Category Archives: Puisi dan Prosa

Tadi Aku Mau Menulis Puisi

Di Bawah pohon kapuk yang daunnya beterbangan di halaman masjid

Matahari terik sekali

Dan anak-anak madrasah barlari-lari di halaman masjid

Matahari terik sekali

Mengantar adzan dzuhur yang baru saja pergi

Seorang anak berlari-lari mencari bayangannya sendiri

Matahari membawanya pergi

Tadi aku mau menulis puisi

Di bawah terik matahari

Sambil membayangkanmu mengantarkan senyum dan secangkir kopi

IMG_20140525_101353

18 September 2014

Perempuan Berkerudung Merah

Untuk Kamu Yang Berkerudung Merah

Maafkan aku,
Yang, malam tadi mengendap-endap di bawah jendelamu
Berharap kau keluar dan menebarkan harum tubuhmu

Malam begitu dingin sampai-sampai aku harus membakar tanganku dengan lilin
Tapi kau tak kunjung membuka jendelamu
Padahal jantungku berdegup laksana tambur
Menyanyikan gundah gulana

Aku tahu kau juga menungguku mengetuk jendelamu
Tapi raksasa penjagamu membekap mulutmu
Dan menahanmu meneriakkan namaku

Apakah kamu juga begini
Masih mencari relung-relung palung hatiku
Saat mataku dan matamu bertemu di selat rindu
Mencoba menuai gelora-gelora asmara di samudera cinta

Atau kita akan menepi
Mengikuti arah mata angin
Dan menemukan pantai yang bisu
Tanpa riuh nelayan dan burung bangau

Lalu menanamkan hati kita di tepi garis pantai, Satu persatu
Melihatnya tumbuh, berkembang dan berbunga

Tapi kenapa kamu tidak datang?

Ketika matahari menunggu di balik bukit
Dan hamparan sawah yang menguning

Lembayung hatiku,
Menghantarkanmu,

Bidadari yang bergegas
Menjumputi selendang yang berserak di bebatuan

Bersama dinginnya kopi
Dan secangkir teh, untukmu

***

Aku masih bisu menunggumu
Berharap akulah Jaka Tarub yang tolol dan tak punya sopan santun
Lalu mencuri selendangmu dan menceritakan padamu dongeng-dongeng

***

Hampir saja persembunyianku terbongkar
Ketika purnama mengantar remaja
Mengendap ke dalam bayang-bayang

***

Sepasang cangkir teh dan kopi itu masih bisu menunggumu
Berharap purnama masih tetap remaja
Dan tanganku sekarang melepuh sisa menahan dingin tadi malam

MA

GAZA, LUKAMU ADALAH UNTUKKU JUGA

Gaz 8

Aku masih mendengar sayup-sayup suara muadzin dari rumahmu,

Gaza seperti menjerit, sesekali merintih dan bergumam

Ribuan nakhoda berduyun-duyun menjemput dan menghampirimu

Membawa kapal-kapal doa

Di lautmu, di laut yang semestinya menjadi milikmu

Tapi kau terlingkup di rumahmu sendiri, terpenjara di sudut kamarmu sendiri

Tangan-tangan jahil dan licik telah memagari halamanmu

Tanpa pintu, tanpa engsel

Telah mereka bekap mulutmu

Telah mereka ikat tanganmu

Aku masih melihat pendar-pendar cahaya dari matamu

Secuil senyum dari putra-putramu

Gaza, seperti derai-derai airmata

Yang mengolok-olok persatu tubuhan kita

Tapi tak mudah bagiku menutup lukamu

Ribuan bendera telah aku bakar

Ribuan poster telah aku acungkan

Ribuan caci maki telah aku muntahkan

Seperti mencaci diri sendiri

Seperti menampar wajah sendiri

Seperti membakar rambut sendiri

Gaza, berderap-derap aku akan datang padamu menggotong doa

Tanah dan lautmu adalah milikmu sendiri

Tapi lukamu adalah untukku juga

Aku akan datang padamu sebagai Salahudin

Membebaskan Yerussalem dan Al-Aqsa

Sampai Tersusun shaft-shaft shubuh

 

GJA, 04 Juni 2010 M/ 21 Jumadittsani 1431 H

Senja, ketika cinta bersemi

Senja, ketika cinta bersemi.

Suara adzan sebentar terdengar. Sayup-sayup dari menara yang tak tinggi di sudut kota yang hamper hilang. Lantunan itu adalah kemewahan bagi kita. Ya, kota ini memang telah membatasi suara suara aneh seperti itu. Maksudku, suara seperti itu hanya dapat membuat kita meninggalkan meja kerja.

Sementara itu hujan baru saja reda. Meninggalkan jalanan menjadi bersih dan tidak lagi berdebu. Trotoar pavingblok yang kita pijak setelah seharian disoroti matahari kini seakan hilang dahaganya. Bau tanah menyeruak ke dalam hidung kita disambut gemerisik dedaunan tertiup angin.

Seperti seorang muslim yang sedang berbuka. Mata alam bersinar-sinar, raut mukanya bercahaya.

Entahlah, tapi suara lantunan itu sekarang terperangkap dalam labirin telinga kita. Terus mengalun mendayu-dayu membuat aku lamat-lamat memberikan jawaban.

Ya, sayang, aku akan kesana…

Aku memegang tanganmu, seperti menggenggam diary yang telah lama hilang. Ada rindu yang membuncah. Ada kenangan yang hadir kembali. Lalu kita bertukar senyum, mata kita saling menerobos.

Selangkah demi selangkah kita menyusuri jalanan sambil membiarkan tangan kita saling terlilit. Lalu memasuki sebuah mal. Sebuah labirin dimana kita seringkali terjebak dalam lingkaran yang entah dimana ujungnya. Lalu menemukan nafsu kita meluap-luap dan siap meledak.

Tapi kita melentasi labirin yang aneh itu. Hanya melintas. Menerobos dari satu pintu masuk ke pintu keluar yang lain lalu masuk dari pintu keluar yang lain dan keluar dari pintu masuk yang lain. Menyingkap satu kemewahan dan lainnya.

Tangan kita masih diikatkan, senyum kita masih dipagutkan. Kita ada dalam satu dunia yang entah kenapa hanya diisi orang-orang yang sama yaitu kita berdua. Pelayan-pelayan itu, manager-manager itu, remaja-remaja itu melihat dan melirik kita dengan wajah-wajah yang kita miliki.

Tapi kita tidak sedang berada disana. Kita tidak sedang menaikturuni elevator dengan lari-lari kecil. Kita tidak sedang membelah kerumunan-kerumunan itu. Kita berada di sebuah labirin dengan dinding dipenuhi bunga warna-warni.

Kita melangkah dipandu suara adzan yang tadi sayup-sayup terdengar dan kini terperangkap dalam labirin telinga kita. Perlahan berkelok dan turun ke dalam sanubari kita lalu meloncat ke jantung dan dengan sigap melesat kea rah kepala kita. Lalu masing-masing memerintahkan tangan kita agar tetap mengikat.

Sampai kita tiba di ujung lorong.

Kita menemukan sebuah bangunan persis yang berada tepat di dalam sebuah bola Kristal raksasa. Mengapung di udara. Ada lima menara mengelilinginya dengan sebuah kubah besar di tengah-tengahnya. Bangunan itu disesaki orang berbaju putih.

Kita tak mampu berdecak kagum. Kita hanya melongo.

Orang-orang di dalam bangunan itu tentu bukan robot tapi bergerak mengikuti satu komando.

Allahu Akbar. Kami bercucuran airmata.

Sami Allahuliman hamidah. Kami tersungkur.

Labbaika Allahuma labbaik…

WA 07 Jun 2013