Senja, ketika cinta bersemi.
Suara adzan sebentar terdengar. Sayup-sayup dari menara yang tak tinggi di sudut kota yang hamper hilang. Lantunan itu adalah kemewahan bagi kita. Ya, kota ini memang telah membatasi suara suara aneh seperti itu. Maksudku, suara seperti itu hanya dapat membuat kita meninggalkan meja kerja.
Sementara itu hujan baru saja reda. Meninggalkan jalanan menjadi bersih dan tidak lagi berdebu. Trotoar pavingblok yang kita pijak setelah seharian disoroti matahari kini seakan hilang dahaganya. Bau tanah menyeruak ke dalam hidung kita disambut gemerisik dedaunan tertiup angin.
Seperti seorang muslim yang sedang berbuka. Mata alam bersinar-sinar, raut mukanya bercahaya.
Entahlah, tapi suara lantunan itu sekarang terperangkap dalam labirin telinga kita. Terus mengalun mendayu-dayu membuat aku lamat-lamat memberikan jawaban.
Ya, sayang, aku akan kesana…
Aku memegang tanganmu, seperti menggenggam diary yang telah lama hilang. Ada rindu yang membuncah. Ada kenangan yang hadir kembali. Lalu kita bertukar senyum, mata kita saling menerobos.
Selangkah demi selangkah kita menyusuri jalanan sambil membiarkan tangan kita saling terlilit. Lalu memasuki sebuah mal. Sebuah labirin dimana kita seringkali terjebak dalam lingkaran yang entah dimana ujungnya. Lalu menemukan nafsu kita meluap-luap dan siap meledak.
Tapi kita melentasi labirin yang aneh itu. Hanya melintas. Menerobos dari satu pintu masuk ke pintu keluar yang lain lalu masuk dari pintu keluar yang lain dan keluar dari pintu masuk yang lain. Menyingkap satu kemewahan dan lainnya.
Tangan kita masih diikatkan, senyum kita masih dipagutkan. Kita ada dalam satu dunia yang entah kenapa hanya diisi orang-orang yang sama yaitu kita berdua. Pelayan-pelayan itu, manager-manager itu, remaja-remaja itu melihat dan melirik kita dengan wajah-wajah yang kita miliki.
Tapi kita tidak sedang berada disana. Kita tidak sedang menaikturuni elevator dengan lari-lari kecil. Kita tidak sedang membelah kerumunan-kerumunan itu. Kita berada di sebuah labirin dengan dinding dipenuhi bunga warna-warni.
Kita melangkah dipandu suara adzan yang tadi sayup-sayup terdengar dan kini terperangkap dalam labirin telinga kita. Perlahan berkelok dan turun ke dalam sanubari kita lalu meloncat ke jantung dan dengan sigap melesat kea rah kepala kita. Lalu masing-masing memerintahkan tangan kita agar tetap mengikat.
Sampai kita tiba di ujung lorong.
Kita menemukan sebuah bangunan persis yang berada tepat di dalam sebuah bola Kristal raksasa. Mengapung di udara. Ada lima menara mengelilinginya dengan sebuah kubah besar di tengah-tengahnya. Bangunan itu disesaki orang berbaju putih.
Kita tak mampu berdecak kagum. Kita hanya melongo.
Orang-orang di dalam bangunan itu tentu bukan robot tapi bergerak mengikuti satu komando.
Allahu Akbar. Kami bercucuran airmata.
Sami Allahuliman hamidah. Kami tersungkur.
Labbaika Allahuma labbaik…
WA 07 Jun 2013