HAFSHAH bint ‘Umar

I LOVE MOMHafshah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) adalah puteri ‘Umar ibn al-Khatab (رضي الله عنه). Sebelum menikah dengan Nabi (ﷺ), dia pernah menikah dengan seorang pria lain dan menjadi janda saat usianya muda belia, delapanbelas tahun[ii]. ‘Umar sendiri pernah meminta Abu Bakr dan ‘Usman ibn Affān agar salah satu di antara mereka mau menikahi puterinya itu. Namun dua orang sahabatnya itu menolak karena mereka tahu bahwa Nabi (ﷺ) menunjukkan ketertarikan untuk menikahi puteri ‘Umar itu. Saat ‘Umar (رضي الله عنه) datang kepada Nabi (ﷺ) untuk mengeluhkan kelakukan dua sahabatnya itu, Nabi tersenyum dan berkata, “Hafshah akan menikahi seorang laki-laki yang lebih baik daripada ‘Usman dan ‘Usman akan menikahi seorang perempuan yang lebih baik daripada Hafshah.”

‘Umar kaget dan baru sadar kalau Nabi sedang mengajukan lamaran untuk puterinya itu. Kontan saja ‘Umar menyambut dengan gembira lamaran itu.

Nabi dan Hafshah sendiri menikah setelah perang Badar saat Hafshah berumur kira-kira duapuluh tahun dan Nabi berusia limapuluhenam tahun. Dengan pernikahan ini Nabi (ﷺ) menguatkan ikatan antara dua sahabat terdekatnya, dua orang sahabatnya yang akan menjadi al-Khulafa’ ar-Rasyidin[iii] sepeninggalnya. Sekarang Nabi menikahi puteri Abu Bakr – Aisyah sekaligus juga puteri ‘Umar – Hafshah.

Dua sahabat terdekat Nabi lainnya yang akan menjadi al-Khulafa’ ar-Rasyidin ketiga dan keempat juga terhubung kepada Nabi melalui perkawinan. ‘Usman ibn Affān menikahi Ruqayya puteri Nabi di Mekkah, dan setelah Ruqayya meninggal di Madinah selepas perang Badr ‘Usman kemudian menikahi Ummu Kulthum yang juga puteri Nabi. Oleh karena menikahi dua orang puteri Nabi (ﷺ) ini membuat ‘Usman dijuluki sebagai Dhun Nurayn yang berarti ‘pemilik dua cahaya’. Dan Ali ibn Abi Thalib (رضي الله عنه) menikahi Fatimah puteri bungsu Nabi tidak lama sebelum Nabi menikahi Aisyah.

Hafshah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ), sebagaimana Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) yang nanti akan menjadi teman dekatnya[iv], tak pernah kehilangan kata-kata, dan tidak takut berargumen dengan Nabi (ﷺ) yang memang mengijinkannya mengemukakan apa yang dipikirkannya.

Suatu hari, ‘Umar berbincang dengan ibunda Hafshah dan berkata, “kupikir aku mesti begini begini.” Kemudian istrinya menjawab, “Namun akan lebih baik jika engkau begitu begitu,” “Apa kau membantahku, perempuan?” kata ‘Umar yang memang seorang laki-laki berangasan dan tidak berharap istrinya menjawab kata-katanya. “Puterimu mendebat Rasulullah sampai dia membuat jengkel Nabi seharian.” ‘Umar (رضي الله عنه) melepaskan jubahnya dan langsung menuju rumah puterinya.

“Benarkah kau berargumen dengan Rasulullah?” tanyanya.

“Ya memang benar.” Jawab puterinya.

‘Umar hampir saja menghukum Hafshah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) menyadari kelakuan putrinya yang menurutnya buruk namun saat itu Nabi memasuki kamar dan tidak mengijinkannya bahkan untuk menyentuh Hafshah. Maka ‘Umar pergi menemui Ummu Salamah agar dapat memengaruhi Hafshah melalui Ummu Salamah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ).

“Aku heran padamu Ibnul Khāttab.” Kata Ummu Salamah setelah mendengar keterangan ‘Umar. “Kau telah mencampuri semuanya. Akankah sekarang kau juga mencampuri hubungan Rasulullah dan istrinya?”

Sayyidina ‘Umar saat meriwayatkan kejadian ini, melanjutkan, “Dan dia terus mengikutiku sampai dia membuatku menyerah dengan apa yang pantas menurutku.”

Beberapa sumber mengatakan Nabi menceraikan Hafshah dengan talak satu dan ini membuat hati ‘Umar hancur lalu mulai menjatuhkan pasir ke atas kepalanya sendiri.

Nabi merujuki kembali Hafshah setelah malaikat Jibril turun dan mengatakan pada Nabi (ﷺ). “Ambillah kembali Hafshah. Dia telah shaum dan shalat dan dia akan menjadi istrimu di surga.”

Sebagaimana Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ), Hafshah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) juga menghapal Qur’an dengan baik di dalam hatinya. Salinan tertulis Al-Qur’an sendiri yang dicatat Zayd ibn Tsabit atas perintah Abu Bakr, yang kemudian diberikan kepada ‘Umar agar dijaga baik-baik, pada akhirnya diserahkan ‘Umar kepada Hafshah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) agar dijaga.

Saat ‘Umar akhirnya menjadi khalifah, beliau memerintahkan untuk membuat salinan yang sama yang kemudian dikirimkan kepada pusat-pusat utama kekaisaran Muslim yang berkembang dengan cepat. Dan salinan yang dijagai Hafshah-lah yang digunakan sebagai induk setelah salinan itu diperiksa dengan sangat teliti keakuratannya dengan cara membandingkan dan mengacu pada seluruh catatan-catatan Al-Qur’an tertulis dan kepada seluruh Muslim penghafal Al-Qur’an.

Hafshah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ) sendiri hidup bersama Nabi (ﷺ) selama delapan tahun dan terus hidup selama tigapuluh empat tahun setelah kematian Nabi (ﷺ). Dia menyaksikan dengan rasa senang kemenangan dan ekspansi Islam di bawah komando ayahnya, dan menyaksikan juga dukacita yang menimpa masyarakat Muslim setelah kematian ‘Usman. Dia sendiri meninggal di tahun 47 H di usianya yang keenampuluhtiga. Semoga Allah meridlainya.

Catatan kaki:

[ii] Saat Hafsah menjelang dewasa, Khunays ubn Hudhafah ibn Qaysas –Suhamy, saudara dari Abdullah ibn Hudhafah, melamarnya. Dia adalah salah satu orang yang memeluk Islam pada awal permulaan. Namun pernikahan ini terjadi tidak lama sebelum kesyahidannya dalam perang Badar ketika Hafsah berusia delapan belas tahun. (Muhammad Fathi Mus’ad, The Wives of Prophet Muhammad Their Strives and Their Lives. Islamic INC. Publishing and Distribution 8 As-Sayeda Zainab Sq.Cairo. Egypt Translated to English, Edited, and Prepared by: Al-Falah Foundation 24 Tairan st. Nasr city, Cairo, Egypt Tel & Fax: 2622838. PDF. Tanpa tahun).

[iii] Zaman al-Khulafa’ ar-Rasyidin di Madinah (11H/632M – 40H/661M) bisa dilihat dalam table berikut:

No. Nama Mulai Berakhir Lamanya Umur
1. Abū Bakr 11 H/632 M 13 H/634 M 2 th 3 bln 63 th
2. ‘Umar ibn Khāttab 13 H/634 M 23 H/644 M 10 th 06 bln 63 th
3. ‘Usman ibn Affān 23 H/644 M 35 H/656 M 12 th 82 th
4. ‘Ali ibn Abī Talib 35 H/656 M 40 H/661 M 4 th 9 bln 63 th
4 Orang

Sumber: Almanak Alam Islami

[iv] Hadits riwayat Aisyah (رضي الله ﻋﻧﻬﺎ), ia berkata:
Rasulullah (ﷺ) apabila hendak melakukan perjalanan, beliau selalu mengadakan undian di antara istri-istrinya, lalu keluarlah undian tersebut untuk Aisyah dan Hafshah sehingga mereka berdua berangkat bersama Rasulullah (ﷺ) Dan pada malam hari, Rasulullah (ﷺ) berjalan bersama Aisyah untuk bercakap-cakap dengannya. Suatu kali berkatalah Hafshah kepada Aisyah: Maukah kamu malam ini menunggangi untaku dan aku menunggangi untamu sehingga kamu dapat melihat begitu juga aku. Aisyah menjawab: Baiklah. Maka Aisyah lalu menunggangi unta milik Hafshah dan Hafshah menunggangi unta Aisyah. Lalu datanglah Rasulullah (ﷺ) menghampiri unta milik Aisyah yang ditunggangi oleh Hafshah kemudian mengucapkan salam dan berjalan bersamanya sampai mereka turun berhenti. Tiba-tiba Aisyah merasa kehilangan Rasulullah dan merasa cemburu. Ketika mereka turun berhenti, mulailah Aisyah menendangkan kakinya ke tumbuh-tumbuhan izkhir yang harum baunya sambil berkata: Ya Tuhanku! Semoga ada kalajengking atau ular yang menggigitku sedang aku tidak dapat mengatakan sesuatu apapun kepada rasul-Mu. (Shahih Muslim No.4477)

Tinggalkan komentar