KH. Muhammad Isa Anshary, Singa Podium yang Mengaum sebagai Napoleon Masyumi

Oleh: Gungun Mulyawan

Dialah ulama yang dijuluki “Singa Podium”. Sebuah julukan yang disematkan karena kefasihan dan kemampuannya berorasi. Pidatonya mampu mengobarkan semangat setiap orang yang mendengarnya.

KH. Isa AnsharyOrator ulung bertubuh pendek, gemuk dengan bahu yang agak bungkuk ini lahir di Maninjau, Sumatera Barat, 1 Juli 1916. Di usianya yang masih remaja, Isa Anshary telah terjun ke dunia politik dengan menjadi kader PSII Maninjau dari tahun 1926 s/d tahun 1929 (umur 10 s/d 13) dan menjadi mubaligh Muhammadiyyah dari tahun 1929 s/d tahun 1931.

Pada usia 16 tahun, setelah menyelesaikan pendidikannya di madrasah, Isa merantau ke Bandung untuk mengikuti berbagai kursus ilmu pengetahuan umum. Di Bandung pula, ia memperluas cakrawala keislamannya dalam Jam’iyyah PERSIS hingga menjadi ketua umum PERSIS. Tampilnya Isa Anshary sebagai pucuk pimpinan PERSIS dimulai pada 1940, ketika ia menjadi anggota hoofbestuur (Pimpinan Pusat) PERSIS. Tahun 1948, ia melakukan reorganisasi PERSIS yang mengalami kevakuman sejak masa pendudukan Jepang dan Perang Kemerdekaan. Tahun 1953 hingga 1960, ia terpilih menjadi ketua umum Pusat Pimpinan PERSIS.

Satu hal yang mencolok dari tokoh yang pernah menjadi pembantu tetap Pelita Andalas dan Perbincangan ini adalah sikapnya yang tegas. Ia sering dinilai tidak bersikap kompromistis. Pada zaman Jepang, ia telah mengomandoi Gerakan Anti Fasis (Geraf), Biro Penerangan Pusat Tenaga Rakyat (Putera) Priangan, memimpin Angkatan Muda Indonesia dan mengorganisasi Majelis Islam yang membentuk kader-kader Islam. Herbert Feith menyebutnya dengan figur politisi fundamentalis yang memiliki keyakinan teguh.

KH. Muhammad Isa Anshary adalah salah satu pilar yang membangun PERSIS. Selama memimpin PERSIS, perannya sangat menonjol. Ia selalu memberikan arahan dan warna bagi organisasi ini. Selain sebagai mubaligh, Isa Anshary juga dikenal sebagai penulis yang tajam. Ia termasuk salah seorang perancang Qanun Asasi PERSIS yang telah diterima secara bulat oleh Muktamar V PERSIS (1953) dan disempurnakan pada Muktamar VIII PERSIS (1967). Dalam sikap jihadnya, Isa Anshary menganggap perjuangan PERSIS sungguh vital dan kompleks, karena menyangkut berbagai bidang kehidupan umat. Dalam bidang pembinaan kader, Isa Anshary menekankan pentingnya sebuah madrasah, tempat membina kader-kader muda PERSIS. Semangatnya dalam hal pembinaan kader tidak pernah padam meskipun ia mendekam dalam tahanan Orde Lama di Madiun. Kepada Yahya Wardi yang menjabat ketua umum Pimpinan Pusat Pemuda PERSIS periode 1956-1962, Isa Anshary mengirimkan naskah “Renungan 40 Tahun Persatuan Islam” yang ia susun dalam tahanan untuk disebarkan kepada peserta muktamar dalam rangka meningkatkan kesadaran jamaah PERSIS. Melalui tulisannya, Isa Anshary mencoba menghidupkan semangat para kadernya dalam usaha mengembangkan serta menyebarkan agama Islam dan perjuangan organisasi PERSIS.

Dalam buku Manifest Perjuangan Persatuan Islam ia dengan tegas menyatakan “Jikalau kita menjelajahi perkembangan aliran pikiran dalam masayarakat kaum muslimin -juga di Indonesia- kita melihat ada tiga aliran cara berpikir dalam memahamkan persoalan agama. Pertama, aliran konservatif-reaksionarisme, aliran beku dan jumud yang secara apriori menolak setiap faham dan keyakinan yang hendak merubah faham; Kedua, aliran moderat-liberalisme, mengetahui mana yang sunnah mana yang bid’ah, mengetahui kesesatan bid’ah, tetapi tidak aktif dan positif memberantas bid’ah; Ketiga, aliran revolusioner-radikalisme, aliran yang hendak merubah masarakat ini sampai ke akar-akarnya. Kaum Persatuan Islam adalah penganut aliran yang ketiga.”

Buku ini juga dianggap sebagai serangan bukan saja kepada kaum-kaum tradisionalist tetapi kepada kawan dan sejawatnya yang diam sengaja menutup mulut, mata dan telinga ketika berhadapan dengan kesesatan tachyul, churafat, dan bid’ah (TBC).

Dalam memperjuangkan tegaknya syariat Islam di Indonesia, Isa memilih berjuang melalui parlemen. Dalam kancah politik Republik Indonesia beliau tercatat menjadi (1) Ketua Umum Partai MASYUMI Jawa barat dari tahun 1950 s/d tahun 1954; (2) Anggota Dewan Pimpinan MASYUMI dari tahun 1954 s/d tahun 1960; (3) Anggota Parlemen Republik Indonesia dari tahun 1950 s/d tahun 1960; dan (4) Anggota Konstituante Republik Indonesia. Melalui Partai Masyumi ini Isa Anshary konsisten memperjuangkan syariat Islam menjadi dasar negara. Pidato politiknya selalu bergelora membuat pandangan yang mendengarkan tertuju kepadanya. Bukan sekali dua kali ia ditegur oleh aparat keamanan karena “garangnya” pidato yang disampaikan. Di saat panas-panasnya suhu politik ketika itu, ia dengan lantang berpidato menentang komunis di alun-alun kota Semarang yang saat itu menjadi basis komunis. Di depan ribuan pengunjung, pidatonya yang keras menjadi sorotan hampir semua media dan masyarakat karena aksi-aksinya dalam menolak ideologi tak ber-Tuhan ini.

Sementara itu, pandangan Isa Anshary terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara cukup tegas dan lugas. Menurut Pepen Irfan Fauzan, S.S M. Hum, dalam Seminar Politik Persis di kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Persis (STAIPI) Ciganitri Bandung (September 2010), menyebutkan bahwa Isa Anshary banyak pihak yang mendakwakan diri mempertahankan Pancasila akhirnya telah membuat Pancasila itu menjadi sejenis thagut (berhala) yang merobek dua kalimat syahadat dan memperkosa rangka tubuh agama Islam.

Lebih jauh, menurur Pepen Irfan Fauzan, Isa Anshary menyebut bahwa Pancasila tidaklah sama dengan Islam. Demikian juga, hukum Islam tidak akan tegak di bawah Pancasila. Hal ini terlihat dalam tulisannya “Bukan Ideologi pancasila, bukan hukum pancasila, bukan negara pancasila yang wajib kita tegakkan, tapi ideologi Islam, hukum Islam, negara Islam…Hukum Islam harus tegak, Ideologi Islam harus menang. (“Hanya Negara Islam Yang Kami Amanatkan Kepada Anggota Konstitusi”, Daulah Islamiyyah th.I/Januari 1957). Landasan hukum yang diambil Isa Anshary tersebut berdasarkan pada ayat yang berbunyi “…Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah:44). Adapun poin Ketuhanan Yang Maha Esa dalam pancasila yang dijadikan alasan indikasi negara Islam oleh lawan politiknya, Isa Anshary menilai sangat tidak tepat.

“Kalau hanya ketuhanan yang maha Esa itu timpang, Islam itu pondasinya ada dua yaitu dua kalimat syahadat (Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah). Kalau mau pancasila ditambah asasnya yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa dan Muhammad utusanNya. Kalau Tuhan saja itu takhayyul, bagaimana kita mengenal Allah kalau tidak melalui utusannya.” Kata Pepen menyampaikan pendapat Isa Anshary.

Oleh karena itu kata Pepen, Isa Anshary sangat memperjuangkan dimasukkkanya piagam Jakarta dengan point “Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-Pemeluknya. Setidakya ini bisa mewakili makna kalimat dua syahadat.”( Fauzan, Pepen Irfan. Natsir Versus Isa Anshory: Perbedaan Pandangan dan Sikap Politik Tentang Negara. Makalah dalam Seminar Politik Persis di kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Persis (STAIPI) Ciganitri Bandung (September 2010)

Strateginya dalam menyibak rahasia perlawanan kaum komunis banyak menginspirasi masyarakat yang membuat para petinggi Masyumi terperangah. Mereka tak menyangka pengaruh orasi lelaki tambun yang biasa disapa “Napoleon Masyumi” ini dapat membuat masyarakat bangkit dengan munculnya gerakan yang menentang koalisi PNI-PKI menjelang Pemilu 1955. Di saat koalisi PNI-PKI berhasil “mengganjal Masyumi”, dengan cepat ia mengajak masyarakat membentuk Front Anti Komunis (FAK) yang semakin tumbuh subur kemudian menyebar ke seluruh Nusantara. Menurut Isa, komunisme adalah musuh paling berbahaya di tanah air, karena mereka menganggap agama hanyalah candu yang mengekang manusia, untuk itu paham ini tidak boleh hidup di atas bumi pertiwi Nusantara, harus musnah selama-lamanya.

Di bawah bendera Masyumi, ia semakin memperkuat posisinya sebagai politisi. Tahun 1949, ia memimpin sebuah kongres Gerakan Muslimin Indonesia. Keterlibatan KH. Muhammad Isa Anshary dalam pentas politik membuatnya harus menghadapi banyak resiko yang tidak kecil. Ketika terjadi razia terhadap orang-orang yang diisukan ingin membunuh presiden dan wakil presiden pada bulan Agustus 1951 oleh PM Sukiman Wirdjosandjoyo, KH. Muhammad Isa Anshary ditangkap. Namun beberapa saat kemudian dilepaskan kembali dan dinyatakan tidak bersalah. Sepak terjangnya di bidang politik sempat menyedot perhatian massa. Dimana saja ia memberikan pidato, pasti dipenuhi massa yang ingin mendengarkan suaranya. Biasanya massa yang hadir bukan hanya partisipan Masyumi, tapi juga masyarakat umum.

Pada masa Soekarno, Masyumi menjadi salah satu lawan politik pemerintah yang terus digencet. Saat tragedi Permesta meledak (1958), banyak tokoh-tokoh yang diciduk. Termasuk KH. Muhammad Isa Anshary yang saat itu berada di Madiun bersama Prawotomangkusasmito, M. Roem, M. Yunan Nasution dan EZ. Muttaqien serta beberapa tokoh lainnya.

Meskipun Isa Anshary dikenal sebagai politisi yang nonkompromis, tetapi ia tidak setuju jika cara-cara perjuangan dilakukan dengan konfrontasi anarkis. Hal ini yang kemudian memunculkan perbedaan pendapat dengan beberapa tokoh MASYUMI yaitu saat terjadinya pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) pada tahun 1958 di Padang itu.( Gurnita, Gugun Arif. Konsep Negara Islam K.H.M. Isa Anshary (Studi Kasus Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) Tahun 1958 di Sumatera Barat), skripsi, Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2010.)

Pada masa demokrasi parlementer, muncul beberapa konflik antar kelompok. Ada yang menginginkan Indonesia berideologi sekuler-nasionalis dengan dasar negara Pancasila. Di sisi lain ada yang menginginkan terbentuknya negara Islam, atau paling tidak negara yang berideologikan hukum-hukum Islam. Di tubuh Masyumi, cita-cita untuk membangun Negara Islam sangat subur. KH. Muhammad Isa Anshary tetap menjadi juru bicara yang ulet bagi Masyumi. Namun sayang, keinginan mereka untuk mewujudkan Negara Islam gagal. Ketidakberhasilan ini disebabkan beberapa hal, di antaranya munculnya polarisasi mengenai bentuk dan konsep negara Islam itu sendiri.

Ada yang berpendapat bahwa aturan dan ajaran Islam harus terwujud lebih dahulu yang nantinya dengan sendiri akan terbentuk negara Islam. KH. Muhammad Isa Ansharyytermasuk dalam kelompok ini. Di sisi lain ada yang berpendapat bahwa negara Islam harus di bentuk dahulu, baru kemudian diberi corak dan warna Islam. Di Luar itu, muncul kelompok yang lebih keras lagi. Maka meledaklah peristiwa DII/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh serta gerakan Ibnu Hajar di Kalimantan. Gerakan-gerakan itu dapat dipadamkan oleh Soekarno.

Dialah Isa Anshary, politisi yang memihakkan diri pada Islam dan menjadikannya sebagai pedoman hidup dan perjuangan. Oleh karenanya kepada siapa saja umat islam yang berhasrat terjun dalam dunia politik, ada baiknya merenungkan perkataan Napoleon Masyumi ini yang dikutip dari buku Mujahid Da’wah karangan beliau, dalam Bab X. Mimbar Politik halaman 215 s/d halaman 221.

“Jika saudara memasuki suatu partai politik (tentunya partai Islam), karena kegiatan dan perjuangan saudara selama ini, sudah pasti saudara akan mendapatkan kedudukan yang baik dalam partai yang saudara masuki…Memasuki partai, arinya menerjunkan diri ke dalam lapangan perjuangan politik Islam, memperjuangkan ideology Islam dalam lapangan kenegaraan atau kemasyarakan. Syarat mutlak yang harus saudara miliki ialah: Pertama, mengerti benar ideology Islam dalam lapangan kenegaraan dan khitthah perjuangan dari partai yang saudara masuki; Kedua, saudara paling sedikit harus mempunyai basis-basis teori dari perjuangan politik. Apa yang dinamakan prinsip perjuangan, asas perjuangan, taktik dan strategi perjuangan; Ketiga, saudara harus mengetahui benar kondisi dan konstelasi politik, perimbangan kekuatan politik di negeri ini, dan dimana policy partai saudara dalam konstelasi politik itu.

….Sekarang saya akan berbicara suatu kemungkinan terjadi dalam diri saudara. Saudara menjadi anggota parlemen karena angkatan, karena pengaruh saudara dalam masyarakat; atau karena pilihan, partai saudara mencalonkan saudara dalam pemilihan umum. Akan tetapi ternyata, menjadi anggota parlemen sebenarnya bukan “tempat” saudara. Saudara tidak ada bakat dan tidak ada kapasitas, tidak ada kemampuan mengikuti apa saja yang dibicarakan dalam parlemen. Naskah parlemen tidak pernah saudara baca, apalagi hendak menelaah Anggaran Belanja Negara yang sulit dan rumit itu; jangan lagi hendak menilai Keterangan Pemerintah yang menyeluruh sifatnya itu.

Saudara hanya datang ke sidang untuk menambah “angka”, menandatangani daftar hadir, menerima uang sidang dan uang harian, habis bulan menerima uang kehormatan.

Dalam rapat tertutup saudara tak pernah memberikan pandangan, dalam siding paripurna yang terbuka buat umum saudara bungkam dalam seribu bahasa.
Kalau memang demikian, lebih baik saudara mundur teratur, letakkan keanggotaan parlemen itu, serahkan kepada orang lain. Artinya saudara menjadi Mubaligh yang “kesasar”, salah jalan.

Saudara harus kembali ke pangkalan, ialah kembali kepada masyarakat tempat saudara tumbuh, kembali ke asal saudara “jadi”.

Saudara harus mengharamkan menerima uang Negara tanpa jasa dan karya, menerima gaji tanpa prestasi. Kalau saudara masih senang dengan kedududkan yang begitu, itu satu tanda budi saudara sudah rusak.”

Dalam hal tulis menulis analisis Isa Anshary cukup tajam. Di antara hasil karyanya adalah:
• Islam dan Demokrasi (1938)
• Tuntunan Puasa (1940)
• Islam dan Kolektivisme (1941)
• Pegangan Melawan Fasisme Jepang (1942)
• Barat dan Timur (1948)
• Falsafah Perjuangan Islam (1949)
• Sebuah Manifesto (1952)
• Islam Menghadapi Pemilihan Umum (1953)
• Umat Islam Menghadapi Pemilihan Umum (1953)
• Inilah Partai Masyumi (1954)
• Islam dan Nasionalisme (1955)
• Partai Komunis Indonesia (PKI), Pembela Negara Asing (1955)
• Bahaya Merah Indonesia (1956)
• Islam Menentang Komunisme (1956)
• Manifes Perjuangan Persatuan Islam (1958)
• Bukan Komunisto Fobi, tapi Keyakinan Islam (1960)
• Ke Depan Dengan Wajah Baru (1960)
• Pesan Perjuangan (1961)
• Umat Islam Menentukan Nasibnya (1961)
• Mujahid Dakwah (1966)
• Tugas dan Peranan Generasi Muda Islam dalam Pembinaan Orde Baru (1966).( Sebelum beliau berpulang (2 Syawal 1389/ 11 Desember 1969), beliau sempat menyelesaikan dua naskah lagi: (1) Falsafah Moral dan Pelita Indonesia, dan (2) Kembali ke Haramain.)

Di usianya yang kian lanjut, Isa Anshary lebih banyak mengkader generasi muda. Ia tidak lagi menjadi pemimpin di organisasi yang membesarkannya yaitu PERSIS, tapi cukup sebagai penasehat. Begitulah contoh seorang pemimpin yang mengetahui keadaannya. Kendati demikian ia tetap saja mendapat halangan. Ia sempat dijebloskan ke dalam penjara oleh Soekarno. Dari balik terali besi ia masih sempat mengirimkan tulisan-tulisan kepada sahabat-sahabatnya.

KH. Muhammad Isa Anshary tidak mengenal lelah. Menjelang akhir hayatnya ia tetap bekerja untuk umatnya. Pada 11 Desember 1969 atau sehari setelah Hari Raya Idul Fitri 1369 H ia meninggal dunia di RS Muhammadiyah Bandung. Sehari sebelumnya ia menyatakan bersedia memberikan khutbah Idul Fitri, namun takdir berkehendak lain. Naskah khutbah itu sempat diketiknya dua halaman, dan tak sempat terbacakan.

Bahan Bacaan:
• Anshary, Isa. Mujahid Da’wah. Cet. V. Bandung, CV. DIPONEGORO. 1995.
• Fauzan, Pepen Irfan. Natsir Versus Isa Anshory: Perbedaan Pandangan dan Sikap Politik Tentang Negara. Makalah dalam Seminar Politik Persis di kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Persis (STAIPI) Ciganitri Bandung (September 2010)
• Gurnita, Gugun Arif. Konsep Negara Islam K.H.M. Isa Anshary (Studi Kasus Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) Tahun 1958 di Sumatera Barat), skripsi, Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2010.

. Wikipedia.org
. Republika.co.id
. Ruangjuang.wordpress.com

Tinggalkan komentar