai din, sejatinya telah memiliki konsep seminalnya sebagai peradaban. Sebab kata din itu sendiri telah membawa makna keberhutangan, susunan kekuasaan, struktur hukum, dan kecenderungan manusia untuk membentuk masyarakat yang mentaati hukum dan mencari pemerintah yang adil. Artinya dalam istilah din itu tersembunyi suatu sistem kehidupan. Oleh sebab itu ketika din (agama) Allah yang bernama Islam itu telah disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu diberi nama Madinah. Dari akar kata din dan Madinah ini lalu dibentuk akar kata baru madana, yang berarti membangun, mendirikan kota, memajukan, memurnikan dan memartabatkan.

Dari akar kata madana lahir kata benda tamaddun yang secara literal berarti peradaban (civilization) yang berarti juga kota berlandaskan kebudayaan (city base culture) atau kebudayaan kota (culture of the city). Di kalangan penulis Arab, perkataan tamaddun digunakan – kalau tidak salah – untuk pertama kalinya oleh Jurji Zaydan dalam sebuah judul buku Tarikh al-Tamaddun al-Islami (Sejarah Peradaban Islam), terbit 1902-1906. Sejak itu perkataan Tamaddun digunakan secara luas dikalangan umat Islam. Di dunia Melayu tamaddun digunakan untuk pengertian peradaban. Di Iran orang dengan sedikit berbeda menggunakan istilah tamaddon dan madaniyat. Namun di Turkey orang dengan menggunakan akar madinah atau madana atau madaniyyah menggunakan istilah medeniyet dan medeniyeti.

Orang-orang Arab sendiri pada masa sekarang ini menggunakan kata hadharah untuk peradaban, namun kata tersebut tidak banyak diterima ummat Islam non-Arab yang kebanyakan lebih menyukai istilah tamaddun. Di anak benua Indo-Pakistan tamaddun digunakan hanya untuk pengertian kultur, sedangkan peradaban menggunakan istilah tahdhib[v].

Sementara itu, jika saja peradaban islam dihubungkan dengan penanggalan islam, boleh jadi peradaban islam itu dimulai ketika Nabi SAW memulai hijrah dari Mekkah ke Madinah. Peristiwa yang sangat bersejarah ini terjadi tanggal 12 Rabiul Awwal hari jum’at bertepatan dengan tanggal 24 Maret 622 M (Hari senin sebelumnya, tanggal 8 Rabiul Awwal Nabi tiba di Quba dan mendirikan masjid Quba), dan tahun 1 Hijrah diawali dengan tanggal 1 Muharram bertepatan dengan 16 Juli 622 M.[vi]

Begitu menginjak kaki di Madinah, tahun 622 M, Rasulullah SAW melakukan persiapan-persiapan yang matang untuk membangun masyarakat yang super itu. Beliau membangun masjid, dan menjadikan masjid sebagai pusat aktivitas kehidupan, melakukan redistribusi asset-asset produktif. Sahabat-sahabat yang piawai berdagang diberi kesempatan berdagang dengan diberikan akses modal. Para sahabat yang tidak mempunyai tanah diberi tanah, baik untuk tempat tinggal maupun untuk lahan pertanian. Semula beliau membiarkan saja kaum muslimin bermuamalah dengan kaum Yahudi. Lalu, beliau mempersiapkan kekuatan ekonomi umat Islam yang tangguh, sehingga lama-lama kaum Muslim tidak tergantung lagi ekonominya dengan Yahudi. Bahkan, ketika Yahudi berkhianat, beliau tidak segan-segan memerangi kaum Yahudi dan mengusir mereka dari Madinnah.[vii]

Di dalam Negara kota Madinah ini, Rasulullah SAW menyusun sebuah undang-undang yang mengatur kehidupan bernegara setiap warga negaranya dengan prinsip menjamin rasa keadilan seluruh warga negaranya tidak terkecuali kaum-kaum di luar islam seperti Yahudi dan Nashrani. Namun demikian, yang terutama dan diutamakan di dalam Piagam Madinah atau Kitabun nabi ini adalah kaum Muslimin, dengan harapan dan keyakinan bahwa kaum Muslimin mempunyai kesamaan motif penggerak dalam berbuat. Sejak perang khandaq (sebab perang khandaq adalah pengkhianatan kaum Yahudi Banu Nazir dan Banu Wa’il yang mengusulkan kepada kaum Quraisy untuk memerangi Rasulullah SAW), warga Negara diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu Muslim dan Zimmi atau Ahl az-Zimmah. Zimmi adalah orang-orang di luar Islam yang menyatakan diri tunduk dan patuh di bawah kekuasaan Negara Islam. Diskriminasi seperti ini pun, sesungguhnya bukan untuk melebihkan hak muslim daripada orang-orang non-Muslim. Diskriminasi ini hanya sebatas pada pertanggungjawaban politik, dengan tujuan melindungi Negara dari kekacauan. Kewajiban Muslim justru lebih berat lagi karena golongan Muslim diwajibkan masuk dinas militer. Sementara kaum-kaum di luar golongan Muslim dibebaskan dari kewajiban itu karena masuk ke dalam golongan yang dilindungi.[viii]

Nama Madinah, yang digunakan Rasulullah SAW untuk mengganti Yatsrib, tidak sekedar berarti “kota”. Nama itu punya pengertian lebih luas, yaitu kawasan tempat menetap dan bermasyarakat memiliki tamaddun dan budaya, yang mencakup daulah (Negara) dan hukumah (pemerintahan). Di belakang kata Madinah ditambahkan kata Munawarrah atau Madinah al-Munawarrah. Artinya Negara dan pemerintahan yang diberi cahaya wahyu Ilahi. Atau, menurut istilah al-Farabi, al-Madinah al-Fadilah (Negara utama).[ix]

Oleh karena peradaban Islam itu didasarkan atas tauhid, pengakuan manusia terhadap keesaan Allah SWT, maka masjid menjadi satu-satunya tempat bertumbuh dan berkembangnya peradaban ini. Ketika pertama kali Nabi tiba di Madinah, yang dipikirkannya pertama-tama untuk dibangun adalah masjid, meskipun masjid itu tidak besar dan tidak megah. Masjid itu tidak hanya dipergunakan untuk beribadah, tapi juga dipergunakan untuk kepentingan musyawarah dan kemasyarakatan. Kesenian islam misalnya, menurut beberapa ahli justru lahir dari mihrab tempat imam shalat berdiri memimpin ma’mumnya menghadap ka’bah, lalu setelah itu mimbar tempat khatib berkhutbah. Dalam islam, kedua benda itu, mimbar dan mihrab, menjadi tempat yang mulia, menjadi focus utama di dalam masjid sehingga timbul keinginan orang untuk memperindah kedua tempat tersebut.

Islam diturunkan di tengah-tengah bangsa Arab jahiliyyah, di tengah bangsa primitive dan gurun pasir yang tandus. Akan tetapi Islam itu bukan semata-mata orang Arab. Ketika Islam berkembang dengan baik, bangsa-bangsa kelas satu di dunia ketika itu berduyun-duyun masuk Islam. Persia, Syria, Mesir, Tunisia, India dan lain-lain antri berjejal masuk Islam dan kepandaian seni yang mereka miliki kemudian mereka tumpahkan seluruhnya ke dalam masjid. Seni Islam adalah campuran dari segala seni di dunia karena Islam sendiri ketika datang tidak diperuntukkan pada satu bangsa saja melainkan untuk sekalian alam. Karena itu, peneliti-peneliti seni dari Barat seringkali kewalahan menilai kesenian Islam. Mereka tidak dapat mengatakan bahwa kesenian Islam itu warisan dari Yunani, Romawi atau Persia. Akan tetapi dalam pemandangan mereka, mereka melihat segala bayangan. Bahkan, bayangan gothic pun terlihat. Akan tetapi mereka tak dapat memecah dan memisahkan satu per satu.[x]

Berpegang pada prinsip bahwa ilmu pengetahuan dan pandangan hidup adalah ujung tombak dan soko guru suatu peradaban, maka tantangan ekternal yang dihadapi Muslim dewasa ini adalah ilmu pengetahuan yang bersumber dari kebudayaan Barat. Barat sendiri adalah peradaban yang tumbuh dan berkembang dari kombinasi beberapa unsur yaitu filsafat dan nilai-nilai kuno Yunani dan Romawi, serta agama Yahudi dan Kristen yang dimodifikasi oleh bangsa Eropa. Memandang barat, kita dapat mengidentifikasinya pada dua periode yang dimilikinya, modernism dan postmodernisme. Dimana keduanya adalah satu bentuk protes atas tradisi Kristen dan gereja. Modernism adalah paham yang muncul menjelang kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan kepada abad pencerahan, abad industri dan abad ilmu pengetahuan. Ciri-ciri zaman modern adalah berkembangnya pandangan hidup saintifik yang diwarnai oleh paham sekularisme, rasionalisme, empirisisme, cara berfikir dikhotomis, desakralisasi, pragamatisme dan penafian kebenaran metafisis (baca: Agama). Sedangkan postmodernisme adalah gerakan pemikiran yang lahir sebagai protes terhadap modernisme ataupun sebagai kelanjutannya. Postmodernisme berbeda dari modernisme karena ia telah bergeser kepada paham-paham baru seperti nihilisme, relativisme, pluralisme dan persamaan gender (gender equality), dan umumnya anti-worldview. Namun ia dapat dikatakan sebagai kelanjutan modernisme karena masih mempertahankan paham liberalisme, rasionalisme dan pluralismenya. Postmodernisme tumbuh menjadi sangat subur setelah eropa diterpa gelombang Perang Dunia I dan II yang sangat hebat menyengsarakan sebagian besar bangsa Eropa. Upaya yang paling biadab yang dilakukan modernism dan postmodernisme adalah lahirnya sekularisme yang mencoba mencabut manusia dari religiusitas yang dimiliki dan dibutuhkannya menjadi hanya semata-mata rasional. Agama hanya dipandang sebagai wujud ritus. Agama boleh duduk berdampingan tetapi tak boleh mengganggu kehidupan duniawi, tidak boleh masuk politik, hokum, tata Negara dan pemerintahan.

islam-religionSedangkan Islam, adalah peradaban yang lahir dan tumbuh berdasarkan pada wahyu yang memproyeksikan sebuah pandangan hidup yang sempurna, yang dipahami, ditafsiri, dijelaskan dan dipraktekkan sehingga membentuk tradisi intelektual dimana ilmu pengetahuan religius dan rasional diintegrasikan dalam bangunan ilmu yang mengandung nilai-nilai dan konsep-konsep yang berguna bagi pembentukan kehidupan yang aman, tenteram dan damai.[xi]

Peradaban Islam memiliki tradisi keilmuan yang tua dan panjang. Secara historis tradisi intelektual dalam Islam dimulai dari pemahaman (tafaqquh) terhadap al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw, secara berturut-turut dari periode Makkah awal, Makkah akhir dan periode Madinah. Kesemuanya itu menandai lahirnya pandangan alam Islam. Di dalam al-Qur’an ini terkandung konsep-konsep seminal yang kemudian dipahami, ditafsirkan dan dikembangkan oleh para sahabat, tabiin, tabi’ tabiin dan para ulama yang datang kemudian. Tradisi intelektual dalam Islam juga memiliki medium tranformasi dalam bentuk institusi pendidikan yang disebut al-Suffah dan komunitas intelektualnya disebut Ashab al-Suffah. Di lembaga pendidikan pertama dalam Islam ini kandungan wahyu dan hadith-hadith Nabi dikaji dalam kegiatan belajar mengajar yang efektif. Meski materinya masih sederhana tapi karena obyek kajiannya tetap berpusat pada wahyu, yang betul-betul luas dan kompleks. Materi kajiannya tidak dapat disamakan dengan materi diskusi spekulatif di Ionia, yang menurut orang Barat merupakan tempat kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan kebudayaan Barat (the cradle of western civilization). Yang jelas, Ashab al-Suffah, adalah gambaran terbaik institusionalisasi kegiatan belajar-mengajar dalam Islam dan merupakan tonggak awal tradisi intelektual dalam Islam. Hasil dari kegiatan ini adalah munculnya, katakan, alumni-alumni yang menjadi pakar dalam hadith Nabi, seperti misalnya Abu Hurayrah, Abu Dzarr al-Ghiffari, Salman al-Farisi, ‘Abd Allah ibn Mas’ud dan lain-lain.

Dari pemahaman terhadap Al-Qur’an yang komprehensif, ummat Islam tidak lantas menjadi tabu atas apa yang ada di luar dari itu. Semua yang dianggap baik dan penting bagi tumbuh dan berkembangnya tradisi intelektual, diambil sebagai sumbangan yang berharga. Khalifah Abbasiyah misalnya, karena sangat tertarik pada Hippocrates dan Galen dalam bidang kedokteran, ia menumpahkan minatnya untuk menyalin buku-buku Hippocrates Dan Galen kedalam bahasa Arab. Dalam tahun 756 M, Mansur, khalifah kedua BAni Abbas, mengundang Bachkt Yishu, dokter kepala di Junde Shahpur (sebuah sekolah tinggi kedokteran di Iran yang berdiri jauh sebelum Islam masuk ke Iran, dan terus terpelihara ketika Islam dating dan mengelola tempat itu), untuk dating ke istananya. Kemudian secara berturut-turut, diundang dokter-dokter ternama Syiria, Mesir, Byzantium dan India untuk berkumpul di Baghdad. Semenjak itu bermulalah penyalinan besar-besaran buku ilmu kedokteran dari Yunani, Iran dan India ke dalam bahasa Arab. Sehingga pada periode berikutnya Islam mampu melahirkan tokoh filsuf dan dokter semisal Ibnu Sina yang di barat akrab dikenal dengan nama Avicenna. Buku karangannya, Al-Qanun Fi’t-Thibb (Canon of Medicine) dianggap sebagai himpunan perbendaharaan ilmu kedokteran.

Semua itu terjadi karena dalam Islam, ilmu dan ulama mendapatkan kedudukan yang jelas dan tegas. Selain lima ayat pertama Al-Alaq yang mengandung peringatan bahwasannya manusia diciptakan dari segumpal darah dan diantara bentuk anugerah Allah ta’ala adalah mengajarkan manusia apa yang semula tidak diketahuinya, Nabi SAW sendiri menegaskan dalam sebuah hadith bahwa “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim”, sementara hadith lainnya menegaskan bahwa “…para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, melainkan ilmu. Maka siapa yang mengambilnya sesungguhnya dia telah mengambil bagian yang paling banyak”, dan hadith shahih Muslim yang sangat kita akrabi ini “Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah darinya amalnya. Kecuali tiga: shadaqah yang mengalir, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak shalih yang mendo’akannya. Sedangkan Al-Qur’an memberikan derajat yang tinggi kepada ulama, diantaranya “…Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (QS. AZ-ZUMAR (39): 9), …niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. AL-MUJADILAH (58): 11), …Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (QS. FATHIR (35): 27-28).[xii]

Kembali pada grand idea yang coba diusung tulisan ini, membangun kembali peradaban islam, barangkali adalah sebuah ide raksasa yang terlalu besar untuk diwujudkan ke dalam sebuah tulisan dengan ruang yang sangat sempit. Tapi, sesempit apapun ruang yang dimiliki, membangun ummat adalah kewajiban setiap insan yang telah menyatakan dirinya islam. Karena tak ada yang mustahil setelah segalanya disandarkan kepada Allah, Tuhan yang memiliki Arsy yang agung.

Disebutkan susah dan sempit adalah karena begitu deras dan kompleksnya tantangan yang dihadapi umat Islam baik dari dalam maupun dari luar. Dari dalam kita mendapatkan tantangan misalnya dari kaum-kaum yang terlanjur snob dan pengekor yang mengidap penyakit sepilis (sekularisme, pluralisme dan liberalism) yang bangga menyandang label cendekiawan muslim tapi giat mempromosikan dan menyebarkan faham relativisme dan sikap skeptic, keraguan pada kebenaran hakiki, serta masih kurangnya penggalian potensi yang dimiliki umat islam sendiri. Sementara dari luar, umat islam mendapat tantangan yang begitu gagah berani, yang didukung kemampuan materiil yang jauh di atas yang dimiliki umat islam. Namun demikian, tidaklah mustahil jika umat islam mampu kembali menjangkau apa yang sesungguhnya dia miliki. Al-Qur’an yang tak ada keraguan di dalamnya, yang menjadi acuan dan petunjuk kepada jalan ketakwaan, dan as-sunnah yang mampu menjabarkan sikap-sikap dan tradisi nabi SAW ketika beliau memperlihatkan proyek percontohan peradaban masa depan pada Negara kota Madinah al-Munawarah.

Wallahu a’lam bishshawab.

Billahi taufiq wal hidayah…

Hasbiyallahu la ilaha illa huwa alaihi tawakaltu wa huwa rabbul arsyladiem (At-Taubah: 129)

GJA, 11 RAJAB 1413 H/ 24 JUNI 2010 M.tuUUTTrki


[i] Dr. Syamsudin Arif. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, dalam Dr. Adian Husaini. MEMBENDUNG ARUS LIBERALISME DI INDONESIA. PUSTAKA AL-KAUTSAR.

[ii] Lihat, http//www.haulasyiah.wordpress.com. Islam versus Syiah. Ternyata Abdullah bin Saba Bukan Tokoh Rekaan.

[iii] Lihat, orgawam.wordpress.com

[iv] QS. Al-Alaq 1-5

[v] Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi. Makna Peradaban Islam, dalam banihamzah.wordpress.com

[vi] Rakhmat Taufik Hidayat, dkk. ALMANAK ALAM ISLAMI. PUSTAKA JAYA.

[vii] Dr. Adian Husaini. MEMBENDUNG ARUS LIBERALISME DI INDONESIA. PUSTAKA AL-KAUTSAR.

[viii] Lihat, Rakhmat Taufik Hidayat, dkk. ALMANAK ALAM ISLAMI. PUSTAKA JAYA, Bab PIAGAM MADINAH, hal ,243-249

[ix] Rakhmat Taufik Hidayat, dkk. ALMANAK ALAM ISLAMI. PUSTAKA JAYA.

[x] Dr. Oemar Amin Hoesin. KULTUR ISLAM. Penerbit BULAN BINTANG Jakarta.

[xi] Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi. Membangun Kembali Peradaban Islam 2, dalam banihamzah.wordpress.com

[xii] Lihat, Nashrudin Syarief. MENANGKAL VIRUS ISLAM LIBERAL. PERSIS PERS, hal. 149-154.Membangun Kembali Peradaban Islam

Tinggalkan komentar